kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.222.000 0,41%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Pemerataan spasial sektor properti


Selasa, 09 Juli 2019 / 09:30 WIB
Pemerataan spasial sektor properti


Reporter: Harian Kontan | Editor: Tri Adi

Terhitung awal bulan ini, kita memasuki semester II-2019. Meski beberapa kondisi perekonomian global berubah di sepanjang semester pertama, kita patut mensyukuri selesainya perjalanan panjang periode pemilihan umum.

Semangat pemerintah untuk mendorong perekonomian melalui sektor properti terlihat melalui penyesuaian terkait batasan harga jual rumah subsidi di Kepmen PUPR 535/KPTS/M/019 serta pajak rumah mewah di PMK 86/PMK.010/2019. Meski tumbuh positif, sektor properti masih diharapkan bisa mencapai performa lebih baik untuk meningkatkan angka pemilikan rumah dan pemerataan spasial.

Ditinjau dari performa kredit residensial perumahan dan apartemen, kredit pemilikan masih terus tumbuh positif meski melambat dibandingkan periode sama tahun lalu. Terhitung April 2019, Kredit Pemilikan Rumah (KPR) dan Kredit Pemilikan Apartemen (KPA) secara total tumbuh 13,75% YoY, yang merupakan pencapaian terbaik sepanjang tahun berjalan. Pencapaian ini didorong pertumbuhan KPR sebesar 13,44% YoY atau lebih tinggi 58 bps dibandingkan dengan Maret 2019. Sedangkan KPA, meski melambat, tetap tumbuh 21,03% YoY.

Namun, perlu ditelaah bahwa pembangunan sektor properti tidak melulu terkait penyerapan kredit. Secara garis besar, mengurangi angka backlog nasional menjadi tujuan utama pemerintah. Per akhir 2018, kami memperkirakan backlog sebanyak 12,1 juta rumah. Jumlah itu tidak tersebar merata seiring populasi yang sangat terkonsentrasi di Pulau Jawa.

Hal ini menjadi poin penting mengingat pembangunan properti membutuhkan ketersediaan lahan (land bank) yang jumlahnya terbatas (scarcity). Poin penting untuk dipahami ialah semakin padatnya populasi tidak serta merta memperbesar pangsa pasar properti, sehubungan peningkatan harga lahan, mahalnya harga properti dan pergeseran pola konsumsi masyarakat.

Fakta menunjukkan bahwa berdasarkan Susenas 2018 terdapat delapan provinsi selain DKI Jakarta dengan pemilikan rumah terendah: Sumatra Utara, Riau, Kep. Riau, Sumatra Barat, Kalimantan Utara, Kalimantan Timur dan Papua Barat. Lebih jauh, tiga provinsi terakhir memiliki persentase tertinggi terkait rumah tangga dengan pemilikan lebih dari satu rumah. Hal ini secara ringkas menggambarkan kesenjangan penyerapan residensial di Indonesia dengan gambaran bahwa di beberapa provinsi yang hampir seperempat kepala rumah tangganya belum memiliki rumah, sekitar 17 dari 75 kepala rumah tangga yang sudah memiliki rumah ternyata punya rumah lainnya.

Melihat fenomena ini, pemerintah dan pengembang swasta perlu menerapkan strategi dan insentif untuk melakukan pemerataan spasial demi tercapainya tujuan pembangunan. Peran pengembang swasta terbilang sentral dalam hal ini, mengingat sekurang-kurangnya telah tercipta 34 kota mandiri baru di Jabodetabek.

Dalam praktik pembangunan perkotaan di negara barat, kalangan menengah umumnya tinggal di hunian vertikal (apartemen) dengan jarak tidak jauh dari pusat kota. Sedangkan kalangan masyarakat lainnya yang memiliki penghasilan lebih tinggi cenderung tinggal di rumah tapak dengan jarak yang lebih jauh dari pusat kota. Namun, fenomena ini cenderung tidak umum di Indonesia. Salah satu alasannya ialah kecenderungan masyarakat menjadikan apartemen sebagai properti investasi dibandingkan tempat tinggal. Memang, dari capaian kredit, KPA rata-rata selalu tumbuh lebih tinggi. Meski begitu, data menunjukkan lebih dari setengah total nilai proyek pembangunan apartemen nasional berada di DKI Jakarta, namun hanya 55,8% rumah tangga di DKI Jakarta yang memiliki tempat tinggal.

Selain mendorong pembangunan hunian vertikal terjangkau untuk kalangan menengah, pendekatan spasial juga perlu digunakan dalam menetapkan prioritas pembangunan. Mengacu fakta yang ada, usaha mengurangi angka backlog diprioritaskan pada empat provinsi awal, diiringi pengembangan potensi pasar sewa (leased) di tiga provinsi terakhir. Hal ini dapat dianggap sebagai potensi baru seiring berkembangnya penyedia jasa rental berbasis digital seperti AirBnB dan Airy.

Efesiensi spasial lainnya dimungkinkan terjadi bila pembangunan properti terintegrasi dengan proyek nasional, khususnya pengembangan area yang menjadi prioritas seperti Kawasan Ekonomi Kreatif dan hub-centre. Perhotelan dan pusat perbelanjaan, baik mal maupun ruko, memiliki potensi besar di area Transit Oriented Development (TOD) seperti stasiun MRT, bandara baru, pelabuhan dan pusat industri, mengingat ekonomi masih digerakkan sektor konsumsi.

Dengan tata kelola spasial, pengembangan yang tepat berdasarkan skala prioritas, sektor pariwisata dan konsumsi juga bisa dioptimalkan untuk memberikan pengaruh terhadap sektor properti secara keseluruhan.

Mufti Faisal Hakim
Industry Analyst Bank Mandiri

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Mastering Financial Analysis Training for First-Time Sales Supervisor/Manager 1-day Program

[X]
×