kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.520.000   12.000   0,80%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Pemindahan ibu kota dan banjir Jakarta


Rabu, 08 Mei 2019 / 11:26 WIB
Pemindahan ibu kota dan banjir Jakarta


Reporter: Harian Kontan | Editor: Tri Adi

Wacana pemindahan ibu kota negara kembali mengemuka belakangan. Topik tersebut malah merupakan hal yang biasa dan terjadi di hampir setiap kepemimpinan yang ada di negeri ini, sejak era Bung Karno. Pertama kali, Presiden RI pertama Soekarno mencetuskan wacana pindah ibu kota ke Palangkaraya.

Kini, muncul kembali tiga alternatif anyar hasil rapat Pemerintahan Joko Widodo. Pertama, ibu kota negara tetap ada di Jakarta tetapi daerah di seputaran Istana Kepresidenan dan kawasan Monas dibuat khusus untuk kantor-kantor pemerintahan, kementerian, dan lembaga. Yang kedua, adalah pusat pemerintahan pindah ke luar Jakarta. Tetapi, masih dalam radius sekitar 50 km70 km dari Jakarta. Alternatif  ketiga, adalah memindahkan ibu kota ke luar Pulau Jawa, khususnya kawasan Timur Indonesia. Presiden Jokowi menegaskan, lebih memilih alternatif terakhir.

Alternatif luar Pulau Jawa memunculkan tiga opsi lagi. Dan semuanya berada di Pulau Kalimantan. Tiga kota opsi lokasi ibu kota yang baru yakni seperti usulan Bung Karno adalah daerah Palangkaraya dan sekitarnya, kemudian ada Tanah Bumbu di Provinsi Kalimantan Selatan, serta Panajam dan sekitarnya yang ada di Provinsi Kalimantan Timur. Optimisme rencana pemindahan ibu kota tersebut belum sepenuhnya hadir, mengingat dibutuhkan anggaran hingga Rp 466 triliun untuk bisa merealisasikannya.

Apapun dan kapanpun realisasi pemindahan ibu kota tidak mengurangi mendesaknya untuk mengurai masalah di Jakarta saat ini. Salah satu yang terbesar adalah banjir. Jakarta bisa dikatakan sebagai ibu kota banjir Indonesia. Banjir menjadi bencana tahunan dan kerap melumpuhkan sebagian kota. Kondisi klasik ini sebenarnya sudah masuk darurat dan mesti menjadi prioritas nasional, mengingat statusnya sebagai ibu kota negara.

Belakangan, banjir kembali melanda Jakarta. Sungai Ciliwung meluap dan menggenangi sebagian wilayah Jakarta Timur dan Jakarta Selatan pada Jumat (26/4). Daerah terdampak banjir terdiri dari 18 titik yang terdiri dari 4 titik di wilayah Jakarta Selatan dan 14 titik di wilayah Jakarta Timur. BPBD Provinsi DKI Jakarta melaporkan, sebanyak 2.942 orang mengungsi di 16 titik pengungsian.

Banjir Jakarta merupakan fenomena klasik yang terjadi pula di sebagian besar wilayah Indonesia. Musim kemarau selalu menimbulkan kekeringan di Indonesia. Hal ini adalah paradoks, mengingat Indonesia sebagai negara tropis yang semestinya makmur air. Indonesia memiliki potensi sumberdaya air nomor lima terbesar sedunia. Penyebab kekeringan di Indonesia diprediksi karena penyimpangan iklim, gangguan keseimbangan hidrologis, dan kekeringan agronomis.

Kekeringan dan banjir bagaikan dua sisi mata uang yang datang silih berganti. Krisis air didiagnosis terjadi karena efek gegar hidrologi. Gegar hidrologi seperti halnya gegar otak, merupakan kondisi di mana pengelola negeri ini tidak mampu memahami dan gagal memfungsikan kaidah-kaidah hidrologi dalam pembangunan (Siswantara, 2011).

Strategi mitigasi

Bencana hidrologi mesti dimitigasi total melalui manajemen sumberdaya air terpadu. Manajemen tidak bisa dilakukan responsif dan parsial, baik dalam hal aspek maupun spasial. Selama ini kekeringan hanya dijawab dengan kebijakan dropping air. Alhasil, krisis air hanya teratasi sesaat dan cepat kambuh di kemudian hari. Harmonisasi penting diciptakan antara aspek teknis, ekonomi, sosial budaya, politik, dan ekologi. Pendekatan spasial juga harus diterapkan melalui pengelolaan berbasis daerah aliran sungai (DAS).

Pembenahan ekologi secara natural hendaknya diprioritaskan sembari melakukan rekayasa lingkungan. Ruang terbuka hijau (RTH) perkotaan, sebagaimana amanat Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang wajib diupayakan dan minimal bisa mencapai 30% dari luas wilayah. Kawasan sempadan sungai juga mesti dikembalikan fungsinya. Revitalisasi kawasan bisa dilakukan dengan strategi vertikalisasi. Sedangkan keberadaan rumah susun adalah solusi yang manusiawi bagi pemukiman liar yang berada di sekitar daerah aliran sungai.

Rekayasa lingkungan diimplementasikan dengan prinsip optimalisasi neraca air. Salah satu strategi efektif yang layak diupayakan adalah metode pemanenan air hujan. Fungsi resapan daerah hulu mesti dipertahankan dengan pengendalian konversi lahan dan peningkatan vegetasi. Sedang pemanenan air hujan bisa menjadi solusi praktis kekurangan air sekaligus banjir. Untuk kepentingan jangka pendek, hasil pemanenan bisa langsung dimanfaatkan bagi irigasi, cuci, dan mandi, serta untuk jangka panjang dapat menambah pasokan air tanah dengan cara peresapan. Air hujan dengan treatment tertentu bahkan bisa diolah untuk keperluan minum.

Banyak model pemanenan yang bisa dikembangkan, antara lain penampungan air hujan (PAH), sumur resapan, lahan terbuka, lubang biopori, dan polder. Pola dan prioritas pemanfaatan air pun bisa dilakukan seperti memanfaatkan air hujan untuk keperluan sekunder, misalnya, menyiram tanaman.

Nah, wilayah Indonesia mayoritas dibelah oleh sungai-sungai. Dan sungai merupakan ekosistem yang membutuhkan manajemen pengelolaan DAS secara konsisten dan berkelanjutan. Sayang, manajemen DAS di Indonesia belum dikelola secara baik. Kementerian PUPR menyebutkan, sekitar 282 DAS dalam kondisi sangat kritis dan menjadi penyebab bencana banjir juga kekeringan.

Sungai yang multipotensi juga menjadi faktor negatif citra sebuah wilayah. Sungai identik dengan kekumuhan, penuh sampah, lokasi pembuangan limbah, dan lainnya. Sungai cenderung menjadi bagian belakang dan belum menjadi wajah depan kawasan. Ke depan, sungai mesti dikembalikan dan dibalikkan menjadi primadona kawasan. Konsep water front city bisa dikembangkan secara seimbang ekologi, sosial, dan ekonomi.

Nah, itu harus segera dikerjakan. Sebab, krisis air adalah hantu masa depan umat manusia. Kunci implementasi manajemen sumberdaya air terpadu adalah, ada komitmen politik pemimpin negeri, kepedulian swasta, dan partisipasi masyarakat.

Kejadian banjir Jakarta mestinya mengetuk mata hati para pemimpin dan politisi supaya lebih peka terhadap bencana. Kebijakan pembangunan berbasis kebencanaan penting dijadikan salah satu pilar visioner mengelola bangsa dan wilayah. Pemindahan ibu kota adalah satu hal, menyelesaikan masalah klasik banjir Jakarta hal lain yang sepadan.♦

Ribut Lupiyanto
Deputi Direktur Center for Public Capacity Acceleration

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×