kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45898,78   -24,72   -2.68%
  • EMAS1.326.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Penumpang gelap di arus balik mudik


Senin, 25 Juni 2018 / 14:59 WIB
Penumpang gelap di arus balik mudik


Reporter: Tri Adi | Editor: Tri Adi

Setelah arus mudik sepi oleh rombongan masyarakat kota yang rindu kampung halaman di kala Idul Fitri, arus balik berganti menyesaki seluruh moda transportasi yang dapat dijadikan sebagai sarana angkutan menuju kota idaman. Bukan hanya pemudik yang memadati lalu lintas arus balik, para kerabat di udik pun turut menjadi penumpang gelap menuju kota.

Penumpang gelap pada arus balik bukan persoalan sepele bagi pengelola kota. Jumlah mereka yang tak sedikit, bahkan, mencapai jutaan jiwa tentu akan menambah berat beban kota, seperti Surabaya, Jakarta, Medan, Bandung, dan lainnya. Kementerian Perhubungan meramalkan bahwa sejuta orang pendatang baru bakal memadati Jakarta. seiring dengan   kepulangan pemudik.

Jakarta yang luasnya hanya   sebesar Singapura bakal mendapat   tambahan seperempat penduduk   Singapura. Sedangkan dengan jumlah penduduk sekarang saja, wajah Jakarta sudah semrawut. Apalagi, ditambah dengan kedatangan sejuta kaum urban yang belum jelas eksistensinya.

Dalam sudut pandang kependudukan, keberadaan penumpang gelap di masa arus balik diistilahkan dengan urbanisasi. Artinya perpindahan warga desa (rural)   ke kota dengan motivasi mendapatkan pekerjaan di kota (urban).  

Urbanisasi pasca mudik sering diistilahkan dengan migrasi berantai (chain migration) karena perpindahan penduduk ke kota disertai oleh kaum kerabat yang memiliki hubungan darah dan keturunan. Atas dasar jaminan dari   kerabat, pendatang baru ke kota   besar berani ambil risiko, meskipun bekal dan keterampilan mereka  sangat minim.

Padahal, mencari pekerjaan   tanpa keterampilan di kota sama  artinya dengan menumbalkan  diri atas ganasnya kota. Betapa banyak cerita miring  yang terdengar tentang pencari kerja tanpa keahlian di kota yang akhirnya jatuh ke lembah hitam kehidupan. Kaum wanita, banyak yang terpaksa berkerja di panti pijat dan rumah  bordil yang menjual kemolekan   tubuh. Sementara, kaum pria ada yang jadi pelaku kriminal yang kerap bikin onar di tengah masyarakat sehingga jadi musuh sosial.

Memang, ada juga cerita sukses menyertai kaum urban. Namun, itu hanya sedikit. Lebih banyak cerita mengenai kegagalan. Di balik kilau gemerlap, kota mempunyai keterbatasan dalam soal daya dukung lahan, kapasitas infrastruktur, peluang kerja, atau sarana publik. Orang-orang yang beruntung akan menjadi contoh sukses bagi kerabat di desa, sedang yang kurang beruntung dituduh menjadi biang kerok dari segala ketidaknyamanan kehidupan masyarakat di kota.

Celakanya, kebanyakan para  pengadu nasib adalah bagian  dari  cerita gagal  tersebut. Akibatnya, para pengelola kota yang sudah kerepotan mengurus mereka yang telanjur berada di kota berusaha   keras menangkal kehadiran   para   pencari kerja baru. Banyak upaya   telah dilakukan, misalnya melalui operasi yustisi atau pembuatan KTP lokal. Namun hasilnya belum signifikan mengurangi laju pertumbuhan penduduk.

Sebuah buku berjudul Cities,   Poverty and Development: Urbanization in the ThirdWorld karangan Gilbert & Gigler menyebutkan bahwa banyak literatur menemukan bukti bahwa motivasi utama urbanisasi adalah masalah ekonomi. Buku itu mengungkapkan bahwa di berbagai kawasan di Asia, Afrika dan Amerika Latin, alasan ekonomi menjadi motivasi yang dominan. Bukti itu ditemukan Simmonz, Diaz-Briquette dan Laquian (1977), yang menguatkan penemuan Shaw   (1975) dan Lowder (1978). Bahkan   Yap (1990) lebih jauh telah membuat model ekonometri berupa korelasi di antara perbedaan pendapatan desa-kota dengan arus urbanisasi.

Rezim pertumbuhan

Sepanjang pemerintah di era reformasi, kemajuan ekonomi selalu diidentikkan dengan pertumbuhan ekonomi. Peningkatan pertumbuhan ekonomi selalu menjadi klaim kesuksesan tim ekonomi pemerintah. Namun faktanya pertumbuhan tersebut bukan merepresentasikan kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia. Pertumbuhan ekonomi hanya dirasakan segelintir rakyat Indonesia, khususnya orang kaya yang tinggal di kota besar.

Sementara mayoritas rakyat negeri ini sama sekali belum merasakan pertumbuhan ekonomi   yang digadang-gadang. Sehingga   setiap   tahun, khususnya pasca mudik, banyak yang menjadi penumpang gelap menuju  belantara ibukota.

Saat ini, 60% penduduk Indonesia berada di perdesaan dan 40%  di kota. Artinya, sebagian besar penduduk yang tak menikmati berkah pertumbuhan ekonomi berasal dari desa. Wajar mereka terobsesi pindah ke kota demi kehidupan yang  lebih baik.

Selama  ini   pemerintah  hanya bisa menciptakan konsentrasi ekonomi di kota besar Pulau Jawa seperti Jakarta, Bandung, dan Surabaya. Sehingga orang berbondong-bondong datang ke sana.

Strategi pembangunan yang berorientasi ke desa perlu digalakkan pemerintah. Salah satu strategi penting yang dapat diterapkan dalam mengembangkan ekonomi pedesaan adalah  memadukan berbagai sektor. Keterpaduan ini diharapkan dapat mendorong dan merangsang pertumbuhan sektor ekonomi pedesaan sekaligus mampu menciptakan peluang kerja.

Selama ini, desa hanya berfungsi sebagai penghasil komoditas. Alangkah lebih baik seluruh subsektor, mulai hulu, hilir, hingga jasa penunjang produksi komoditas juga di bangun di desa.  Dengan demikian, keterpaduan tersebut mampu menciptakan kaitan-kaitan antara usaha skala kecil dan   skala besar. Keterkaitan seperti   ini dapat memberikan bantuan   seperti alih teknologi, perluasan   pasar, ataupun bantuan modal,  kepada pengusaha skala kecil, baik industri maupun usaha kecil lainnya.

Menurut Ranis,  Stewart, dan   Reyes keterkaitan merujuk pada berbagai macam interaksi dan saling hubungan antar kegiatan ekonomi. Keterpaduan dapat membantu dalam mengidentifikasi sifat dan dampak interaksi antar kegiatan ekonomi.

Identifikasi ini mempunyai implikasi kebijakan penting untuk pengembangan ekonomi.   Hal   ini   tidak hanya dapat meningkatkan   keseimbangan pengembangan   ekonomi wilayah, tetapi juga dapat membantu merangsang pertumbuhan ekonomi. Baik pertumbuhan di sektor pertanian maupun non pertanian (industri perdagangan dan jasa), yang pada gilirannya dapat   dipakai sebagai pola dasar pembangunan secara menyeluruh (Rara : 2011).

Selain itu, pemerintah pusat perlu mengembangkan kota kecil di daerah sebagai pusat pertumbuhan ekonomi yang baru. Cara ini kini mendapat respons positif dari berbagai negara dan menjadi bahan kajian dari badan kependudukan dunia dalam rangka membangun kemajuan suatu bangsa atau negara.

Kajian itu  didasarkan atas pemikiran  bahwa urbanisasi merupakan salah satu wujud modernisasi sehingga perlu dikelola secara baik. Dalam jangka panjang, jika pemusatan pembangunan diarahkan ke desa, maka tidak ada lagi penumpang gelap yang menyertai arus balik. Semoga. •             

Arfanda Siregar
Dosen Manajemen Industri Politeknik Negeri Medan

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×