Reporter: Tri Adi | Editor: Tri Adi
Realisasi pertumbuhan ekonomi Indonesia sejak tahun 2015 hingga 2018 relatif rendah dan meleset dari target awal. Jika mengacu asumsi makro ekonomi, pada tahun 2015 misalnya, target pertumbuhan ekonomi hingga 5,7% dan hanya tercapai 4,79%. Terdapat selisih hampir 1%. Kondisi tahun 2016 menunjukkan gap sekitar 0,08%, dengan target 5,2% dan realisasi 5,02%. Target pertumbuhan ekonomi tahun 2017 sama dengan 2016, dengan realisasi 5,07%. Realisasi pada triwulan I-2018 hanya 5,06% dari target 5,4% sepanjang tahun.
Secara umum, kondisi ekonomi pada tiga tahun terakhir tidak berbeda. Hanya pada tahun 2017, ekonomi nasional terbantu oleh lonjakan harga komoditas. Sehingga, peranan net ekspor (neraca perdagangan) meningkat. Perlu dicatat, lonjakan harga komoditas tidak serta merta menguntungkan, karena tingginya ketergantungan pada impor minyak.
Pada tahun 2015, kontribusi net ekspor terhadap produk domestik bruto (PDB) hanya 0,38%; sedangkan tahun 2016 dan 2017 masing-masing 0,8% dan 1,2%. Pencapaian tersebut relatif rendah, jika dibandingkan dengan negara sekawasan. Di tahun 2016, peranan net ekspor terhadap PDB Thailand mencapai 14%, Korea Selatan 6,8%, Malaysia 6,4%, Vietnam 2,56% dan China 2,23%.
Ada tiga kondisi yang menyebabkan sulitnya ekonomi Indonesia tumbuh di atas 5%. Atau setidaknya mencapai target pada asumsi makro ekonomi.
Persoalan pertama terkait dengan rendahnya pertumbuhan sektor-sektor penghasil barang (tradable). Sektor ini berperan penting bagi pertumbuhan PDB dan penyerapan tenaga kerja. Dari tiga sektor yang ada, industri manufaktur menjadi kontributor utama pada PDB.
Sayang, sektor ini tumbuh melambat, hanya 4,29% per tahun sepanjang 2015–2017. Angka tersebut lebih rendah dari rata-rata pertumbuhan PDB sebesar 4,99%. Padahal industri manufaktur menjadi penyumbang seperlima dari PDB nasional dan menyerap sekitar 14% dari tenaga kerja.
Pada triwulan I-2018, pertumbuhan industri manufaktur naik tipis menjadi 4,5% (yoy). Pada tahun 2011 hingga 2012, ekonomi terakselerasi di atas 5,5%, karena penopang pertumbuhan industri manufaktur masing-masing di atas 5%. Bahkan, pada tahun 2011 pertumbuhan industri manufaktur di atas pertumbuhan ekonomi.
Faktor kedua terkait dengan melemahnya peranan sektor keuangan. Sepanjang tahun 2011 hingga 2013, pertumbuhan ekonomi rata-rata di atas 5,5%, dimana pertumbuhan kredit rata-rata di atas 20% per tahun. Sayang, sejak tahun 2014 hingga 2017, pertumbuhan kredit rata-rata di bawah 10% per tahun.
Rilis World Economic Forum (WEF) tahun lalu memunculkan kekhawatiran terhadap ketersediaan dana untuk mendukung pertumbuhan ekonomi. Dalam beberapa rilis WEF, faktor yang berasal dari pemerintah seperti korupsi, birokrasi, dan infrastruktur, bertengger pada tiga masalah utama daya saing Indonesia. Rilis tahun 2017 menyimpulkan bahwa akses lembaga keuangan menempati peringkat ke tiga menggeser infrastruktur.
Pada tahun 2017, kredit yang tersalur hanya tumbuh 8,35%; lebih rendah dari pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) mencapai 9,35%. Pola yang biasa terjadi adalah pertumbuhan kredit lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan DPK. Sepanjang Januari-Desember 2017, perbankan hanya mampu menyalurkan sekitar Rp 368 triliun kredit, naik tipis dari tahun 2016 sebesar Rp 321 triliun.
Sementara total penyaluran kredit perbankan tahun 2014 dan 2015 dalam setahun masing-masing pada angka Rp 385 triliun. Puncak penyaluran kredit tertinggi dalam setahun terjadi pada tahun 2012 dan 2013 masing-masing Rp 525 triliun dan Rp 594 triliun.
Tekan undisrbursed loan
Dari realisasi penyaluran kredit selama setahun, porsi kredit yang tidak ditarik (undisbursed loan) cukup tinggi. Pada tahun 2017 contohnya, undisbursed loan mencapai 28% dari total kredit setahun. Sedangkan pada tahun 2016 dan 2015 masing-masing 26% dan 21%.
Undisbursed loan dapat menggambarkan situasi yang terjadi di sektor riil. Saat prospek usaha buruk, maka undisbursed loan akan meningkat. Pada tahun 2009, saat krisis keuangan global terjadi, undisbursed loan mencapai 58% dari realisasi kredit sebesar Rp 130 triliun. Persentase undisbursed loan terhadap realisasi kredit tahun 2010 mencapai 70% dari angka kredit Rp 327 triliun. Selama 2007-2017, rata-rata porsi undisbursed loan terhadap realisasi kredit mencapai 32,67%. Artinya, angka kredit yang benar-benar tersalur ke sektor riil relatif rendah. Wajar, bisa peranan sektor keuangan di Indonesia sangat terbatas.
Masalah ketiga terkait dengan liarnya inflasi domestik. Dalam struktur inflasi yang didominasi sisi penawaran (supply side), suatu perekonomian harus mampu mengelola persediaan (stock), terutama bahan makanan. Apalagi, Indonesia memiliki hari-hari besar yang permintaan cenderung melonjak. Bukan hanya itu, regulator pun dihadapkan pada rumitnya mengelola ekspektasi inflasi masyarakat. Saat terjadi rumor defisit barang cabai misalnya, perilaku rent seeking merajalela dan mendorong harga naik (meski stok terjaga).
Inflasi barang-barang bergejolak sempat menyentuh angka terendah pada 2017, sekitar 0,7%, namun kembali melambung menjadi 4,6% pada Juni 2018. Pada bulan yang sama, inflasi harga diatur pemerintah masih di bawah 3%. Inflasi akan menekan daya beli yang menjadi faktor utama penentu konsumsi rumah tangga dalam PDB. Penurunan suku bunga juga bergantung pada pada inflasi.
Kita sadar bahwa Indonesia memiliki kekuatan untuk tumbuh tinggi, asal bottleneck yang ada dapat diminimalisir. Sektor industri pengolahan harus memiliki jaminan ketersediaan bahan melalui penguatan industri hulu. Dengan demikian industri manufaktur tidak lagi bergantung pada bahan baku impor dan sedikit terhindar dari gejolak nilai tukar. Perlu penguatan penelitian dan pengembangan (research and technology, R&D) dan pada akhirnya tidak perlu mengimpor teknologi mahal dari negara lain.
Pengelolaan inflasi harus mengintegrasikan kekuatan pusat dan daerah. Pemerintah pusat berperan dalam membangun infrastruktur strategis, sedangkan di daerah melalui penguatan Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID). Dalam kaitan meningkatkan realisasi kredit, perlu perbaikan iklim usaha termasuk biaya memulai usaha hingga suku bunga murah. Iklim usaha kondusif akan memberikan kepastian bagi investor, sehingga undisbursed loan dapat diminimalisir.•
Abdul Manap Pulungan
Peneliti Indef
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News