kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45920,31   -15,20   -1.62%
  • EMAS1.347.000 0,15%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Penyelesaian masalah dengan big data


Senin, 09 September 2019 / 10:00 WIB
Penyelesaian masalah dengan big data


Reporter: Harian Kontan | Editor: Tri Adi

Terciptanya lingkungan data yang terintegrasi untuk semua individu adalah impian banyak orang. Namun di sisi lain, masih banyak pula orang yang belum menyadari pentingnya data dalam kehidupan sehari-hari. Padahal, saat ini data bisa diumpamakan sebagai komoditas yang bahkan lebih berharga daripada emas.

Data adalah informasi. Tak heran, banyak yang bilang: Siapa yang menguasai informasi, maka dialah yang akan menguasai dunia. Kalimat ini merupakan cerminan, bahwa siapa yang menguasai data, maka dia bisa melakukan apapun.

Saat ini, teknik pengambilan data telah berkembang dibanding 10 tahun lalu. Dulu, data sangat sulit diambil karena besarnya tenaga dan dana yang harus dikeluarkan. Sensus saja, perlu 10 tahun sekali karena mahalnya dana untuk pengambilan data itu.

Namun, dengan kemajuan teknologi yang sangat pesat, pengambilan data sudah bisa dilakukan tanpa tatap muka. Semua bisa dijalankan secara online. Ini bisa memangkas biaya, bahkan sampai gratis alias 0%.

Secara tidak sadar, saat ini data kita sudah tercatat di banyak tempat. Sebagai contoh, data penggunaan internet kita dikumpulkan oleh perusahaan telekomunikasi, seperti Telkomsel, XL Axiata, Indosat, dan operator lain.

Data-data tersebut digunakan untuk mengetahui pasar para pemain operator tersebut. Berbekal data pula, mereka bisa menyusun strategi untuk bisnis ke depan. Data yang digunakan bahkan bisa merupakan data yang sudah mencapai level individu, level di mana data tersedia sampai unit terkecil.

Bagaimana perkembangan data yang katanya sudah mencapai level individu itu? Sekarang, semua orang, termasuk di Indonesia, mempunyai smartphone. Banyak sekali aplikasi yang kita gunakan sehari-hari dengan menggunakan ponsel pintar. Sebut saja, transportasi online dari Gojek, Grab, Ovo, Dana, dan masih banyak yang lain, yang dikelola lembaga keuangan nonbank berbasis inovasi dan teknologi bernama fintech.

Pada 2014, Global Findex mencatat, ada 26% orang Indonesia punya akses ke lembaga keuangan dan sisanya masih unbankable. Pada 2017, menurut Otoritas Jasa Keuangan (OJK), inklusi keuangan sudah mencapai 63%. Inilah efek dari teknologi, bukan cuma dari perbankan, juga fintech. Inklusi keuangan saat ini bukanlah hal sulit untuk dicapai dengan perkembangan teknologi yang begitu maju.

Fintech digemari oleh mereka yang tidak mau ke bank dan dilayani via online. Persyaratannya pun umumnya lebih mudah ketimbang mendaftar di bank. Mereka ini bukan institusi perbankan tapi bisa mempunyai data bank atau transaksi individu pelanggan, yang bahkan sampai menjangkau orang yang malah belum mempunyai rekening di bank.

Data ini mereka manfaatkan untuk melihat peluang pasar, mencari apa yang bisa mereka tawarkan untuk pelanggannya. Tentunya, mereka bisa merancang penawaran yang mereka berikan ke setiap individu pelanggannya. Sehingga, customer engagement pun meningkat karena mereka hanya melihat penawaran yang diperlukan saja.

Data transaksi jutaan pelanggan ini disebut dengan big data karena volumenya yang begitu besar. Melihat fakta ini, data bukanlah suatu yang bisa dianggap remeh lagi. Sebab, setiap keputusan bisnis akan lebih akurat, meningkatkan efisiensi strategi, dan tepat sasaran bila menggunakan data. Istilah kerennya adalah data driven decision making.

Tambang data

Keputusan bisnis diperlukan oleh setiap kelembagaan, baik yang berbasis profit ataupun nonprofit. Sebab, strategi yang baik akan muncul bila kita mampu memetakan masalah dengan baik. Sampai saat ini masih jarang instansi pemerintah melek terhadap data individual rakyatnya. Padahal, jika pencatatan data diintegrasikan dengan baik seperti cara fintech, maka pemerintah akan mengenal demografi dan permasalahan rakyatnya, sehingga strategi yang dijalankan bisa tepat sasaran.

Walaupun belum semua instansi pemerintah Indonesia melakukan inovasi terhadap pengumpulan data, toh, ada juga otoritas yang bisa menjadi contoh. Salah satunya adalah Bank Indonesia (BI) yang menjadi salah satu inovator dalam memfasilitasi pendataan transaksi masyarakat dengan penggunaan QR Indonesia Standard alias QRIS.

Tepat pada perayaan Hari Kemerdekaan 17 Agustus 2019 lalu, BI meluncurkan QRIS. Ini merupakan QR code pembayaran yang ditetapkan BI untuk digunakan dalam memfasilitasi transaksi pembayaran di Indonesia. QRIS bisa digunakan setiap kalangan usaha, dari usaha besar bahkan sampai usaha mikro.

Bila ini berhasil diimplementasikan untuk seluruh usaha yang ada di Indonesia, maka pencatatan pemetaan masalah usaha kecil sampai mikro sudah bukan lagi hal yang tidak mungkin dilakukan.

Dengan tercatatnya transaksi setiap usaha, contohnya, tukang gorengan atau mi ayam yang selama ini tidak bisa didata pemerintah, justru bisa terdata rinci dengan big data. Jika big data ini bisa dimanfaatkan dengan menggunakan strategi, maka tingkat tepat sasarannya akan tinggi.

Urgensi big data ini juga harus diiringi dengan pasokan sumber daya manusia yang mampu mengolahnya. Diperlukan kemampuan khusus untuk mengolah big data. Ini merupakan bidang yang tergolong baru, dan belum banyak orang di dunia yang mampu menguasai kemampuan sebagai big data analyst atau yang biasa disebut dengan data scientist.

Karakteristik data scientist cukup sulit didapat karena dia adalah orang yang bisa menerjemahkan data menjadi sesuatu yang berguna untuk proses bisnis kelembagaannya. Dengan kata lain, orang yang berpengalaman di bidangnya dan menguasai ilmu data. Karakteristik ini hanya bisa didapat dari orang yang sudah lama berkecimpung dalam bidangnya. Jadi, sangat sulit untuk mendapatkan seorang data scientist yang mumpuni.

Tapi, hal ini bisa disiasati dengan membuat tim yang terdiri dari business dan data analyst, sehingga bisa saling bekerjasama untuk menganalisis big data. Data tidak akan menjadi informasi berguna bila tak ada yang bisa mengolahnya menjadi sesuatu yang berguna.

Maka dari itu, perlu sumber daya manusia (SDM) yang benar-benar dipersiapkan untuk menyongsong era big data di pemerintahan. Jika data sudah terintegrasi dan dianalisis dengan benar, pemetaan masalah bisa ditangani dengan strategi yang tepat sasaran sehingga menjadi efisien. Bukankah tambang data ini akan jadi kontribusi yang lebih berharga untuk Indonesia dibanding tambang emas?♦

Marizsa Herlina
Dosen Program Studi Statistika Universitas Islam Bandung

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×