Reporter: Harian Kontan | Editor: Tri Adi
Pertumbuhan usaha menengah kecil dan mikro (UMKM) semakin pesat seiring berkembangnya industri ekonomi kreatif dan teknologi yang kian canggih.
Meningkatnya kapasitas produksi dan semakin luasnya pemasaran produk UMKM juga didukung oleh kehadiran market place online dan transaksi yang dipermudah oleh pembayaran non-tunai. Namun pembiayaan untuk peningkatan kapasitas itu masih terkendala beberapa hal, baik yang bersifat teknis maupun struktural.
Berdasarkan temuan perusahaan jasa konsultan Pricewaterhouse Coopers (PwC) pada Juni lalu, sebanyak 74% UMKM di Indonesia belum mendapatkan akses pembiayaan. Hal ini akibat masih rendahnya tingkat literasi maupun inklusi keuangan di kalangan UMKM, yang jumlahnya mencapai 58,9 juta di tahun 2018.
Persyaratan mengenai agunan, kelengkapan izin usaha dan pencatatan keuangan juga merupakan faktor utama yang menghambat UMKM mengakses kredit perbankan. Pemberi kredit kesulitan memperoleh informasi mengenai kondisi keuangan dan usaha para UMKM, ditambah ketidakpastian bisnis, lemahnya manajemen keuangan, maupun kurangnya track record.
Oleh karena itu, kebanyakan pelaku UMKM memilih meminjam uang dari saudara, kerabat, bahkan rentenir karena dana yang dibutuhkan lebih cepat cair dibandingkan melalui proses pengajuan kredit melalui jalur perbankan.
Namun demikian, penting bagi pemilik UMKM untuk memperhatikan pencatatan keuangan. Pemilik UMKM setidaknya perlu mempelajari akuntansi dasar agar dapat membuat laporan neraca keuangan (balance sheet) dan arus kas (cashflow) sehingga dapat membantu mereka memantau kondisi keuangan usaha yang dikelola dengan lebih akurat.
Pencatatan keuangan yang sesuai dan rapi juga memudahkan pemilik UKM dalam pelaporan pajak, yang merupakan salah satu syarat untuk peminjaman ke bank.
Selain itu, pemilik UKM dapat mengambil keputusan bisnis yang lebih tepat dan memantau profitability usaha mereka. Pencatatan itu merupakan basis awal bagi pemilik UMKM untuk dapat menunjukkan kondisi keuangan mereka baik pada investor maupun perbankan.
Seiring perkembangan zaman dan teknologi, proses pencairan kredit bagi pelaku UMKM semakin mudah. Kehadiran KUR dan KUM yang didukung pemerintah memungkinkan pelaku UMKM dapat mengakses pembiayaan dengan persyaratan lebih sedikit, lebih mudah dan bunga lebih rendah. Dengan kisaran bunga 7%–12% per tahun, pemilik UMKM dapat mengakses permodalan antara Rp 10 juta Rp 200 juta dengan jangka waktu yang cukup panjang, yaitu 2-5 tahun.
Pemerintah juga mendukung UMKM untuk tumbuh melalui skema seed funding yang tersedia pada 21 kementerian dan lembaga pemerintah bagi para pemilik UMKM. Kementerian Keuangan, Bekraf, Bank Indonesia dan Kementerian Koperasi dan UMKM juga membantu dengan memfasilitasi pendanaan jangka pendek- menengah, program inkubasi bisnis dan pendampingan, pelatihan keuangan dan perpajakan, proses perizinan dan pengajuan hak cipta, serta penyertaan untuk pameran skala nasional dan internasional.
Selain itu, keberadaan peer-to-peer lending (P2P) seperti Amartha, KoinWorks atau Investree mampu membantu menghubungkan pelaku UMKM yang membutuhkan modal dari investor individual, masyarakat, institusional maupun organisasi di kota yang ingin membantu mendanai usaha yang sesuai dengan mereka.
Proses assessment yang lebih simpel, seperti menggunakan invoice sebagai persyaratan pencairan dana, membuat pinjaman P2P cukup diminati terutama bagi kebutuhan dana yang sifatnya insidental maupun pendanaan proyek jangka pendek dan menengah.
Berbagai sumber pendanaan dan pendampingan tersebut diharapkan membantu pemilik UKM mengembangkan bisnis maupun menjalankan usahanya. Pemilik UKM juga dapat menaikkan kapabilitas dalam mengelola usaha mereka, sehingga memiliki kemampuan untuk meningkatkan nilai valuasi asset usaha.
Dengan demikian, pemilik UKM tidak sekadar memiliki usaha, namun usaha yang mampu naik kelas, berkualitas dan berkelanjutan.♦
Andjarsari Paramaditha
Analis Kebijakan Publik Mandiri Institute
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News