| Editor: Tri Adi
Uber telah menyebabkan ‘disrupsi’ di sektor transportasi perkotaan, khususnya taksi, di penjuru dunia. Dalam waktu singkat, Uber beroperasi di lebih 600 kota, lebih 70 negara, memiliki 50 juta konsumen, dan sekitar tiga juta pengemudi.
Nilai transaksi di platform Uber naik tajam dari US$ 0,7 miliar pada 2013, menjadi US$ 20 miliar di 2016. Di tahun 2017, nilai transaksi di platform Uber diperkirakan mencapai US$ 37 Miliar.
Di Indonesia, Uber dan perusahaan sejenis menyebabkan banyak perusahaan taksi konvensional merugi dan berhenti beroperasi. Perusahaan taksi besar terbaik seperti Blue Bird dan Express juga mengalami penurunan drastis dari sisi kinerja keuangan.
Ironisnya, berbagai capaian Uber tersebut disertai dengan kerugian terbesar dalam sejarah perusahaan teknologi. Sejalan ekspansi agresif Uber, kerugian melonjak tajam dari US$ 0,7 miliar pada 2014, menjadi US$ 2,7 miliar di 2015, dan diperkirakan membengkak sekitar US$ 3,5 miliar dalam periode Januari-September 2017. Pada tahun 2016, meski kerugian Uber ‘hanya’ US$ 319 juta, kerugian operasional Uber sudah mencapai US$ 3,2 miliar.
Permasalahan operasional Uber juga ditandai dengan mundurnya Uber dari dua pasar besar yaitu China (di 2016) dan Rusia (2017). Sejatinya, apa yang salah dengan model bisnis Uber?
Perhatikan, kenaikan skala bisnis Uber yang luar biasa ternyata memperbesar kerugian. Ini indikasi skala bisnis Uber tidak meningkatkan efisiensi operasional Uber, bahkan memperburuk kinerjanya. Ini terjadi karena Uber tidak bisa merubah operasional bisnis taksi yang intensif akan keperluan kendaraan dan perawatannya, pengemudi, dan bahan bakar minyak (BBM).
Sebagai perusahaan aplikasi teknologi, Uber tetap memerlukan ‘mitra mandiri’ sebagai operator taksi agar bisnisnya bisa berjalan. Rupanya, model bisnis Uber ternyata tidak menghilangkan keperluan sarana fisik untuk menyediakan jasa taksi.
Model bisnis Uber sangat berbeda dengan perusahaan berbasis teknologi seperti Amazon atau penerbitan Online. Ritel online Amazon bisa meniadakan keperluan ruang toko/mal untuk memajang produk. Bisnis penerbitan online juga meniadakan keperluan gedung, mesin percetakan, kertas, tinta, dan mengurangi distribusi konvensional. Kedua jenis bisnis itu juga berhasil mengurangi pegawai. Sedangkan biaya investasi pengembangan TI dan perangkatnya, jauh lebih kecil dari penghematan biaya yang diperlukan untuk gedung, pegawai, dan operasional konvensional. Sejalan dengan ekspansi usaha, rata-rata biaya tetap untuk investasi teknologi dan platformnya menurun drastis terhadap total biaya operasional.
Tidak kompetitif
Kontras dengan Uber, mitra mandiri-nya tidak bisa menurunkan biaya-biaya operasional taksi berupa: mobil beserta perawatannya, pengemudi, dan BBM. Bahkan harga mobil dan perawatan mitra mandiri Uber akan lebih tinggi dibandingkan dengan perusahaan taksi seperti Blue Bird dan Express yang mendapatkan diskon transaksi skala besar dengan produsen otomotif serta bengkel.
Sebagai gambaran, di Amerika (Seattle, San Francisco, dan Denver) rata-rata komposisi biaya taksi adalah: 58% upah pengemudi, 6% biaya BBM, 18% biaya kepemilikan kendaraan dan perawatan, dan 15% biaya pengelolaan armada dan laba perusahaan (Hubert Horan, 2017).
Di Indonesia, berdasarkan laporan keuangan Blue Bird tahun 2016, rata-rata komposisi biaya langsung taksi adalah: 31% upah pengemudi, 20% biaya BBM, 18% biaya penyusutan kendaraan dan perawatan, dan biaya KIR/perizinan, asuransi, dan lain-lain sekitar 3%. Sedangkan biaya usaha tidak langsung 14%, beban pajak 4%, dan laba sekitar 10%.
Jadi sekitar 70%-85% biaya operasional taksi konvensional dan taksi berbasis aplikasi seperti Uber sama saja. Ketika Uber mengenakan komisi 25%-30%, maka taksi mitra mandiri Uber tidak lebih murah (= kompetitif) dibandingkan taksi konvensional. Mengingat mitra mandiri Uber adalah perusahaan kecil yang kurang efisien dan pengemudi menuntut penghasilan lebih besar, dapat dipastikan biaya per unit yang dihasilkan model bisnis Uber lebih tinggi daripada taksi konvensional.
Kelemahan lain, Uber meningkatkan risiko pada pengusaha mitra mandirinya. Bagi pengemudi taksi konvensional, biaya modal, perawatan mobil, dan asuransi kerugian ditanggung oleh perusahaan. Sedangkan mitra mandiri Uber harus menanggung risiko gagal bayar cicilan mobil dan kerugian bila terjadi kecelakaan.
Uber sebagai sebuah aplikasi teknologi tidak memiliki keunggulan kompetitif dibandingkan pengembang aplikasi sejenis. Perusahaan seperti Lyft, Grab, Ola, Yandex, dan Didi Chuxing segera menjadi kompetitor berat Uber di berbagai negara. Perusahaan taksi besar dengan mudah membuat aplikasi sejenis. Tidak ada keunikan di aplikasi Uber yang menjadi hambatan masuk (barriers to entry) bagi kompetitornya. Biaya pindah (switching cost) pengguna aplikasi pemanggil taksi sangat rendah, sehingga konsumen tidak memiliki loyalitas.
Upaya Uber memonopoli pasar malah semakin merugikan mitra mandirinya. Penambahan pengemudi yang terus-menerus menurunkan penghasilan rata-rata semua pengemudi. Persaingan tarif dengan kompetitor semakin merugikan semua pelaku industri taksi.
Bila bisnis model Uber tidak efisien, mengapa Uber bisa berkembang? Selama ini, konsumen menggunakan Uber karena subsidi besar yang diberikan membuat harga murah artifisial, bukan karena keunggulan kompetitif dan efisiensi proses produksi. Harga murah artifisial menciptakan permintaan semu yang akhirnya merugikan Uber sendiri. Subsidi besar juga diberikan ke pengemudi agar bersedia mengambil risiko lebih besar dengan menjadi mitra Uber.
Kerugian yang besar dan tanpa kejelasan kapan akan untung, membuat Uber tidak akan bertahan berkelanjutan. Untuk mempertahankan bisnisnya, pemilik saham Uber harus terus menyuntik modal baru. Sesuatu hal yang tidak realistis mengingat tujuan investor adalah mencari laba, bukan kegiatan sosial di sektor transportasi.
Saat Uber terhenti di ujung jalan akibat buntu keuangan, maka peluang lebih baik bagi investor adalah bekerja sama dengan perusahaan taksi konvensional. Perusahaan taksi konvensional seperti BlueBird dan Express dapat berinvestasi murah di aplikasi pemanggil taksi serta memperoleh laba.
Pelajaran utama bagi pengusaha start up teknologi: tidak cukup sekedar membuat sebuah aplikasi teknologi dan modal besar venture capitalist untuk mendirikan perusahaan yang berkelanjutan. Start up teknologi harus benar-benar menghasilkan produk yang lebih murah, atau superior, dan mengembangkan ceruk pasar unik untuk berekspansi dan untung.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News