Sumber: Harian KONTAN | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti
KONTAN.CO.ID - Investasi bencana sangat diperlukan bagi Indonesia guna mitigasi risiko dan meminimalisir dampak bencana. Hal ini sejalan dengan bencana yang kian hari semakin kerap muncul. Apalagi bentang wilayah Indonesia berada di atas kompor bumi ring of fire Pasifik. Selain itu, memburuknya perubahan iklim dan pembangunan ekonomi yang mengesampingkan visi ekologi menjadi poin lain akan perlunya investasi bencana.
Investasi bencana sejalan dengan upaya Pengurangan Risiko Bencana (PRB) yang menjadi salah satu arus utama pembangunan berbasis mitigasi risiko bencana. Nyawa PRB setidaknya tercantum dalam Pasal 1 huruf 5 dan huruf 16 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Dalam pasal tersebut disebutkan bahwa penanggulangan bencana adalah serangkaian upaya yang meliputi penetapan kebijakan pembangunan yang berisiko timbulnya bencana, kegiatan pencegahan bencana, tanggap darurat, dan rehabilitasi.
Bencana menimbulkan kerugian baik non material maupun material. Dalam konteks Indonesia, kejadian bencana alam 2020 lebih rendah dibandingkan 2019. Namun demikian, selama kurun waktu 2015-2019, angka kejadian bencana terus meningkat.
Berdasarkan data dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), pada 2020, terdapat 2.946 kejadian bencana. Sedangkan pada 2019 terdapat kejadian bencana sebanyak 3.814 kejadian, kemudian di 2018 ada 3.397 kejadian bencana. Lantas di 2017 ada 2.866 kejadian bencana, lebih banyak dari 206 yang ada 2.306 kejadian bencana. Sedangkan di 2015 ada 1.694 kejadian bencana.
Sesiap apapun sebuah negara dalam menghadapi bencana, kerugian akibat bencana tidak bisa dikesampingkan. Namun demikian, semakin siap sebuah negara dalam menghadapi bencana maka risiko yang timbul bisa diminimalisir. Kesiapan menghadapi bencana juga menjadikan proses pemulihan pasca bencana semakin cepat. Pada akhirnya ketahanan pasca bencana akan menguat.
Contoh paling nyata adalah Jepang. Jepang menjadi negara yang dinilai memiliki pengetahuan tentang bencana yang baik di Asia bahkan dunia. Hal ini disebabkan oleh kondisi Jepang yang secara geografis berada di atas rangkaian gunung berapi, tidak jauh berbeda dengan Indonesia, yang menjadikan gempa di Jepang menjadi hal yang biasa.
Kondisi ini yang menjadikan Jepang memiliki mitigasi bencana gempa dan tsunami yang paling baik. Secara kasat mata, hal ini terlihat dari infrastruktur-infrastruktur di Jepang yang pembangunannya mengadopsi data-data historis skala richter gempa bumi. Alhasil, gempa bumi yang sering melanda Jepang tidak dibarengi dengan kerusakan parah.
Namun demikian, ketika ada bencana gempa dan tsunami 11 Maret 2011, Jepang tidak bisa mengelak dari kerugian yang disumbangkan paling besar oleh bencana kebocoran pembangkit nuklir Fukushima. Bank Dunia (2014) dalam Learning From Megadisasters: Lessons From the Great East Japan Earthquake mencatat kerugian akibat gempa dan tsunami sebesar 16,9 triliun Yen. Selanjutnya pada tahun 2016, pemerintah Jepang mencatat kerugian akibat kebocoran pembangkit nuklir Fukushima mencapai 21.5 trilliun yen. Angka ini bisa terus meningkat seiring dampak penyebaran radioaktif.
Investasi Bencana
Berkaca dari semakin meningkatnya kejadian bencana di Indonesia maka pengarusutamaan investasi bencana menjadi penting. Seperti halnya investasi untuk produksi yang menimbulkan efek pengganda, investasi bencana memiliki efek pengganda. Alih-alih menambah ongkos, investasi bencana memungkinkan untuk mengurangi dampak lebih besar dari kerusakan akibat bencana dan memunculkan manfaat berupa inovasi serta aktivitas ekonomi.
Bank Dunia dalam Lifelines : The Resilient Infrastructure Opportunity. Sustainable Infrastructure (2019) menyebutkan berinvestasi dalam infrastruktur yang lebih tangguh dapat memberikan manfaat bersih. Investasi US$ 1 yang diinvestasikan negara berpenghasilan rendah menengah akan memberikan manfaat US$ 4.
Investasi bencana tersebut akan meningkatkan kualitas dan ketahanan layanan penting seperti transportasi, serta pasokan air dan listrik dalam menghadapi bencana. Infrastruktur yang baik dan tangguh tersebut selain meminimalisir dampak kerusakan akibat bencana juga mendukung proses pemulihan yang lebih cepat. Alhasil, hal terebut akan berkontribusi pada masyarakat yang lebih tangguh dan sejahtera.
Investasi bencana memunculkan permintaan turunan (derived demand) berupa berkembangnya teknologi semisal pembangunan infrastruktur atau bangunan yang lebih tahan gempa. Selain sektor konstruksi, sektor yang akan bergeliat dari pembangunan yang berbasis mitigasi bencana adalah sektor industri penyedia alat-alat keselamatan semisal life jacket, dan perlengkapan bertahan hidup. Lebih lanjut, proses adopsi investasi bencana yang mengadopsi pengurangan risiko bencana akan menstimulus berkembangnya asuransi bencana.
Ikhtiar untuk memitigasi bencana sudah ada di Indonesia, terutama dari sisi political will pemerintah. Hal ini termaktub dalam dua hal yakni UU 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana dan adanya Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Namun demikian, hal tersebut belum cukup. Perlu kerja sama semua pemangku kebijakan untuk urun rembug dalam mengekskalasi investasi bencana.
Dari sisi pembangunan infrastruktur, pemerintah melalui Kemenpupera mendorong optimasi penerapan SNI 1726 tahun 2020 tentang tata cara perencanaan ketahanan gempa untuk struktur bangunan gedung dan non-gedung. Langkah paling awal adalah mensyaratkan standar tersebut dalam lelang pembangunan gedung-gedung milik pemerintah.
Implementasi SNI 1726 tahun 2020 akan mendorong sektor infrastruktur yang pro asuransi bencana. Apabila lingkungan ini sudah terwujud, pemerintah akan lebih mudah dalam mendorong tumbuhnya asuransi bencana. Selain itu, Pemerintah perlu mendorong adanya kredit perbankan yang pro terhadap usaha-usaha mitigasi bencana. Misalnya suku bunga khusus bagi pembangunan infrastruktur yang mengadopsi SNI 1726. Tidak ketinggalan juga adalah mendorong semakin besarnya green financing di Indonesia dimana penyaluran kredit didasarkan pada prinsip pembangunan berkelanjutan.
Edukasi tentang bencana juga penting. Hal ini bisa dicantumkan dalam ketentuan belanja pemerintah daerah ataupun pusat, kurikulum pendidikan, serta ketentuan penyaluran corporate social responsibility oleh entitas badan usaha. Semakin teredukasinya masyarakat mengenai mitigasi bencana dan penanggulangannya, maka diharapkan ongkos bencana bisa dikurangi dan proses pemulihannya menjadi lebih cepat.
Kemudian tidak kalah penting adalah mendorong sinergi multi pihak atau pentaheliks dalam mitigasi dan penanggulangan bencana. Hal ini penting mengingat sinergi atau koordinasi di Indonesia adalah sesuatu yang mahal.
Penulis : Rusli Abdulah
Peneliti Indef
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News