kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45927,64   6,18   0.67%
  • EMAS1.325.000 -1,34%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Penghentian Kasus dan Postur SDM KPK


Kamis, 27 Februari 2020 / 14:20 WIB
Penghentian Kasus dan Postur SDM KPK
ILUSTRASI.


Sumber: Harian KONTAN | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti

KONTAN.CO.ID - Penghentian sederet kasus korupsi merupakan indikasi ada masalah terkait postur sumber daya manusia (SDM) di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Akibatnya, dalam hal strategi metode dan teknologi antikorupsi masih lemah. Secara psikologi massa, penghentian mengendorkan semangat dan antusias publik terkait pemberantasan korupsi. Dampaknya cukup menyedihkan karena hasil survei Badan Pusat Statistik (BPS) terhadap 10.000 rumah tangga terkait korupsi semakin nyata adanya, yakni sejumlah kebiasaan yang mengarah pada perilaku korupsi oleh masyarakat dianggap wajar.

Wakil Ketua KPK Alexander Marwata mengatakan, 36 perkara yang dihentikan di tingkat penyelidikan didominasi oleh kasus suap. Kasus-kasus suap yang dimaksud terkait dengan sejumlah hal, antara lain pengadaan barang dan jasa dan pengurusan perkara dan jual beli jabatan. Alex menyebut penghentian perkara-perkara tersebut umumnya dilakukan karena penyelidik belum atau tidak mampu menemukan bukti-bukti permulaan yang cukup.

Apalagi dalam Undang-Undang (UU) KPK yang baru disebutkan jika dalam dua tahun penyelidikan itu belum cukup alat bukti, KPK boleh atau dapat menghentikan penyelidikan. Data lima tahun terakhir sejak 2016, KPK pernah menghentikan penyelidikan sebanyak total 162 kasus. Mencermati data ini, kita bisa mengambil kesimpulan bahwa kondisi riil SDM KPK masih boleh dibilang lemah, sehingga perlu penguatan.

Tak pelak lagi, penghentian kasus korupsi yang disebabkan oleh kurangnya bukti permulaan, masalahnya berakar dari kemampuan SDM KPK terkait dengan lemahnya strategi dan implementasi antikorupsi yang menerapkan metode dan teknologi seluas-luasnya. Beberapa strategi antara lain strategi pencegahan, penindakan, pengembalian aset negara, kerjasama internasional dan strategi mekanisme pelaporan, yang selama ini masih belum efektif dan terkendala masalah SDM.

Penguatan SDM KPK sejalan dengan hasil konferensi Persatuan Bangsa-Bangsa (PB) tentang antikorupsi atau Conference of States Parties to the United Nations Convention Against Corruption.

Meningkatnya modus korupsi di negeri ini mengharuskan KPK merekrut SDM lebih banyak, berkualitas, serta mewujudkan sistem kerja yang lebih efektif dengan dukungan teknologi canggih.

Dalam penindakan kasus korupsi memerlukan SDM yang memiliki kompetensi tinggi. Kompetensi yang dimaksud antara lain Pertamacomputer forensic. Ini merupakan ilmu forensik berkaitan dengan bukti legal yang ditemukan pada komputer dan media penyimpanan digital. Ilmu ini bertujuan untuk keperluan investigasi korupsi. Penyelidikan ini memerlukan seorang yang ahli karena data yang diteliti bisa mencapai jutaan file yang harus dianalisa tali-temalinya.

Selain itu, SDM KPK harus punya kemampuan forensik akuntansi yang merupakan keahlian dalam mengidentifikasi aliran keuangan. Dengan begitu, ahli-ahli yang bekerja di KPK, tidak hanya seorang ahli hukum saja melainkan juga harus ahli dalam bidang teknologi. Dengan keahlian ini kita dapat melakukan audit, valuasi bisnis, dan mendeteksi pencucian uang.

Keduaintercept communication. Keahlian ini berguna untuk menangkap atau memintas jalur komunikasi pada pelaku atau suatu instansi yang terduga melakukan tindak pidana korupsi. Untuk memberantas korupsi perlu insinyur dan tenaga ahli dalam bidang ini karena Indonesia masih ketinggalan jauh dari sisi teknologi.

Tiga aspek penting

Pada prinsipnya ada tiga aspek yang sangat penting dalam upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi di negeri ini, yakni transparansi, pengawasan dan investigasi. Ketiga aspek itu bisa efektif jika melibatkan perangkat teknologi. Pertama, aspek transparansi, yakni dimulai dari perencanaan, penganggaran, rekrutmen personel, pengadaan barang dan jasa, hingga evaluasi hasil pekerjaan. Esensi transparansi adalah keterbukaan informasi, sehingga konvergensi TIK dengan derivatif pengembangannya sangat berperan di sini.

Untuk mewujudkan aspek transparansi ada beberapa aplikasi TIK yang bisa menunjang antara lain dengan sistem e-Budgetting, e-Sourcing, e-Recruitment, e-Procurement dan sebagainya. e-Budgetting merupakan aplikasi untuk sistem penganggaran lembaga pemerintah dan swasta yang bisa mencegah duplikasi, mark-up maupun penganggaran untuk kegiatan fiktif. e-Recruitment merupakan aplikasi untuk merekrut calon pegawai. Sedangkan e-Procurement adalah aplikasi untuk pengadaan barang dan jasa secara on-line. Sehingga prosedur dan ketentuan terkait tender bisa diakses oleh publik.

Kedua, Aspek pengawasan, pada saat ini tidak cukup hanya dengan cara konvensional untuk memeriksa neraca objek yang diawasi. Neraca mesti ditransformasikan sehingga tidak sekadar bersifat tabular, tetapi bisa tersaji secara detail dan tersaji juga dalam data spasial.

Ketiga, aspek investigasi. Aspek ini dimulai dari analisis berkas laporan transaksi keuangan, baik yang ada di bank maupun hasil audit akuntansi dan audit atas peralatan TIK yang dipakai. Misalnya, dalam hal membedah anatomi korupsi dalam sebuah proyek yang penuh dengan temuan mencurigakan, maka akan lebih praktis jika SDM KPK memiliki kompetensi yang mumpuni terkait aplikasi Materials Requirement Planning (MRP).

Aplikasi MRP ini tentunya dapat menganalisa dan menelusuri secara cepat berbagai bentuk penyelewengan atas berbagai temuan. Selain itu, aplikasi di atas secara cepat dapat memantau segala macam spesifikasi dari bill of materials yang berasal dari berbagai pemasok atau vendor lokal maupun luar negeri sehingga praktik penggelembungan dan penyimpangan dapat diketahui dengan cepat.

Penghentian kasus korupsi selain pemborosan dan kesia-siaan juga bisa memukul semangat publik. Di masa mendatang publik akan bersikap masa bodoh dan menganggap korupsi menjadi hal yang lumrah.

Dari hasil survei BPS terhadap 10.000 rumah tangga terlihat bahwa sejumlah kebiasaan yang mengarah pada perilaku korupsi masih dianggap wajar. Dalam lingkup komunitas, pandangan masyarakat terhadap berbagai isu yang dekat dengan praktik korupsi bahkan lebih terbuka. Misalnya, sebagian besar masyarakat, sebanyak 73,68% menganggap lumrah bila memberi uang atau barang kepada tokoh adat, agama, dan masyarakat ketika suatu keluarga melaksanakan hajatan. Sedangkan hanya sebagian kecil yang menilai hal ini tidak tepat.

Contoh lain dalam pemberian uang atau barang kepada tokoh adat, agama, dan masyarakat. Sebanyak 53,58% menganggap hal tersebut wajar, sebanyak 36% menganggap kurang wajar atau tidak wajar.

Penghentian sederet kasus korupsi semakin mendorong faktor pemicu dalam teori triangle corruption. Teori ini menjelaskan faktor pemicu fraud (kecurangan), dan korupsi adalah kesempatan, motivasi, dan rasionalisasi yang ketiga unsur tersebut bersifat saling mempengaruhi.

Penulis : Meithiana Indrasari

Wakil Rektor Universitas Dr.Soetomo Surabaya

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Trik & Tips yang Aman Menggunakan Pihak Ketiga (Agency, Debt Collector & Advokat) dalam Penagihan Kredit / Piutang Macet Managing Customer Expectations and Dealing with Complaints

[X]
×