Reporter: Thomas Hadiwinata | Editor: Tri Adi
Keluhan pengguna layanan financial technology (fintech) kerap terdengar belakangan ini. Tema yang mendominasi adalah bunga yang supermekar dan penagihan utang yang tidak etis.
Kedua praktik itu sebenarnya juga ada di bisnis pinjam meminjam uang konvensional. Bahkan, kita punya istilah khusus untuk pemberi pinjaman berbunga tinggi, yaitu rentenir atau lintah darat.
Praktik penagihan utang yang tidak etis juga bukan barang baru. Kita pernah mendengar mereka yang bekerja untuk pemberi kredit konvensional, semacam perusahaan pembiayaan, atau bank sekalipun, bergaya bak preman saat menagih.
Keluhan tentang penagihan yang hanya ada di fintech adalah penyalahgunaan data. Jadi, aplikasi fintech menyadap data nasabah, seperti buku telepon. Data itu pun disalahgunakan fintech saat menagih nasabahnya yang ngemplang.
Praktik ugal-ugalan ini membuat fintech yang sudah mengantongi lisensi dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) merasa gerah. Para pemain resmi ini menuding hanya fintech tanpa lisensi yang melakukan praktik bisnis tak pantas.
Menurut asosiasi fintech yang mengantongi izin, seperti Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPBI), fintech bodong bisa leluasa bergerak karena aplikasi mereka tampil di etalase Play, toko aplikasi milik Google.
AFPBI dan pemain fintech resmi lain pun meminta Google mencoret aplikasi milik fintech gelap dari etalasenya. Sejauh ini, Google belum memenuhi permintaan itu.
Kenyataan bahwa Google ogah-ogahan menanggapi permintaan fintech berlisensi menunjukkan betapa perusahaan itu punya daya tawar yang kuat. Untuk menghapus sebuah aplikasi dari tokonya pun, Google bersikap arogan, dengan mengutamakan aturannya sendiri dibandingkan dengan aturan negara.
Namun kita naif kalau menganggap Google sebagai biang kerok dari maraknya praktik bisnis fintech yang nakal. Sejatinya, fintech resmi juga punya peran dalam memberantas bisnis rentenir digital sekaligus gaya penagihan utang kurang ajar.
Pemain fintech yang resmi sudah saatnya memiliki aturan bisnis yang lebih transparan, seperti dalam perhitungan bunga atau saat beriklan. Mendramatisasi kelebihan model bisnis keuangan digital hanya meninabobokan publik.
Dan masyarakat yang kesulitan menimbang kebutuhan serta kemampuannya akan sangat mudah terpikat oleh pebisnis yang menghalalkan segala cara.•
Thomas Hadiwinata
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News