kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.533.000   0   0,00%
  • USD/IDR 16.159   41,00   0,25%
  • IDX 7.058   74,16   1,06%
  • KOMPAS100 1.054   13,87   1,33%
  • LQ45 829   11,61   1,42%
  • ISSI 214   1,39   0,66%
  • IDX30 422   6,04   1,45%
  • IDXHIDIV20 509   6,65   1,32%
  • IDX80 120   1,57   1,32%
  • IDXV30 124   0,30   0,24%
  • IDXQ30 141   1,76   1,26%

Pengangguran dan global gig solusi


Minggu, 04 Agustus 2019 / 09:50 WIB
Pengangguran dan global gig solusi


Reporter: Harian Kontan | Editor: Tri Adi

Belakangan ini marak berita tentang meningkatnya angka pemutusan hubungan kerja (PHK) yang berakibat pada pengangguran, seperti yang baru saja dan sedang terjadi dengan gerai supermarket Giant dan PT Krakatau Steel (Persero) Tbk (KRAS).

KRAS adalah pabrik baja nasional yang mulanya dibentuk sebagai wujud pelaksanaan Proyek Baja Trikora yang diinisiasi oleh Presiden Soekarno pada tahun 1960. Soekarno ingin memiliki pabrik baja yang mampu mendukung perkembangan industri nasional yang mandiri, bernilai tambah tinggi dan berpengaruh bagi pembangunan ekonomi nasional. Namun sayang, tujuh tahun berturut-turut KRAS mengalami kerugian akibat serbuan baja impor China yang berakibat produksi baja KRAS sulit berkompetisi.

Meski serbuan baja China tersebut juga terjadi di negara Asia yang lain, namun pukulannya jelas telak ke industri Indonesia, karena adanya masalah dengan manufaktur di dalam negeri. KRAS hanyalah satu contoh dari sekian banyak kasus PHK dengan kinerja manufaktur kita yang ada di ambang kebangkrutan.

Banyak istilah dan bahasa yang dikemas guna menyamarkan kata PHK karena siapapun akan terpukul oleh dampak pengangguran. Kata efisiensi, restrukturisasi, perampingan dan entah ada istilah apa lagi dikemukakan untuk mengemas PHK ini.

Terputusnya sumber pendapatan seketika menjadikan suramnya cahaya kehidupan. Sementara beban biaya semakin hari semakin mahal, biaya transportasi, listrik, uang sekolah, kebutuhan pokok dan yang lain semuanya merangkak naik.

Berkembangnya populasi dan usia angkatan kerja memerlukan berbagai variasi dan solusi cerdas guna mengatasi pengangguran. Selain langkah urgensi pembenahan sektor manufaktur, pemerintah mesti fokus pada proyek yang dapat menciptakan lapangan kerja baru secara nyata di lapangan dan multiplier effect pada kegiatan ekonomi serta perdagangan lokal.

Efek lapangan kerja yang nyata ini perlu penegakan dan sanksi tegas guna menghindari adanya investasi semu. Seperti yang terjadi baru-baru ini terjadi ketika sebuah perusahaan raksasa sosial media yang mengaku telah beroperasi penuh di Indonesia, kenyataannya saat dicek di lapangan menunjukkan hanya ada seorang resepsionis.

Banyak perusahaan multi nasional hanya menjadikan Indonesia sebagai ceruk pasar yang menggiurkan dengan hanya membuka perwakilan. Sementara kegiatan operasional nyata mereka ada di negara tetangga misalnya Singapura, sehingga meski transaksinya di Indonesia tetapi efek ekonominya negara lain yang merasakan. Bahkan, ada yang pembukuan transaksinya diakui sebagai bagian dari transaksi negara tetangga, bukan transaksi Indonesia, jelas secara citra global hal ini merugikan Indonesia.

Ekspor tenaga kerja bisa menjadi alternatif solusi mengatasi pengangguran di tengah kontraksi pasar tenaga kerja nasional kita. Negara-negara maju yang pertumbuhan penduduknya stagnan atau bahkan negatif seperti Jepang misalnya, sekarang memasuki masa penduduk tua, yakni membutuhkan banyak tenaga kerja demi kelangsungan industri dan ekonomi mereka. Tentunya tenaga kerja dengan keterampilan dan keahlian yang bisa mengisi peluang ini.

Perlu keterampilan

Variasi lain adalah temporary work yang dikenal dengan istilah gig economy, yakni istilah dan konsep yang relatif baru bagi Indonesia, yaitu suatu kegiatan pekerjaan dengan pengaturan kerja terbatas pada periode waktu tertentu berdasarkan kebutuhan organisasi pemberi kerja.

Dengan menggunakan internet, pekerja dapat mengakses dan menemukan berbagai pasar global pekerjaan melalui freelance marketplace, yakni tempat para work agency di berbagai belahan dunia yang kebanyakan berasal dari negara-negara maju. Mereka secara online menawarkan bermacam jenis pekerjaan yang bisa dikerjakan secara remote tanpa terikat pada ruang atau lokasi tertentu dan dengan waktu pengerjaan yang fleksibel. Ada beberapa platform marketplace yang terkenal seperti Freelancer-Australia, UpWork-Amerika Serikat (AS), Zhubajia-China memiliki jumlah pengguna sampai 60 juta.

Negara terdekat yang pekerjanya telah banyak memanfaatkan gig economy ini adalah Filipina, India, Pakistan dan Bangladesh. Sedangkan negara-negara pemberi kerja melalui gig economy adalah AS, Inggris, Kanada, Australia, Jerman, dan Singapura.

MasterCard dalam laporan studinya menyebutkan bahwa global gig economy mengalami pertumbuhan pesat sampai dengan dobel digit tiap tahunnya selama lima tahun ke depan. Disebutkan bahwa tahun 2018, volume gross gig economy mencapai US$ 204 miliar, dan akan tumbuh sampai US$ 455 miliar pada tahun 2023.

Seperti dilansir The Economist, Kenya adalah contoh negara yang menjadikan gig economy sebagai solusi meningkatkan lapangan kerja. Kesenjangan lapangan kerja yang berkembang pesat di Afrika telah menjadi masalah emosional bagi para ekonom dan pembuat kebijakan.

Masalah ini diperburuk oleh populasi kaum muda yang meningkat dengan cepat, karena kurangnya pekerjaan di sektor formal. Ini berarti bahwa sebagian besar tenaga kerja beralih ke pekerjaan di sektor informal seperti pekerjaan rumah tangga, pekerja lepas, atau pertanian petani kecil.

Sebagai contoh Kibera, kawasan kumuh terbesar di Kenya yang rata-rata pendapatan masyarakatnya US$ 2 per hari, sekarang bertransformasi menjadi bagian dari global gig economy. Para pekerjanya menjadi pekerja mandiri dengan mengambil pekerjaan paruh waktu dari penawaran yang tersedia secara online.

Pemerintah Kenya bahkan mempunyai program untuk melatih 1 juta penduduk angkatan kerjanya guna menjadi digital workforce karena melihat manfaat positif dari gig economy ini.

Di Amerika Serikat sendiri pendapatan dari pekerjaan gig economy sangat menggiurkan, para profesional yang memiliki keterampilan dalam algoritma dan bahasa pemrograman seperti Tensorflow, Python, R, Java, Matlab, Perl dan C ++ bisa mengambil pekerjaan sebagai data scientist, blockchain jobs atau robotics dengan tarif sampai lebih dari US$ 75 per jamnya.

Sementara negara-negara Afrika seperti Kenya bisa mengambil pekerjaan yang lebih sederhana seperti data entry yang hanya memerlukan ketrampilan dasar excel untuk mengerjakannya. Satu contoh nyata yang bisa menjadikan cermin variasi solusi ketenagakerjaan kita.♦

Yunarwanto,
Entrepreneur dan Mahasiswa Pascasarjana
Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective Bedah Tuntas SP2DK dan Pemeriksaan Pajak (Bedah Kasus, Solusi dan Diskusi)

[X]
×