kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.520.000   0   0,00%
  • USD/IDR 16.200   0,00   0,00%
  • IDX 7.066   -30,70   -0,43%
  • KOMPAS100 1.055   -6,75   -0,64%
  • LQ45 830   -5,26   -0,63%
  • ISSI 215   0,27   0,12%
  • IDX30 424   -2,36   -0,55%
  • IDXHIDIV20 513   -0,30   -0,06%
  • IDX80 120   -0,79   -0,65%
  • IDXV30 124   -1,30   -1,04%
  • IDXQ30 142   -0,32   -0,23%

Perang dagang, riset, dan industrialisasi


Kamis, 05 September 2019 / 11:20 WIB
Perang dagang, riset, dan industrialisasi


Reporter: Harian Kontan | Editor: Tri Adi

KONTAN.CO.ID - Tema yang diusung Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump dalam pemilihan presiden tahun 2020 tidak akan berbeda dengan 2016. Kala itu Trump mengusung tagline "Make America Great Again" yang mengantarkannya menjadi Presiden AS ke-45. Meski banyak pihak meragukan Trump terpilih kembali, tapi indikator ekonomi yang cukup baik, khususnya tingkat pengangguran sebesar 3,6% (terendah sejak tahun 1969) dapat menggerakkan warga AS memilihnya.

Dinamisnya negosiasi AS dan China terkait perang dagang serta potensi terpilihnya Trump dapat membuat perang dagang masih akan berlangsung lama. Dampaknya bagi perekonomian Indonesia memang tidak besar. Posisi Indonesia yang tidak terlalu dominan dalam rantai pasok global serta lemahnya industri manufaktur membuat Indonesia selamat dari imbas negatif perang dagang. Namun apakah itu cukup?

Ketidakstabilan, termasuk yang diciptakan oleh perang dagang, akan membentuk keseimbangan baru. Penurunan pertumbuhan ekonomi negara berbasis manufaktur justru merupakan saat yang tepat untuk mengejar ketertinggalan. Tren deindustrialisasi yang terjadi saat ini harus dibalik jadi tren industrialisasi karena akan memberikan nilai tambah tinggi bagi kesejahteraan masyarakat.

Perang dagang antara AS dan China telah menghasilkan dua dampak utama yaitu; AS mencari partner dagang pengganti China dan merelokasi industri dari China ke negara lain. Karakteristik produk ekspor Indonesia yang berbasis sumber daya alam berbeda dengan produk China yang didominasi hasil industri manufaktur sehingga tidak dapat saling menggantikan. Indonesia juga tidak bisa menjadi tujuan prioritas bagi China untuk merelokasi industrinya.

Indonesia memang unggul dalam hal demografi dan upah tenaga kerja murah, namun tidak unggul dalam beberapa hal seperti; kemudahan berusaha, infrastruktur, dan manufaktur. Pemerintah telah berhasil memperbaiki tingkat kemudahan berusaha dari peringkat 114 (tahun 2014) menjadi 73 (tahun 2019) serta telah melakukan penguatan infrastruktur yang cukup signifikan. Namun perbaikan tersebut belum mampu menciptakan suatu iklim industri manufaktur yang memadai.

Pemerintah harus melakukan langkah strategis untuk menggerakkan seluruh sumber daya pada semua level, perbankan, perguruan tinggi, lembaga riset, dan seluruh pemangku kepentingan. Salah satu hal yang harus dilakukan adalah mendorong riset yang terintegrasi dengan industri karena industri manufaktur yang maju harus didukung riset yang unggul dan bisa bersaing.

Peran swasta masih kecil

Dana riset pemerintah tahun ini sebesar Rp 35,7 triliun (0,3% dari produk domestik bruto/PDB) yang tersebar di 45 kementerian dan lembaga. Jika dibandingkan dengan negara lain, seperti Thailand yakni sebesar 0,6% dari PDB, dana riset Indonesia masih kecil. Walau bukan semata ditentukan oleh besarnya dana riset tetapi angka tersebut menunjukkan korelasi yang kuat antara riset dengan kemajuan industri.

Selain jumlah yang kecil, efektivitas dana riset di Indonesia relatif kurang baik. Sebagaimana diakui oleh banyak pejabat terkait, hasil riset tersebut hanya bermanfaat di kalangan peneliti tanpa memberi dampak pada industri. Selain masalah tersebut, dalam "Kajian Tata Kelola Dana Penelitian" yang dikeluarkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tahun 2018 menemukan berbagai masalah. Selain masalah penggunaan dana yang jadi domain utama KPK, ditemukan juga masalah penelitian yang tidak berbasis rencana nasional dan kurang koordinasi antar kementerian dan lembaga.

Sebagaimana dikatakan oleh Michael Porter, hanya perusahaan yang memiliki keunggulan bersaing dalam strategi keunggulan biaya, diferensiasi, dan fokus yang bisa memenangkan pasar. Untuk dapat menghasilkan produk yang unggul pada masing-masing strategi tersebut, perusahaan harus menjalankan research and development yang berkelanjutan.

Dari laporan Pricewaterhouse Coopers (PwC) tahun 2018, Amazon, Samsung, Intel, Microsoft, Apple, Roche, Johnson & Johnson dan Merck masuk dalam sepuluh besar perusahaan pengeluaran riset terbesar. Sejalan dengan pengeluaran riset yang mereka lakukan, perusahaan tersebut mampu meningkatkan atau mempertahankan nilai perusahaan mereka.

Dalam keadaan yang ideal, dana riset adalah kolaborasi antara pemerintah dan swasta. Saat ini sektor swasta di Indonesia hanya berkontribusi sebesar 10%, jauh di bawah negara yang tergabung dalam Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) yang mencapai 70%.

Keterbatasan dana riset pemerintah dan kontribusi swasta yang kecil membuat pemerintah perlu melakukan kebijakan strategis yang revolusioner untuk menciptakan efisiensi dan efektifitas dalam penggunaan dana riset.

Selama ini, untuk memperoleh dana penelitian yang berasal dari pemerintah, seorang peneliti mengajukan usulan secara mandiri. Seringkali usulan dibuat tidak berdasarkan kebutuhan industri serta tanpa mempertimbangkan kemampuan implementasinya.

Pemerintah perlu mengubah skema hibah dana penelitian tersebut. Sebaiknya usulan penelitian berasal dari perusahaan dalam suatu industri tertentu untuk meneliti suatu hal yang diperlukan bersama antar perusahaan.

Sebuah unit yang pernah diusulkan Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi untuk melakukan sinkronisasi riset antar kementerian dan lembaga dapat ditugasi untuk me-review usulan penelitian dari industri. Skala prioritas riset yang akan didanai ditentukan dampak dan signifikansi riset tersebut bagi pengembangan industri.

Selanjutnya riset tersebut dilelang secara terbuka kepada para peneliti yang memiliki keahlian yang sesuai. Tim peneliti yang dibentuk untuk suatu riset tertentu akan berasal dari perguruan tinggi, lembaga/unit riset, dan industri terkait. Kebijakan ini diharapkan menghilangkan kesenjangan hasil riset dan industri. Hasil riset dapat segera diimplementasikan pada proses produksi untuk meningkatkan daya saing produk.

Kebijakan ini dapat dipandang sebagai insentif bagi industri yang pada umumnya enggan menginvestasikan dana pada riset dan pengembangan. Jika hasil riset tersebut telah memberikan keuntungan bagi sebuah perusahaan, pemerintah dapat mendesain sebuah mekanisme untuk menarik semacam "imbal hasil" atas insentif yang telah diterima sebelumnya. Dana yang diperoleh diakumulasikan menjadi dana abadi riset yang akan terus bertambah dan bergulir.

Jika mekanisme ini berjalan secara konsisten akan bisa menciptakan suatu atmosfer industri manufaktur berbasis riset untuk menghasilkan keunggulan bersaing yang berkesinambungan. Indonesia tak hanya mampu menahan laju deindustrialisasi bahkan dapat mendorong industrialisasi perekonomian. Keseimbangan baru yang tercipta pasca perang dagang akan menempatkan Indonesia pada suatu posisi yang lebih baik, posisi daya saing di atas negara yang saat ini masih lebih baik dari Indonesia.♦

Chandra Situmeang
Dosen Universitas Negeri Medan

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU

[X]
×