kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.520.000   12.000   0,80%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Perayaan Imlek dan multikulturalisme


Kamis, 15 Februari 2018 / 11:17 WIB
Perayaan Imlek dan multikulturalisme


| Editor: Tri Adi

Indonesia mempunyai pengalaman kelam bagaimana politik diskriminasi terhadap Tionghoa yang ditanamkan Orde Baru berkembang dan berakumulasi menjadi kerusuhan mematikan. Pada Mei 1998 warga Tionghoa menjadi bulan-bulanan kebiadaban massa dan seolah memperoleh legitimasi dari kekuatan rezim. Para pelaku kekerasan juga tidak diungkap dan diadili secara serius meski secara nyata melakukan kejahatan kemanusiaan.

Berpijak pada dampak politik diskriminasi yang ditimbulkan, di Amerika Serikat Abraham Lincolin berjuang menghapus diskriminasi warna kulit melalui politik abolisi. Sehingga ras Negro yang semula menjadi objek diskriminasi dikembalikan pada posisi terhormat. Identitas kelompok yang semula disebut bangsa Negro atau bangsa kulit hitam kini lebih populer dengan sebutan Afro American (Amerika Afro).

Di Indonesia perjuangan melawan diskriminasi rasial mendapatkan momentumnya setelah gelombang reformasi bergulir. Rezim pemerintahan Abdurrahman Wahid (Gusdur) yang dikenal menjunjung tinggi keragaman mencabut Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 14 tahun 1967 melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 6/2000. Hasilnya, warga Tionghoa kembali diakui sebagai bagian dari bangsa Indonesia dan perangkat adat-istiadat serta kebudayaannya diperbolehkan tumbuh di Indonesia.

Perjuangan melawan diskriminasi rasial semakin kuat sejak lahirnya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 Tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis. Beleid ini sangat menekankan keterlibatan setiap warga negara dalam upaya penyelenggaraan perlindungan dan pencegahan terhadap diskriminasi ras dan etnis berdasarkan prinsip pemberdayaan dan kepeloporan masyarakat.

Penghapusan segala bentuk diskriminasi rasial merupakan ciri kesadaran masyarakat beradab. Pancasila sebagai falsafah dan pandangan hidup bangsa Indonesia dan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai hukum dasar sejak awal sangat menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia tanpa sekat suku, agama dan golongan. Oleh karena itu, negara tidak boleh absen tatkala warganya mengalami diskriminasi dan pengusiran.

Negara punya kewajiban melindungi seluruh warga dari berbagai potensi penghasutan, kekerasan, provokasi, pengorganisasian, dan penyebarluasan yang didasarkan pada diskriminasi. Perlindungan tidak selalu berbentuk jaminan hukum. Ikhtiar preventif dapat dilakukan dengan melakukan langkah jangka panjang di bidang pengajaran, pendidikan, kebudayaan, dan penyebarluasan nilai anti diskriminasi rasial. Sehingga, secara kultural masyarakat memiliki karakter kuat dalam menopang sendi multikulturalisme.

Azyumardi Azra (1999) menegaskan bahwa desain kurikulum pendidikan dan pembelajaran berbasis multikultural merupakan proyek edukasi yang punya pengaruh membentuk kesadaran dan kepribadian. Pendidikan dapat menginternalisasikan nilai keagamaan, kebudayaan, pemikiran, dan keahlian kepada generasinya sehingga siap menghadapi realitas sosial yang majemuk. Inilah tugas kaum intelektual organik menyumbangkan pemikiran dan pengaruhnya dalam mengubah struktur kekuasaan yang lebih berpihak kepada multikulturalisme dan orang marginal.

Kontribusi Imlek
Perayaan Tahun Baru Imlek 2569 sejatinya menjadi lonceng pengingat kepada seluruh bangsa Indonesia akan pentingnya meniadakan diskriminasi dan intoleransi. Luka sejarah yang dialami warga Tionghoa berupa pemberedelan dan alienasi sosial harus diberikan obat penawar dengan menyambut gembira perayaan Imlek. Sekat etnis yang membatasi ruang pergaulan sedapat mungkin dihilangkan karena kita adalah bangsa yang satu, benderanya satu, tanah airnya satu yaitu Indonesia.

Imlek bukan sekadar perayaan biasa menyambut pergantian tahun. Dalam Imlek ada nilai kebajikan yang bisa diejawantahkan dalam mengatasi problem kebangsaan dengan mengajarkan inklusivisme. Hal ini tecermin dari pola pembauran yang merata antara warga Tionghoa dengan masyarakat sekitar. Ketika Imlek tiba dan kebudayaan Tionghoa digelar menjadi tontonan publik segenap masyarakat berbaur menyemarakkan. Fenomena ini secara batiniah mampu mengikis gejala eksklusivisme yang sejatinya kian merebak.

Ekslusivisme dan hipermultikulturalisme sangat rentan melahirkan aksi-aksi anarki, kekerasan berbau agama dan sikap acuh satu sama lainnya.

Steve Fuller (2000) menegaskan bahwa hipermultikulturalisme adalah suatu sikap yang menganggap budaya sendiri paling baik dan superior sedangkan kebudayaan lain inferior. Klaim berlebihan dengan menutup interaksi dengan kebudayaan lain tersebut menjadi kelemahan metodologis bangunan kebudayaan yang harus diperbaiki.

Unsur kebudayaan yang statis dan final hanya akan mematikan kreativitas dan menyempitkan cakrawala. Gejala inilah yang oleh Healey (1998) sangat ditakuti karena orang hanya memandang dunia dengan filter budaya sendiri yang dianggapnya paling baik dan menolak silang kebudayaan sebagai dinamika yang produktif. Akibatnya muncul sikap intoleran, kekerasan dan perampasan hak-hak azasi di masyarakat.

Gejala hipermultikulturalisme kini tampaknya tengah memasuki ruang keberagamaan. Orang dengan mudah menyebut kelompok yang berlainan sebagai kafir dan halal darahnya. Klaim kebenaran fenomenologis yang berlebihan tersebut acap menimbulkan gesekan antar kelompok agama dan budaya. Sehingga timbul praktik intoleransi dan kekerasan.

Tak hanya kasus intoleransi, sebagai anak kandung hipermultikulturalisme kekerasan terus mengancam. Nalar kebencian berbungkus jihad diperagakan sekelompok teroris di berbagai tempat di Indonesia. Bom diledakkan, senapan menyalak, dan korban berjatuhan. Tidak habis pikir dalil apa yang mereka pakai. Padahal dalam Islam sudah jelas dalilnya: Siapa membunuh seorang manusia bukan karena qisash atau membuat kerusakan di muka bumi, seolah-olah telah membunuh manusia seluruhnya. Barangsiapa memelihara kehidupan seorang manusia, berarti telah memelihara kehidupan semua manusia (Q.S. Almaidah: 32).

Melalui Imlek kita belajar memahami dan menjaga kepusparagaman peradaban, agama dan budaya. Ketika Samuel Huntington mengeluarkan tesis kontroversial tentang benturan peradaban, barangkali sudah semestinya anasir kebudayaan tidak lagi dimonopoli sebagai realitas tunggal. Kebudayaan-kebudayaan harus bersinergi agar menjadi kekuatan besar dalam mengawal masyarakat masa depan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU

[X]
×