Sumber: Harian KONTAN | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti
KONTAN.CO.ID - Dampak dari pandemi korona terasa pada semua kegiatan transaksi keuangan. Terjadinya gagal bayar ataupun pemenuhan kewajiban antara debitur dengan kreditor menjadi hal yang tidak dapat dihindarkan.
Melihat jumlah permohonan pada sistem informasi penelusuran perkara di Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, permohonan pailit ataupun penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) saat ini sudah mendekati lima ratus permohonan. Hal ini dikarenakan kepailitan maupun PKPU merupakan sarana terbaik untuk mendapatkan kepastian mengenai penundaan kewajiban maupun pembayaran utang yang dimiliki debitur kepada kreditur.
Nah, permohonan terhadap perusahaan asuransi menjadi sorotan pada periode kedua di penghujung tahun 2020. Seperti diketahui sebelumnya bahwa Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada bulan lalu menjadi pihak yang menolak permohonan pailit PT AIA Financial yang diajukan oleh mantan tenaga pemasaran mereka. Penolakan ini melalui Surat Nomor S-517/NB.211/2020 tertanggal 3 November 2020 yang pada pokoknya menyatakan bahwa PT AIA Financial dalam kondisi yang positif atau dapat dikatakan normal.
Keberadaan surat OJK tersebut menegaskan peran otoritas dalam ketentuan yang mengatur mengenai kepailitan pada Pasal 2 ayat (5) Undang-Undang Nomor No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang PKPU yang menyebutkan kewenangan OJK sebagai pihak yang berhak untuk mengajukan permohonan pailit pada perusahaan asuransi.
Lebih lanjut pada Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 tentang Asuransi, pada Pasal 50 menyatakan bahwa selain dari fungsi pengaturan dan pengawasan keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan UU Asuransi memberikan kewenangan kepada OJK sebagai pihak yang dapat mengajukan permohonan pailit pada perusahaan asuransi, asuransi syariah, reasuransi, dan reasuransi syariah yang semula kewenangannya dilakukan oleh Menteri Keuangan.
Bukan suatu kesengajaan apabila pemegang polis menjadi pemohon dalam suatu pernyataan pailit maupun PKPU. Hal ini dikarenakan sulitnya pencairan polis yang telah jatuh tempo. Pihak asuransi menggunakan saluran perpanjangan masa waktu pencairan polis kepada para pemegang polis yang telah jatuh tempo melalui komunikasi surat elektronik.
Seperti kita tahu, imbal hasil jasa yang tinggi menjadi alasan banyaknya konsumen yang membeli polis yang ditawarkan para tenaga pemasaran asuransi. Tapi, saat ini alasan pandemi yang melanda secara global menyebabkan industri jasa keuangan lesu dan tidak dapat mencairkan polis-polis yang telah jatuh tempo sehingga mengakibatkan semakin banyaknya permohonan PKPU pada Pengadilan Niaga Jakarta Pusat.
Permohonan PKPU pada Perusahaan Asuransi menggeliat sejak Agustus 2020. Saat itu dua permohonan PKPU. Pertama permohonan PKPU kepada PT Asuransi Jiwa Adisarana Wanaartha (Wanaartha Life) pada Perkara Nomor 240/Pdt.Sus-PKPU/2020/PN.Jkt.Pst tertanggal 07 Agustus 2020. Kedua, PT Asuransi Jiwa Kresna Perkara Nomor 239/Pdt.Sus-PKPU/2020/PN.Jkt.Pst tertanggal 07 Agustus 2020.
Permohonan terhadap Wanaartha Life diperiksa dan diputus ditolak oleh Majelis Hakim. Sedangkan permohonan terhadap PT Asuransi Jiwa Kresna permohonannya dicabut oleh pemohon. Permohonan PKPU kepada PT Asuransi Jiwa Kresna kembali dilakukan pada 02 Oktober 2020 melalui perkara nomor 323/Pdt.Sus-PKPU/2020/PN.Jkt.Pst. dan perkara nomor 325/Pdt.Sus-PKPU/2020/PN.Jkt.Pst. Akan tetapi kedua permohonan tersebut telah dicabut oleh pemohon.
Hal yang menarik perhatian ialah permohonan PKPU kepada PT Asuransi Jiwa Kresna kembali datang pada 18 November 2020 dalam perkara nomor 389/Pdt.Sus-PKPU/2020/PN.Jkt.Pst . Majelis memutuskan untuk menerima permohonan ini dan pada putusannya menunjuk hakim pengawas serta menunjuk pengurus untuk menjalankan tugasnya sesuai dengan UU Kepailitan.
Perlu Ketegasan OJK
Terhadap dampak dari putusan PKPU PT Asuransi Jiwa Kresna tersebut, penulis melihat ini akan menjadi celah bagi para kreditor untuk menyeret perusahaan asuransi yang lainnya, menjadi termohon dalam permohonan PKPU pada Pengadilan Niaga.
Penulis berpendapat permohonan PKPU tidak akan banyak diajukan apabila OJK sebagai lembaga yang berwenang memberikan sarana kepada konsumen pemegang polis perusahaan asuransi yang telah jatuh tempo untuk dapat merespon jadwal pembayaran pencairan polis yang jatuh tempo (restrukturisasi) yang ditawarkan perusahaan asuransi.
Fenomena yang terjadi, perusahaan asuransi yang terlambat mencairkan polis berupaya menawarkan perpanjangan masa waktu pencairan polis yang sebenarnya bukan merupakan opsi menguntungkan bagi para pemegang polis. Ketiadaan pilihan inilah yang membuat pemegang polis yang telah jatuh tempo mencari cara untuk untuk mendapatkan kepastian pencairan polis mereka.
Pemegang polis jatuh tempo menilai skema PKPU merupakan sarana yang dapat memberikan kepastian mengenai pembayaran polis yang dimilikinya. Lantaran penawaran jadwal pembayaran pencairan polis yang ditawarkan perusahaan asuransi melalui rencana atau skema yang diberikan tidak memiliki kepastian dan terjamin pelaksanaan pembayaran.
Permohonan PKPU melalui Pengadilan Niaga dianggap lebih efektif dan memiliki kepastian daripada menerima tawaran jadwal pembayaran polis dari Perusahaan Asuransi yang diberikan sepihak tanpa adanya suatu tawar-menawar antara kreditur dengan debitur.
Kita semua berharap OJK dapat memberikan sarana agar proses restrukturisasi yang dilakukan oleh perusahaan asuransi dapat dilakukan dibawah pengawasan OJK sebagai lembaga yang berwenang untuk mengawasi lembaga keuangan bank dan non bank.
Berdasarkan ketentuan pada Pasal 223 UU Kepailitan berlaku mutatis mutandis mengenai pihak yang berwenang menjadi pemohon pada Pasal 2 ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) UU Kepailitan. Kewenangan OJK menjadi pemohon pailit pun dapat dilihat berdasarkan Pasal 50 UU Asuransi, hal tersebut sejalan dan memiliki kesesuaian di mana OJK sebagai pihak yang mendapat amanah sebagai pemohon pailit maupun PKPU pada Perusahaan Asuransi.
Pada pelaksanaannya tentu harus sesuai dengan kaidah dan norma yang berlaku pada hukum yang mengatur kepailitan dan PKPU. Aturan ini harus mampu dijaga dan dilaksanakan oleh semua pihak dalam suatu perkara kepailitan dan PKPU.
Alasan lain mengapa kesesuaian antara kewenangan OJK dengan pengaturan kepailitan harus solid dan terjaga, karena aspek kepailitan merupakan salah satu indikator di peringkat kemudahan berbisnis atau ease of doing business (EoDB) yang menjadi perhatian World Bank dan investor sebelum berinvestasi di Indonesia.
Penulis : Lingga Nugraha
Advokat, Kurator dan Pengurus, Mediator
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News