| Editor: Tri Adi
Ibarat pepatah, kau yang mulai, kau juga yang mengakhiri. Inilah yang dilakukan Amerika Serikat untuk menguasai ekonomi global.
Bila kita melongok ke belakang, Amerika lah yang memelopori perdagangan bebas dengan membidani lahirnya perjanjian Bretton Woods, sebagai menopang berdirinya lembaga moneter Internasional (IMF), Bank Dunia dan sistem perdagangan bebas lewat General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) yang melahirkan World Trade Organization (WTO) sebagai wasit.
Hasilnya luar biasa. Semua produk Amerika Serikat dan sekutunya bisa merajai pasar global, dengan pelbagai jenis perusahaan trans nasional. Setelah 72 tahun berlalu, tak cuma Amerika yang memanfaatkan sistem perdagangan bebas ini.
China dan India sebagai kekuatan ekonomi baru di pasar global mampu memutar balik kekuatan bisnis Amerika Serikat dan sekutunya, dengan kemampuan mencetak barang murah dan disukai konsumen.
Setelah tak lagi diuntungkan oleh sistem perdagangan global, Amerika pilih mundur. Di bawah Presiden Donald Trump, Amerika Serikat mundur dari kerjasama Trans Pacific Partnership yang mereka rintis.
Awal pekan ini kebijakan proteksionisme yang dijanjikan oleh Trump selama kampanye kembali direalisasikan, yakni dengan membatasi masuknya baja impor. Meski tujuan utama mereka untuk membendung baja dari China, tapi kebijakan ini menuai reaksi keras dari sekutu Amerika Serikat seperti Uni Eropa, Kanada juga Australia.
Genderang perang dagang yang dikumandangkan Trump di satu sisi merupakan kebijakan yang wajar. Apalagi dalam catatan WTO sejak krisis keuangan global 2008-2009 banyak negara-negara membuat kebijakan bersifat proteksionisme.
Dalam riset Gowling WLG seperti dikutip The Star menyebut sekitar 60 negara besar membuat 7.000 aturan proteksi sepanjang 2009-2016. Celakanya, pemicu proteksi berasal dari Uni Eropa dengan catatan sekitar 5.657 kebijakan proteksi dan Amerika Serikat sendiri , dengan 1.297 kebijakan yang menggangu perdagangan global.
Lalu dimana posisi Indonesia dalam peperangan dagang ini? Wakil Presiden Jusuf Kalla tegas menyatakan Indonesia siap membalas tindakan proteksionisme negara lain, terutama yang menghadang masuknya minyak sawit mentah. Hanya saja belum ada tindakan riil dari Indonesia dalam perang dagang ini. Apalagi Amerika Serikat masih diuntungkan karena mengalami surplus dagang dengan Indonesia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News