kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45898,78   -24,72   -2.68%
  • EMAS1.319.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Penerapan Pajak Kekayaan, Mengapa Tidak?


Selasa, 13 April 2021 / 13:40 WIB
Penerapan Pajak Kekayaan, Mengapa Tidak?


Sumber: Harian KONTAN | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti

KONTAN.CO.ID - Penerimaan negara terus mendapat sorotan tajam dalam beberapa tahun belakangan ini, utamanya saat pandemi Covid-19. Di satu sisi, pelemahan ekonomi membawa imbas pada pada kekurangan penerimaan. Sementara itu, pemulihan ekonomi mengharuskan insentif fiskal yang membuat pemerintah kehilangan penerimaan.

Di sisi lain, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 mengamanatkan rasio defisit mulai 2023 harus kembali ke pakem semula maksimum 3% dari produk domestik bruto (PDB). Alhasil, pemerintah mempunyai pekerjaan rumah yang berat terkait dengan peningkatan penerimaan negara.

Opsi konsolidasi fiskal lewat pada pengurangan belanja negara agaknya akan dihindari. Selain berisiko pada periode resesi ekonomi yang semakin panjang, mayoritas belanja negara juga bersifat wajib (mandatory spending). Lagi pula, rasio belanja pemerintah terhadap PDB masih relatif kecil, yakni sekitar 10%.

Pilihan pada peningkatan penerimaan pajak tampaknya masih terbuka lebar. Rasio pajak terhadap PDB mengalami tren penurunan. Rasio pajak juga masih rendah, jauh di bawah standard negara berpenghasilan rendah 15%, apalagi dibandingkan dengan 30% di negara maju (Peralta-Alva et al., 2018).

Wacana yang berkembang untuk menggenjot perolehan pajak pun sangat bervariasi. Strategi yang muncul merentang dari program pengampunan pajak (tax amnesty) jilid II, penarikan pajak di sektor pertanian, perubahan tarif di sektor konstruksi, hingga pemungutan pajak kekayaan (wealth tax).

Dari sekian banyak proposal, pajak kekayaan agaknya lebih masuk akal diimplementasikan. Di masa pandemi, nilai kekayaan orang super kaya meningkat pesat. Sementara, pajak kekayaan di Indonesia masih terbatas pada Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dan itupun sudah didaerahkan alias dikelola pemerintah daerah.

Pengenaan pajak atas kekayaan sejatinya sudah diinisiasi. Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 19/PMK.03/2018 tentang perubahan kedua atas PMK Nomor 70/PMK.03/2017. Aturan itu mengubah sejumlah ketentuan termasuk kewajiban pelaporan harta warisan bagi wajib pajak (WP) perorangan.

Aturan PMK sebelumnya hanya mencantumkan kewajiban pelaporan data WP perorangan. Dalam aturan baru, data warisan milik WP pribadi juga harus dilaporkan termasuk warisan yang belum terbagi bila pemilik harta sudah meninggal. Mengikuti Undang-Undang PPh, warisan yang belum terbagi merupakan subjek pajak pribadi.

Menagih kewajiban pajak orang yang sudah meninggal pada ahli warisnya tampaknya bertolak belakang dengan prinsip hukum. Dalam kasus pidana, misalnya, jika subjek hukum meninggal dunia, perkara yang menimpanya batal demi hukum. Artinya, penegak hukum tidak bisa meminta pertangungjawaban ahli warisnya.

Potensi ekonomi ahli waris

Aspek kesetaraan sepertinya tidak berlaku antara perkara pidana dan pajak. Padahal, penghindaran atau bahkan penggelapan pajak masuk dalam ranah hukum pidana. Persoalan pajak juga eksis pada saat warisan dibagi. Ambiguitas rujukan hukum muncul antara arena yuridis perdata dan pidana.

Harus diakui, memang tidak semua harta warisan bersifat produktif yang mampu memberikan penghasilan. Namun yang pasti, kemampuan ekonomi ahli waris bertambah setelah memperoleh warisan sehingga mereka semestinya membayar pajak yang lebih tinggi pula guna memenuhi prinsip keadilan horizontal.

Dengan menetapkan batasan nilai warisan minimum Rp 1 miliar - merujuk pada limitasi pertukaran data perpajakan misalnya - DJP bisa memungut PPh atas penghasilan berupa warisan yang diterima. Dengan alur logika ini pula, warisan sejatinya bisa menjadi objek pajak alih-alih hanya pajak penghasilan (PPh) yang dihasilkan dari harta warisan.

Penerimaan warisan semacam ini bisa dianalogikan dengan pemberian atau hadiah. Hadiah berupa uang untuk para atlet atau prize money bagi pemenang undian berhadiah toh sudah dikenai pajak. Bedanya, hadiah atlet hasil dari sebuah prestasi, warisan dan prize money murni karena perolehan tanpa imbal prestasi.

Perluasan definisi warisan ke dalam pemberian atau hadiah atau yang lebih luas lagi kekayaan, menjadi instrumen fiskal yang sangat ampuh guna mewujudkan keadilan vertikal. Artinya, perlakuan pajak harus berbeda jika merujuk pada subjek pajak dengan kondisi yang berbeda pula.

Dalam skala yang lebih luas, pajak atas pemberian sedikit banyak juga bisa menurunkan tensi gratifikasi. Pemberi gratifikasi akan lebih berhati-hati dalam mempertangungjawabkan pemberiannya. Penerima gratifikasi pun akan berpikir dua kali untuk melaporkan asal perolehan gratifikasi plus pajak yang harus dia bayar.

Pajak warisan di negara-negara maju sudah menjadi kelaziman. Prinsipnya, setiap pelaku ekonomi yang memperoleh manfaat atas suatu objek diklasifikasikan sebagai pendapatan sehingga terkena pajak. Pendapatan dihitung atas dasarMopportunity cost andaikan objek tersebut diperoleh melalui pembelian.

Oleh karenanya, penerapan pajak kekayaan, warisan, pemberian, atau hadiah di Indonesia potensial mengurangi risiko perubahan regulasi perpajakan yang drastis, misalnya revisi besaran tarif pajak. Hal ini sangat boleh jadi lantaran penerimaan pajak sangat sensitif terhadap kondisi perekonomian.

Persoalan administrasi sering menjadi alibi dalam pemungutannya. Celah ini sering dimanfaatkan oleh perusahaan untuk memberikan hadiah kepada pegawainya dalam bentuk barang/jasa yang jika dimasukkan ke dalam komponen gaji/upah akan terkena PPh. Jika pemberian ini bisa dipajaki, penerimaan negara niscaya meningkat.

Dengan konfigurasi problematik di atas, reformasi perpajakan yang tengah digeber otoritas pajak belakangan ini semestinya juga mengakomodasi eksistensi pajak kekayaan plus aspek administrasi pemajakannya. Penguatan kelembagaan lewat regulasi saja akan kontraproduktif bila di lapangan dijumpai kendala administratif.

Kesemuanya ini ditujukan agar ketentuan pajak kekayaan dapat diimplementasikan. Tanpa sinkronisasi antara ranah regulasi dan aspek praktik, pajak kekayaan berisiko tidak terjaring, konsolidasi fiskal gagal, defisit fiskal terus saja dibiayai dari utang, dan bisa jadi opsi pengurangan belanja pemerintah akan diambil.

Alhasil, harapan besarnya adalah bahwa penerimaan dari sektor perpajakan dalam jangka panjang benar-benar mampu menjadi soko guru dalam pembiayaan belanja pemerintah. Apalagi, Visi 2045 mengamanatkan Indonesia harus menjadi negara maju dan mandiri secara fiskal. Bukan begitu?

Penulis : Haryo Kuncoro

Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Jakarta

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP)

[X]
×