kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.908.000   -6.000   -0,31%
  • USD/IDR 16.292   10,00   0,06%
  • IDX 7.179   38,11   0,53%
  • KOMPAS100 1.031   5,07   0,49%
  • LQ45 784   4,64   0,60%
  • ISSI 235   1,24   0,53%
  • IDX30 405   2,51   0,62%
  • IDXHIDIV20 466   3,43   0,74%
  • IDX80 116   0,71   0,62%
  • IDXV30 118   1,37   1,17%
  • IDXQ30 129   0,69   0,53%

Penguatan Biro Klasifikasi Indonesia


Rabu, 28 Februari 2018 / 16:02 WIB
Penguatan Biro Klasifikasi Indonesia


| Editor: Tri Adi

Kementerian Perhubungan (Kemhub)  melimpahkan pelaksanaan survei dan sertifikasi statutoria kapal berbendera Indonesia kepada PT Biro Klasifikasi Indonesia (BKI). Langkah Kemhub ini dinilai sudah tepat oleh sebagian kalangan dan telah lama ditunggu. Namun, ada sebagian lagi yang beranggapan sebaliknya. Mereka yang mendukung pelimpahan berargumentasi, apa yang dilakukan pemerintah bisa mempercepat upaya BKI menjadi anggota International Association of Classification Societies (IACS).

Dengan menerima pelimpahan pemeriksaan survei dan sertifikasi statutoria kapal berbendera Indonesia jumlah tonase yang ditangani oleh BKI akan terdongkrak sehingga salah satu syarat keanggotaan IACS, yaitu besar tonase yang telah diklasifikasi, bisa dipenuhi. Sementara, mereka yang berada di “kedai seberang” menilai pelimpahan tersebut sulit dilaksanakan karena sumber daya manusia dan fasilitas pendukung yang dimiliki BKI masih terbatas. Di samping itu, pelimpahan juga akan melambungkan biaya jasa BKI.

Karena itu, mereka berpendapat agar baik Kemhub maupun BKI tetap istikamah di lini bisnis masing-masing (business as usual) dan kebijakan pelimpahan pemeriksaan survei statutoria sebaiknya dibatalkan saja.

Statutory dan mandatory

Pelimpahan pelaksanaan survei statutoria, kerap pula diistilahkan statutory, kepada badan klasifikasi (BKI) yang memantik riak kontroversi dalam komunitas maritim di Tanah Air bisa dipahami. Pasalnya, kegiatan tersebut selama ini memang dijalankan langsung oleh otoritas maritim sebuah negara bendera atau flag state melalui organ khusus untuk itu. Di Indonesia, otoritas maritim itu adalah Direktorat Jenderal Perhubungan Laut dan dilaksanakan di pelabuhan oleh marine inspector.

Di sisi lain, badan klasifikasi – lazim dipanggil klas saja dalam khazanah pelayaran/perkapalan – menjalankan survei terhadap konstruksi lambung dan permesinan (hull and machinery) dan kelistrikan kapal dengan tujuan memberikan penilaian atas laik tidaknya kapal tersebut untuk berlayar. Survei ini dikenal dengan nama mandatory. Opini yang diberikan oleh klas atas kondisi komponen tadi biasanya dijadikan rujukan oleh pihak asuransi yang akan menanggung kapal yang bersangkutan. Nah, asuransi tersebut  dinamai hull and machinery atai H&M.

Klasifikasi adalah salah satu komponen dan telah cukup lama hadir di kancah bisnis pelayaran dunia. Hal ini dapat dilihat dari berbagai klas besar dunia seperti Germanischer Lloyd, Lloyd's Register, ClassNK, Det Norske Veritas (DNV), Bureau Veritas dan lain sebagainya yang telah berumur lebih dari 100 tahun. Perusahaan-perusahaan inilah yang menumbuhkan IACS yang tengah diupayakan oleh BKI untuk bisa masuk.

Adapun yang menjadi objek survei statutoria tergolong beragam, mulai dari Safety of Life at Sea (SOLAS), Marine Polution (MARPOL), Maritime Labor Convention (MLC) dan lain sebagainya. Sampai di sini desakan agar pelimpahan statutoria dari Kemhub kepada BKI agar dibatalkan dan kedua institusi tetap menjalankan urusan masing-masing bisa diterima. Tugas dan fungsi mereka memang tidak saling bersinggungan sama sekali.

Dorongan melimpahkan survei statutoria kepada BKI berangkat dari kondisi cukup pahit berikut ini. Dalam catatan Tokyo Memorandum of Understanding, sebuah perhimpunan inspeksi negara pelabuhan (port state control) di kawasan Asia, Indonesia selalu masuk dalam "Top Five Black List" sejak 2015. Jika pun ada yang berubah, itu hanyalah jumlah kapal yang ditahan oleh inspektur di pelabuhan di luar negeri.

Penyebabnya adalah ketika dibutuhkan otorisasi terhadap berbagai sertifikat statutoria yang dimiliki kapal-kapal berbendera Indonesia, pihak marine surveyor Kemenhub tidak berada di tempat. Untuk mengatasi masalah seperti itu, hampir semua negara bendera (flag state) melimpahkan otorisasi terhadap sertifikat statutoria yang mereka keluarkan kepada klas, syukur-syukur klas nasional dan memiliki kantor perwakilan di pelabuhan di mana kapal tengah ditahan.

Bila tidak punya, mereka mendelegasikan kepada badan klas asing – semisal RINA Italia atau American Bureau of Shipping (ABS) – yang ada di lokasi yang bersangkutan. Klas ini juga merupakan anggota IACS. Kendati demikian, pilihan memakai klas nasional atau asing sepenuhnya tetap menjadi hak eksklusif shipowner karena merekalah yang akan membayar semua biaya yang diperlukan dalam proses otorisasi bila ada.

Selain mempermudah urusan otorisasi di pelabuhan luar negeri, penguatan BKI juga memberikan dampak lain yang cukup signifikan bagi dunia kemaritiman nasional. Transparansi dan akuntabilitas proses survei misalnya. Bukan rahasia lagi, proses survei statutoria penuh dengan permainan yang menelan biaya tidak resmi yang tidak sedikit jumlahnya. Permainan ini tak jarang berakhir petaka karena sertifikat yang dikeluarkan tidak seindah kenyataan yang ada pada kapal.

Mengapa survei statutoria perlu dirapikan? Jika pekerjaan yang dilakukan oleh BKI bisa diawasi oleh Direktorat Jenderal Perhubungan Laut (Ditjen Hubla), lalu who audits the marine inspector? Jawabannya tentu saja pihak Ditjen Hubla sendiri yang mengawasi para marine inspector-nya. Tetapi, karena sesama personil Hubla tentunya pengawasan ini bisa jadi berjalan tidak efektif karena ada jiwa korsa yang dinomorsatukan.

Banyak cerita bagaimana jiwa korsa itu diimplementasikan. Misalnya, kondisi kelaikan sebuah kapal yang sebenarnya tidak laik tetapi tetap saja bisa berlayar karena syahbandar memberikan surat persetujuan berlayar (SPB) karena barangkali ia dapat ‘titip salam’ dari temannya yang berada di kantor pusat Ditjen Hubla. Ada pula kisah bagaimana kapal tua ketika di-reflagging menjadi lebih muda sepuluh tahun dari tahun pembuatannya.

BKI tentu saja bukan tanpa handicap. Salah satunya, perusahaan ini dituding mengenakan biaya yang mahal dibanding klas asing atas layanan yang diberikan. Lebih jauh, klas asing malah menggratiskan jasanya karena mereka merupakan lembaga nirlaba. Isu profit-oriented memang menjadi persoalan BKI yang lain. BKI menjadi seperti saat ini, dengan berbagai tudingan yang ada, pastilah bukan atas maunya sendiri. Ia menjalankan tugas yang sudah ditetapkan oleh pemiliknya, yaitu Republik Indonesia.

BKI perlu berubah, cuma sebelum sampai ke sana, menjadi organisasi nirlaba dan non profit, perusahaan pelat merah ini perlu diperkuat terlebih dahulu.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Terpopuler
Kontan Academy
[Intensive Workshop] AI-Driven Financial Analysis Executive Finance Mastery

[X]
×