Reporter: Tri Adi | Editor: Tri Adi
Pendapatan perbankan dari segmen pendapatan bunga semakin tertekan. Pertumbuhan pendapatan bunga bersih (NII) tahunan terus menurun. Pada pertengahan 2012, NII pernah tumbuh hingga 25%, namun di September 2018 tinggal 5%. Bahkan Maret lalu hanya tumbuh 2,6%.
Efek, margin bunga bersih (NIM) terus menurun. Rata-rata NIM pada 2012 sebesar 5,45%, namun rata-rata di 2018 hanya 5,10%. Langkah Bank Indonesia yang kembali menaikkan bunga acuan 0,25% membuat bank sulit mengandalkan pendapatan bunga. Ini karena bank lebih dulu menyesuaikan bunga simpanan daripada menaikkan bunga pinjaman untuk mengurangi potensi penurunan kualitas kredit. Likuiditas bank yang ketat saat ini juga membatasi ekspansi kredit.
Untuk menjaga profitabilitas, bank wajib memperluas basis pendapatan dengan menggenjot pendapatan non-bunga, antara lain provisi dan komisi berbasis biaya dan pendapatan transaksi dari selisih kurs. Untuk menjaga pendapatan bunga, bank harus mengerek dana pihak ketiga agar dapat disalurkan dalam bentuk pinjaman.
Memang bank dapat menempuh cara selain mengandalkan dana pihak ketiga, misalnya mencari dana lewat penerbitan surat utang. Tapi biaya merilis surat utang tak murah karena calon investor akan meminta imbal hasil tinggi sebagai kompensasi kenaikan bunga acuan.
Bank harus menggali peluang baru, baik yang sudah ada maupun baru sama sekali. Untuk menemukan peluang bisnis, pertanyaan paling dasar: Apa yang dibutuhkan konsumen dan apa yang bisa kita lakukan dengan hal itu? Ini terlihat sederhana, tapi ada kalanya bank telat mengantisipasi perubahan kebutuhan konsumen. Contohnya pembayaran belanja online. Secara global, mayoritas metode pembayaran belanja online di 2016 memakai kartu kredit, dompet elektronik, transfer bank dan kartu debit (Worldpay). Ke depan, metode pembayaran yang paling banyak dipakai diprediksi bergeser. Dompet elektronik lebih banyak digunakan, diikuti transfer bank, kartu kredit dan kartu debit. Bank harus cepat mengantisipasi perubahan ini. Layanan dompet elektronik perlu ditingkatkan.
Ada beberapa patokan dalam mengeksplorasi peluang bisnis, terutama terkait layanan digital. Pertama, bank sebaiknya memperkuat kompetensi inti dan fokus ke segmen yang telah dilayani selama ini. Artinya, bank melayani konsumen yang sudah dikenal dengan baik sesuai filosofi dasar bisnis perbankan, yaitu kepercayaan dan integritas. Ada bank yang kuat di segmen wholesale, ritel maupun UMKM. Layanan yang fokus memperkecil risiko dan membuat investasi lebih optimal. Misalnya, investasi infrastruktur teknologi untuk mendukung layanan digital bagi nasabah lebih optimal karena segmennya spesifik.
Kedua, peluang bisnis sebaiknya berbasis jumlah konsumen yang besar. Kembali ke belanja online, jika bank ingin mengembangkan kerjasama pembayaran belanja online, bisa mempertimbangkan apakah menyasar e-commerce dengan rata-rata nilai transaksi kecil tapi volume transaksi besar atau sebaliknya, volume transaksi tak terlalu besar tapi nilai transaksinya besar (misalnya terkait bisnis travel).
Ketiga, ekosistem harus jelas dan saling menguntungkan. Bisnis tak berdiri sendiri. Layanan kartu uang elektronik tak akan berhasil jika hanya sedikit tempat yang menyediakan layanan pembayaran lewat kartu uang elektronik. Ketersediaan layanan pun belum cukup jika hanya sedikit pemakainya. Jadi memang harus saling mendukung. Saat ini, penggunaan kartu uang elektronik banyak terbantu kewajiban penggunaan kartu uang elektronik untuk pembayaran di ruas jalan tol, kereta komuter dan bus khusus.
Di ekosistem, harus ada insentif agar masyarakat mau memakai produk atau layanan bank. Bank kerap menggandeng merchant menawarkan diskon jika membayar memakai kanal pembayaran tertentu dengan tujuan mendapat fee dari peningkatan jumlah transaksi dan menambah basis nasabah. Di ekosistem, semua pihak seharusnya meraih benefit dari interaksi dan kerjasama itu.
Keempat, produk atau layanan harusupdate dengan perkembangan teknologi. Misalnya, jika bank merilis layanan platform pembayaran, maka teknologinya perlu andal untuk menjamin kemudahan dan keamanan. Selain itu, produk dapat terus diperbarui sesuai teknologi terkini. Terkait poin ini, regulator perlu bersikap lebih longgar, baik terkait regulasi maupun pemberian izin, untuk produk atau layanan bank yang banyak bersentuhan dengan teknologi. Contoh, perusahaan teknologi yang menyediakan layanan keuangan lebih mudah meluncurkan produk karena mereka dapat menguji coba terlebih dulu produk itu ke kalangan terbatas.
Sementara itu, bagi bank, terkadang regulator mensyaratkan segala proses harus sudah dianggap 100% siap terlebih dulu sebelum diberikan izin operasi. Dampaknya, time to market peluncuran produk baru bagi bank menjadi lebih lama.•
Bobby Hermanus
Peneliti Mandiri Institute
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News