| Editor: Tri Adi
Infrastruktur menjadi fokus pemerintah untuk mengejar ketertinggalan dengan negara lain. Tak heran kalau anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) untuk sektor infrastruktur terus meningkat.
Berdasarkan data Kementerian Keuangan (Kemkeu), anggaran infrastruktur pemerintah secara tahunan compound annual growth rate (CAGR) tumbuh 21,4% dari Rp 155,9 triliun pada 2013 menjadi Rp 410,7 triliun pada APBN 2018.
Dukungan pemerintah terhadap proyek infrastruktur juga semakin kuat. Tengok saja kewajiban 25% dana transfer harus dialokasikan untuk proyek infrastruktur.
Namun, kemampuan APBN dan APBD untuk membiayai proyek infrastruktur masih terbatas. Berdasarkan data Bappenas, APBN dan APBD hanya sanggup menopang 41% dari total kebutuhan dana Rp 4.796,2 triliun selama 2015-2019. Karena itu, perlu partisipasi pembiayaan dari pihak lain seperti investor swasta dan BUMN.
Pemerintah sudah mencoba melibatkan BUMN konstruksi dalam bentuk penugasan langsung. Contohnya, pemerintah memberikan penugasan kepada PT Hutama Karya (Persero) untuk mengerjakan proyek jalan tol Trans Sumatra dan pembangunan proyek light rail transit (LRT) ke PT Adhi Karya (Persero) Tbk.
Hanya saja, pada saat bersamaan para BUMN konstruksi mengalami peningkatan risiko likuiditas. Mereka mengalami kesulitan cash flow karena tidak seimbangnya antara uang yang masuk dan uang keluar.
Pengembalian investasi dari pembangunan infrastruktur akan mereka peroleh dalam jangka panjang. Padahal mereka membiayai pembangunan proyek dalam jangka pendek.
Bisa saja BUMN meminjam kepada perbankan. Namun pembayaran cicilan utang dan bunganya juga dalam jangka pendek.
Berdasarkan data laporan keuangan perusahaan, total debt to equity ratio (DER) empat emiten BUMN konstruksi (ADHI, WIKA, WSKT dan PTPP) terus meningkat. Total piutang (account receivable) mereka semakin meningkat dengan jumlah hari pengumpulan piutang (account receivable days) semakin lama.
Dalam jangka pendek kesulitan cash flow BUMN konstruksi memunculkan persepsi negatif investor. Akibatnya pergerakan harga saham BUMN konstruksi yang tercatat di BEI itu menurun.
Makanya, pemerintah harus mencegah agar kesulitan likuiditas BUMN konstruksi tidak berkepanjangan. Alternatifnya pertama, pemerintah mempercepat pembayaran utang kepada BUMN yang mengerjakan proyek infrastruktur penugasan.
Informasi saja, pemerintah telah mengalokasikan Penyertaan Modal Negara (PMN) sebesar Rp 3,6 triliun yang akan diberikan kepada PT KAI sebagai operator LRT dalam RAPBN 2018. Sementara, pembangunan proyek LRT yang dikerjakan Adhi Karya membutuhkan dana Rp 26,1 triliun.
Kedua, BUMN melakukan mekanisme “bangun kemudian jual” dan sekuritisasi aset. BUMN dapat membangun proyek lalu menjualnya pasca pembangunan selesai.
Sekuritisasi aset bisa dilakukan dengan menerbitkan produk sekuritisasi aset dalam skema tertentu. BUMN yang pernah menerapkan strategi ini adalah PT Jasa Marga (Persero) Tbk. BUMN ini mendivestasi jalan Tol Jagorawi Rp 2 triliun.
Ketiga, pemerintah memberikan penugasan BUMN untuk proyek-proyek yang bernilai komersial tinggi. Sebaiknya pemerintah menunda proyek-proyek infrastruktur yang belum pasti dan tingkat pengembalian investasinya rendah.
Sebaliknya, pemerintah menugaskan proyek infrastruktur yang cepat mendatangkan pendapatan. Jadi, BUMN dapat memiliki dana segar untuk membangun kembali proyek infrastruktur lain yang juga ditugasi oleh pemerintah.
Dengan demikian, kesulitan cash flow dan beban keuangan BUMN dapat berkurang. Pemerintah perlu melakukan upaya-upaya untuk menyelamatkan BUMN dari kesulitan likuiditas sebelum berkepanjangan dan menjadi masalah baru ke depan.
Perlu diketahui, data Global Competitiveness Index menyebutkan, daya saing infrastruktur Indonesia memang membaik dari semula peringkat 60 pada 2016 menjadi 52 pada 2017. Namun, Indonesia masih di bawah negara ASEAN seperti Singapura (2), Malaysia (22) dan Thailand (43).
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News