kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45903,33   4,58   0.51%
  • EMAS1.313.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Penguatan rupiah, fenomena sementara


Kamis, 22 November 2018 / 14:11 WIB
Penguatan rupiah, fenomena sementara
ILUSTRASI.


Reporter: Tri Adi | Editor: Tri Adi

Dua pekan pertama November, kurs rupiah menguat signifikan ke sekitar Rp 14.600 per dollar Amerika Serikat (AS), dari titik terendah sekitar Rp 15.250 pada Oktober lalu. Bahkan kurs rupiah sempat bergerak di sekitar Rp 14.400-an pada 8 November. Penguatan rupiah juga disertai penurunan imbal hasil Surat Utang Negara (yield SUN) dan rally di bursa saham. Ketiga bursa finansial seperti memberi sinyal bahwa masa-masa sulit telah berlalu dan menimbulkan harapan terciptanya stabilitas finansial di tahun 2019.

Dari aspek global, diduga sentimen kemenangan partai Demokrat pada midterm election di DPR Amerika Serikat (AS) dan dinamika teknikal dapat menjadi pemicu penguatan Rupiah. Dari domestik, ada dua indikator yang dapat menjadi sentimen positif pergerakan rupiah yaitu: peningkatan cadangan devisa dan kenaikan bunga kebijakan Bank Indonesia 7-Days Reverse Repo Rate (BI7DRRR).

Kalau dilihat, cadangan devisa konsisten terus menurun sepanjang 2018, dari US$ 132 miliar pada Januari 2018 menjadi US$ 114,8 miliar di September 2018. Wajar bila rupiah kemudian sangat mudah tertekan sentimen penguatan dollar AS. Di bulan Oktober, terjadi kejutan dimana cadangan devisa naik tipis menjadi US$ 115,2 miliar.

Ironisnya, kenaikan cadangan devisa ini terjadi pada saat defisit neraca perdagangan luar negeri membengkak. Secara kumulatif Januari-Oktober 2018, neraca perdagangan Indonesia mencatat defisit US$ 5,5 miliar. Defisit neraca perdagangan sepanjang 2018 kontras dengan surplus neraca perdagangan pada periode yang sama tahun 2016 dan 2017 yang masing-masing mencapai US$ 7,6 miliar dan US$ 11,8 miliar.

Merujuk siaran pers BI ternyata sumber peningkatan cadangan devisa berasal dari penarikan utang luar negeri pemerintah. Tanggal 25 Oktober, Perusahaan Listrik Negara (PLN) telah menarik pinjaman sebesar US$ 1,6 miliar dari sindikasi bank komersial internasional. Sedangkan di Surat Utang Negara (SUN), kepemilikan asing sepanjang Oktober naik Rp 13,5 triliun (sekitar US$ 0,9 miliar).

Peningkatan cadangan devisa ini seperti mencerminkan perbaikan fundamental ekonomi. Sayang, perbaikan fundamental tersebut tidak lebih dari polesan artifisial fenomena moneter: penambahan utang luar negeri dan penjualan SUN kepada investor asing.

Fenomena moneter

Investor asing juga tertarik membeli SUN Indonesia karena fenomena moneter, yaitu tingkat yield SUN Indonesia yang relatif tinggi. Sepanjang Oktober, yield SUN Indonesia tenor 10 tahun sempat mencapai 8,8%, tertinggi dalam periode 2016 - 2018. Dengan beban utang pemerintah sekitar 30% dari produk domestik bruto (PDB), ternyata yield SUN Indonesia lebih tinggi daripada yield SUN negara-negara dengan beban utang yang jauh lebih besar seperti Filipina (42% PDB), Meksiko (46%), Kolombia (48%), dan Vietnam (61%).

Pelemahan rupiah sepanjang 2018 sendiri menjadi fenomena moneter lain yang membuat asset finansial Indonesia menjadi relatif lebih murah dan menarik investor asing. Dengan yield yang tinggi dan rupiah yang sudah melemah, investasi asing di SUN berbasis mata uang Garuda berharap akan mendapat tambahan return berupa kenaikan harga SUN (capital gain) dan potensi penguatan rupiah (currency gain).

Potensi penambahan cadangan devisa dari arus modal portofolio berlanjut di November, dimana pembelian SUN oleh investor asing mencapai Rp 17 triliun per 15 November. Penjualan global bond oleh PT Inalum untuk akuisisi Freeport juga sementara menambah cadangan devisa, meski setelah pembayaran segera keluar dari perekonomian Indonesia.

Faktor kedua penguatan rupiah juga masih fenomena moneter, yaitu kenaikan suku bunga kebijakan BI7DRRR. BI menyatakan, kenaikan suku bunga kebijakan BI 7 DRR merupakan upaya menurunkan defisit transaksi berjalan dan juga untuk memperkuat daya tarik asset keuangan domestik dengan mengantisipasi kenaikan suku bunga global.

Sebenarnya, yield SUN tenor pendek 3 bulan dan 6 bulan masing-masing sempat naik ke 6,4% dan 6,6% pada September 2018. Sedangkan di akhir Oktober, yield SUN tenor pendek masing-masing berada di 6,0% dan 6,2%. Artinya, sepanjang September - Oktober yield SUN tenor pendek sudah memberi sinyal kepada Bank Indonesia untuk menaikkan suku bunga kebijakan. Lagi-lagi dinamika pasar membuktikan bahwa suku bunga kebijakan bank sentral adalah indikator pengikut (lagging indicator) dari dinamika ekonomi.

Dengan ancaman kenaikan yield US Treasury masih akan berlanjut di tahun 2019, baik karena kenaikan The Fed Fund Rate Target, quantitative tightening, dan membengkaknya defisit anggaran pemerintah Amerika, maka manfaat solusi moneter bagi penguatan rupiah ini diperkirakan bersifat sementara.

Apalagi dari aspek fundamental dimana defisit neraca perdagangan yang semakin melebar, maka potensi defisit transaksi berjalan akan mencapai 3,0% PDB atau lebih besar di tahun 2018. Sehingga sentimen negatif dari menurunnya kinerja riil struktural ekonomi akan lebih mendominasi dinamika pergerakan kurs rupiah terhadap dollar AS. Karena itu penyakit pelemahan rupiah akan segera kambuh lagi bila gejolak ekonomi global berlanjut.

Banyak ekonom menyatakan bahwa kebijakan moneter, berupa kenaikan suku bunga dan pelemahan nilai tukar, tidak dapat menyelesaikan permasalahan lemahnya daya saing sektor riil Indonesia. Lemahnya daya saing sektor riil ini memang bersumber pada masalah struktural seperti lemahnya sumberdaya manusia (SDM), biaya logistik yang tinggi karena minimnya infrastruktur, rendahnya inovasi teknologi, dan aspek institusional negara yang tidak kondusif bagi dunia usaha. Bahkan pelemahan ekstrem rupiah seperti tahun 1998 hanya bermanfaat sementara untuk meningkatkan daya saing perdagangan internasional Indonesia.

Secara empiris, kekalahan Indonesia dalam persaingan perdagangan internasional bisa terlihat dari data ekspor. Total ekspor negara kecil seperti Vietnam (mencapai US$ 214 miliar) sudah lebih besar daripada nilai total ekspor Indonesia (US$ 169 miliar) (WTO, World Trade Statistical Review 2018).

Belajar di era Orde Baru yang dapat memacu pertumbuhan ekonomi di saat harga minyak turun di 1980-an dan 1990-an, maka deregulasi sektor riil merupakan kunci utama perbaikan kinerja ekonomi. Berbagai reformasi ekonomi 1980-an dan 1990-an awal berhasil memacu pertumbuhan ekonomi menjadi rata-rata 6,8% per tahun dalam periode 1986-1996. Salah satu penopang pertumbuhan tinggi tersebut adalah pertumbuhan industri manufaktur yang mencapai 10,5% per tahun dalam periode yang sama (Macquarie Research, Mei 2015).•

Siswa Rizali
Presiden Direktur PT Asanusa Asset Management

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×