Reporter: Tri Adi | Editor: Tri Adi
"The line between disorder and order ties in logistics..."- Sun Tzu Kata-kata dari pemimpin militer legendaris asal Cina itu terasa pas disampaikan sebagai respons atas rilis Bank Dunia. Beberapa waktu lalu, lembaga keuangan global yang bermarkas di Amerika Serikat (AS) itu melansir Logistik Performance Index (LPI) 2018.
Berdasarkan LPI 2018, peringkat Indonesia mengalami kenaikan signifikan sebanyak 17 tingkat dari posisi 63 (skor 2,98) pada tahun lalu menjadi posisi 46 (skor 3,15)! Perbaikan itu tentu patut disyukuri mengingat dua tahun lalu, peringkat Indonesia dalam LPI sebenarnya lebih baik, yaitu berada pada posisi 53.
Rilis LPI 2018 tentu menjadi kabar baik di tengah ketidakpastian kondisi perekonomian dalam negeri. Di tengah pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS akibat berbagai faktor, seperti rencana kenaikan suku bunga acuan Bank Sentral AS, perbaikan peringkat dalam LPI 2018 bak angin segar.
Namun perbaikan peringkat logistik yang dilaporkan Bank Dunia tidak boleh membuat para stakeholder logistik nasional terlena. Masih banyak hal yang harus diperbaiki sesegera mungkin. Harapannya tentu agar laju perekonomian akan jauh lebih baik.
Sebab ekonomi dan logistik merupakan sebuah kesatuan tak terpisahkan. Mengapa demikian? Sederhana. Apabila ekonomi tidak ditopang logistik yang memadai, maka kelumpuhan bakal terjadi. Proses produksi dan distribusi yang merupakan titik sentral perekonomian tak akan berjalan. Masyarakat selaku konsumen barang/jasa pun menjadi korban.
Logistik merupakan aliran barang/jasa mulai dari sumber sampai tujuan. Jika diperinci, logistik adalah proses perencanaan, pelaksanaan, dan pengendalian aliran yang efisien dan efektif dari barang/jasa dan informasi terkait mulai dari titik asal sampai titik penggunaan untuk memenuhi keperluan pelanggan (mli.web.id).
Dalam ekonomi global, LPI merupakan salah satu tolok ukur kinerja logistik di suatu negara. Meskipun ada pula indeks logistik yang tertuang dalam laporan indeks daya saing yang dilansir oleh World Economic Forum (WEF), namun laporan LPI tetap menjadi patokan utama.
LPI mencakup beberapa aspek dalam penilaian. Mulai bea dan cukai, infrastruktur, pengiriman barang internasional, kualitas dan kompetensi logistik, pencarian barang, dan ketepatan waktu.
Aspek kepabean
Menurut LPI 2018, aspek bea dan cukai di Tanah Air memperoleh nilai terendah (2,67). Sementara yang memperoleh nilai tertinggi adalah ketepatan waktu (3,67). Sementara aspek lain memiliki nilai bervariasi mulai dari 2,89 (infrastruktur) hingga 3,3 (pencarian barang).
Menyimak hasil LPI 2018, maka sudah tampak apa yang harus menjadi fokus perbaikan di negeri ini, yaitu aspek kepabeanan. Bea dan cukai, di tengah-tengah masyarakat, sudah kadung identik dengan proses yang rumit, menyusahkan, merepotkan, dan kata-kata negatif lain. Sudah banyak contoh di lapangan, maupun di website pemerintah.
Silakan menyimak laporan di www.lapor.go.id. Di website itu ada beberapa keluhan terhadap pelayanan bea dan cukai. Salah satu postingan yang terekam di situs itu mengeluhkan penahanan barang yang dibeli seorang importir secara online. Belum lagi berbagai komplain yang disampaikan masyarakat di medium-medium lain, seperti media sosial Facebook, Twitter, Instagram.
Pangkal masalah yang membelit aspek bea dan cukai sejatinya sederhana. Persyaratan bea dan cukai kita terlampau rumit. Di satu sisi, petugas kepabeanan hanya menjalankan tugas. Di sisi lain, masyarakat jadi kerepotan setiap kali berurusan dengan aparat.
Solusi nyata atas masalah-masalah itu adalah melakukan penyederhanaan persyaratan. Langkah itu dapat diinisiasi oleh pemangku kepentingan terkait, dalam hal ini Kementerian Keuangan (Kemkeu). Parlemen pun perlu aktif untuk mendorong perbaikan aturan. Aturan terbaru tentu harus mampu mengakomodasi semua kepentingan.
Kemudian, peningkatan kapasitas sumber daya manusia (SDM) jangan sampai terlewatkan. Lazim terjadi perubahan peraturan gagap diikuti petugas di lapangan. Sementara di masyarakat, sosialisasi harus dilakukan secara masif agar tidak ada lagi kesalahpahaman dalam mengurus kepabeanan.
Sebagaimana penjelasan awal, apabila pelayanan semakin membaik, maka LPI dalam dua tahun mendatang dapat membaik. Selain LPI, indeks daya saing Indonesia yang terus mengalami kenaikan, juga bakal terkerek naik. Itu sudah mekanisme otomatis.
Walaupun lebih baik ketimbang aspek bea dan cukai, komponen infrastruktur juga perlu diperhatikan. Presiden Joko Widodo (Jokowi) sudah berulang kali mengingatkan ongkos logistik Indonesia dua kali lipat besarnya dibandingkan ongkos sejenis di Singapura dan Malaysia. Tak heran, pemerintah terus menggenjot pembangunan infrastruktur.
Namun belakangan pemerintah mengerem pembangunan infrastruktur. Pelemahan nilai tukar rupiah menjadi alasan karena mayoritas penunjang pembangunan masih harus diimpor. Sementara perekonomian dalam negeri membutuhkan pasokan dolar AS sebagaimana permintaan Presiden pada 31 Juli 2018.
Sebuah catatan krusial: jangan sampai pengereman pembangunan infrastruktur malah membawa dampak negatif terhadap perbaikan kinerja logistik. Untuk itu, penelitian yang dilakukan oleh pihak-pihak terkait harus cermat, hingga tidak ada yang dirugikan dari kebijakan itu.
Selain itu, pungutan liar alias pungli masih saja mewarnai pelayanan logistik di sini. Keluhan supir truk kepada Presiden Jokowi di Istana Kepresidenan merupakan fakta yang tak terbantahkan. Kerja Satgas Saber Pungli seolah tak terdengar lagi. Hilang ditelan hiruk pikuk kerja-kerja pemberantasan terorisme maupun kejahatan jalanan.
Untuk diperhatikan seksama, bukannya terorisme dan kejahatan jalanan tidak penting diberantas. Namun, jangan kita melupakan bahwa pungli adalah momok yang menakutkan dalam perekonomian Indonesia.
Ini bisa dilihat dari laporan indeks daya saing World Economic Forum. Perbaikan peringkat terus terjadi, namun masih saja masalah berkutat pada pungli dan juga korupsi. Padahal, Komisi Pemberantasan Korupsi sudah sedemikian galak dalam beraksi.
Untuk itu, tidak ada salahnya apabila pemerintah melalui Kementerian Koordinator Politik Hukum dan Hak Asasi Manusia kembali meningkatkan kerja Satgas Saber Pungli. Sistem reward and punishment dapat dipertimbangkan untuk diterapkan. Komitmen tinggi dibutuhkan dalam hal ini. Sebab, perekonomian tanpa pungli tentu adalah dambaan setiap pelaku usaha.
Akhirnya, sebagaimana penuturan Sun Tzu dan juga para pesohor lainnya dalam sejarah dunia, keberadaan logistik adalah suatu keniscayaan. Dalam sebuah kepemimpinan, tanpa logistik mumpuni, maka kekalahan adalah hasil akhir yang akan diperoleh. Tentu kita sama sekali tidak menginginkan kekalahan, bukan?•
William Henley
Founder Indosterling Capital
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News