kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.249.000 2,21%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Pentingnya Integrasi Pengawasan


Rabu, 09 September 2020 / 12:20 WIB
Pentingnya Integrasi Pengawasan
ILUSTRASI.


Sumber: Harian KONTAN | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti

KONTAN.CO.ID - Pemerintah dan DPR RI berencana merevisi UU 23/1999 tentang Bank Indonesia. Alasannya, koordinasi antara anggota Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) tidak kuat, dan sulit mencapai kesepakatan konkrit untuk mengatasi ancaman akibat krisis kesehatan selama pandemi Covid-19.

Fungsi pengawasan perbankan disebut-sebut akan dikembalikan kepada Bank Indonesia karena Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dinilai tidak mendukung burden sharing dampak Covid-19. OJK dituding menjadi penyebab Peraturan Pemerintah (PP) 23/2020 tentang Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) tidak berjalan lancar.

Padahal, jika ditelusuri sebelumnya, OJK telah aktif merespons dampak pandemi ke sektor perbankan dan lembaga keuangan non-bank. Langkah strategis OJK, antara lain mengumumkan kebijakan relaksasi kredit tanggal 26 Februari 2020. Kemudian, menerbitkan POJK No. 11/2020 tentang Stimulus Perekonomian Nasional Sebagai Countercyclical Dampak Penyebaran Corona Virus Disease 2019 tanggal 16 Maret.

Relaksasi kredit dilakukan untuk mengatasi dampak pembatasan kegiatan sosial dan ekonomi selama pandemi Covid-19. OJK memandang debitur tidak akan bisa membayar kewajiban kredit di bank atau pembiayaan di leasing. Relaksasi restrukturisasi ini merupakan insentif bagi debitur dan bank atau leasing. Dari sisi bank dan leasing, jika terjadi kredit macet maka kolektibilitasnya akan memburuk, sehingga akan perlu dibuatkan dana cadangan. Nah, setiap penempatan dana cadangan ini bisa menguras modal bank.

Jika modal bank dibiarkan terkuras, maka industri perbankan di Indonesia akan memburuk. Padahal, saat ini Indonesia mengalami krisis kesehatan, bukan krisis keuangan. Hasilnya, sejak diberlakukan hingga 30 Juni, modal bank yang diselamatkan mencapai 103 triliun. POJK 11 juga menekan rasio NPL ke sekitar 3,11 persen. Jika tidak ada POJK 11, NPL kemungkinan bisa di sekitar 5,6%.

Selain itu, ada juga tuntutan kepada OJK untuk melakukan burden sharing dalam bentuk uang, seperti Bank Indonesia yang dapat membeli surat utang Pemerintah atau Kementerian Keuangan yang bisa melebarkan defisit dan mencari utang baru.

Bank Indonesia juga bersikeras bahwa bunga kredit harus sesuai dengan biaya operasi moneter yang berlaku saat ini, bahkan bisa diturunkan menjadi 0%.

Untuk saat ini, kondisi ini belum bisa diselesaikan. OJK hanyalah regulator yang bertugas memastikan mesin industri keuangan tidak overheated, menjaga pelumas, memastikan ketersediaan bensin atau likuiditas. Namun, tetap saja yang mengeluarkan uang membeli pelumas dan bensin adalah pemilik.

Pemulihan ekonomi

PP 23/2020 tentang PEN terbit beberapa hari setelah dikeluarkannya POJK No 11. Ini menunjukkan adanya kesadaran kuat lembaga keuangan OJK dengan permasalahan fiskal yang perlu didukung. PP 23 tersebut memperkuat landasan hukum OJK menjalankan fungsi pengawasannya.

Untuk mendukung likuiditas perbankan, Bank Indonesia memangkas giro wajib minimum (GWM), sehingga perbankan mendapat kucuran dana sendiri dari kantongnya. Namun, meskipun ada limpahan dana segar, tidak mudah bagi perbankan menyalurkan likuiditasnya dalam kondisi saat ini. Permintaan kredit sepi karena aktivitas bisnis belum ramai.

Sebagai solusinya, dibuatlah penempatan dana di bank yang sering disebut bank jangkar. Uangnya dari Pemerintah melalui Kementerian Keuangan, sedangkan OJK diminta melakukan verifikasi calon debitur satu per satu, sebelum mereka menerima dana dari Pemerintah.

Sebagai regulator, dapat dipastikan OJK tidak bisa melakukan verifikasi debitur. Akibatnya, terjadi perdebatan antara eselon I OJK dan Eselon I Kementerian Keuangan. Akhirnya, agar bisa berjalan, bank jangkar diubah dalam bentuk business to business. Dampaknya lagi adalah calon bank jangkar kasak-kusuk karena risiko kreditnya terekspose.

Tak lama, muncul rencana revisi UU BI yang merupakan inisiatif pemerintah. DPR memasukkannya dalam Prolegnas prioritas tahun 2020.

Isu mengembalikan fungsi pengawasan perbankan kepada Bank Indonesia menjadi bola panas. Padahal, saat ini yang sedang terjadi adalah krisis kesehatan, sehingga tidak perlu merevisi tatanan otoritas moneter dan keuangan.

Perombakan lembaga moneter dan keuangan di saat ada krisis kesehatan, dinilai berisiko menimbulkan ketidakseimbangan baru. Padahal, setelah berusia 8 tahun, OJK semakin menancapkan kakinya ke industri keuangan di dalam negeri. OJK sudah punya peran yang kuat, terutama saat masuk dalam masalah yang strategis. Saat ini, pengaruh OJK terhadap sistem keuangan dalam negeri semakin besar.

Sebagai regulator dan pengawas, OJK saat ini semakin memperkuat perannya ke masalah-masalah strategis perbankan. Di awal beroperasi akhir tahun 2012 lalu, OJK memulai pengawasan perbankan dengan mencari ketidakpatuhan terhadap peraturan atau mencari kesalahan dari sistem perbankan untuk dibenahi.

OJK tidak hanya mengeluarkan regulasi, tetapi juga mengawasi dan mendorong bisnis ke arah yang lebih besar. Langkah ini dilakukan untuk memperbaiki sistem keuangan dan perbankan nasional, sejalan dengan meningkatkan literasi keuangan dan perbankan masyarakat.

Di industri pasar modal, sejak tahun 2017, OJK mereformasi pasar modal. Hasilnya, para pelaku yang biasanya bermain di kabut tebal dan seolah-olah tidak tersentuh, sekarang dengan OJK menerapkan pengawasan berbasis teknologi informasi (IT), maka semakin mudah mengendus transaksi goreng-menggoreng saham.

Selain itu juga, OJK mendorong fintech untuk berperan dalam memulihkan perekonomian Indonesia. Terbukti dalam Web Seminar Virtual Innovation Day 2020 yang diselenggarakan OJK bersama Asosiasi Fintech Indonesia (AFTECH), OJK meresmikan peluncuran Roadmap Digital Financial Innovation dan Dogotal Financial Literacy (DFL), dimana Digital Finance Innovation Roadmap and Action Plan 2020-2024 merupakan inisiatif yang dilakukan oleh OJK dalam perannya sebagai akselerator, kolaborator, dan talent promoter bagi industri fintech dalam periode 2020 hingga 2024.

Kondisi ini menunjukkan bahwa mengembalikan fungsi pengawasan dari OJK ke Bank Indonesia adalah sebuah kemunduran sistem moneter dan keuangan di Tanah Air.

Penulis : Sucherly

Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Padjajaran

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×