kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45923,49   -7,86   -0.84%
  • EMAS1.319.000 -0,08%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Performa manufaktur pascakrisis


Jumat, 23 Maret 2018 / 15:26 WIB
Performa manufaktur pascakrisis


| Editor: Tri Adi

Tahun ini, Indonesia menyongsong 20 tahun pasca krisis finansial Asia 1997/1998 yang merontokkan sendi perekonomian kita. Melalui sekelumit persoalan ekonomi, Indonesia hari ini berada pada kondisi ekonomi yang cukup stabil.

Dari sisi pergolakan harga yang diukur melalui inflasi terlihat cukup terkendali dengan capaian tahun lalu pada 3,6%, sesuai prediksi Bank Indonesia 4+/-1%. Cadangan devisa berada pada capaian tertinggi sepanjang sejarah, US$ 132 Milyar. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sudah berada di rentang 6.300-6.500. Meski jumlah utang naik, tapi rasio utang saat ini dikisaran 29,2%, masih jauh dari batas maksimal yang ditetapkan pemerintah sebesar 60% terhadap PDB.

Untuk urusan investasi, Indonesia juga mencatatkan prestasi. Dengan capaian predikat layak investasi oleh Moodys, JCR, R&I, S&P dan Fitch serta naiknya peringkat kemudahan berinvestasi yang naik dari peringkat 120 jadi 72. Laporan terbaru dari survei US News, Indonesia mencatatkan peringkat kedua sebagai negara layak investasi, mengalahkan Singapura dan Malaysia.

Indonesia juga sudah masuk ke dalam jajaran negara dengan perekonomian US$ 1 triliun. Prediksi World Economic Forum (2017) selama tiga tahun ke depan (2017–2019), Indonesia akan menjadi penyumbang terbesar kelima bagi pertumbuhan ekonomi dunia. Diukur dari PDB keseimbangan kemampuan berbelanja (PPP), saat ini Indonesia menempati peringkat 8 dunia, diprediksi pada 2050, dengan asumsi business as usual, Indonesia akan menempati peringkat empat dunia.

Namun, ekonomi Indonesia terasa kurang mampu melaju kencang. Hingga saat ini, Indonesia mencatatkan pertumbuhan ekonomi yang stagnan dan cenderung menurun. Pada periode SBY dan Boediono stagnan 6%, sementara periode Jokowi dan JK stagnan 5%. Padahal, negara berkembang ASEAN seperti Vietnam dan Filipina, melaju kencang di atas 6%.

Ada satu prestasi yang tidak mampu direplikasi dari masa orde baru yaitu capaian sektor manufaktur yang saat itu gemilang. Sektor manufaktur merupakan sektor yang berkontribusi terhadap perekonomian nasional. Sayangnya, kinerja sektor tersebut hari ini justru tidak lebih baik jika dibandingkan orde baru. Maka tidak heran, pertumbuhan ekonomi pun tidak mampu berlari seperti tiga dekade Orde Baru dengan rata-rata pertumbuhan 7%.

Performa manufaktur turun

Jika kita melihat, pertumbuhan industri manufaktur hari ini kontras seperti yang terjadi pada masa orde baru yang selalu berada di atas pertumbuhan ekonomi. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan pada 2004, setelah mencapai pertumbuhan industri manufaktur tertinggi setelah krisis sebesar 6,38% di atas pertumbuhan ekonomi 5,03%, pertumbuhan manufaktur anjlok di tahun berikutnya menjadi 4,6% di bawah pertumbuhan ekonomi 5,69%. Setelah itu, tercatat pertumbuhan manufaktur kita selalu berada di bawah pertumbuhan ekonomi.

Dampak dari pertumbuhan manufaktur yang lebih rendah tersebut selain tidak mampu mendongkrak perekonomian secara nasional, porsi dari peran sektor manufaktur juga akan semakin berkurang. Atau istilahnya deindustrialisasi. Buktinya dapat dilihat dari peran kontribusi manufaktur terhadap ekonomi yang menurun terus sejak pada tahun 2001. Pada tahun itu, Indonesia memiliki kontribusi manufaktur tertinggi sepanjang sejarah sebesar 29,05% terhadap PDB. Tahun 2017, kontribusi manufaktur terhadap PDB kita merosot hingga hanya 20,16%.

Memang deindustrialisasi terjadi di beberapa negara. Tapi kasus Indonesia pasca krisis dapat disebut sebagai deindustrialisasi yang prematur karena tidak mampu meraih titik optimumnya seperti negara industri yang memiliki kontribusi manufaktur di atas 30% sebelum masuk kepada gelombang deindustrialisasi.

Ada dua hal yang bisa menggambarkan hal itu adalah ancaman serius. Pertama, kemampuan manufaktur dalam menyerap tenaga kerja. Sektor manufaktur dipercaya mampu menyerap tenaga kerja lebih besar dari sektor lainnya. Gelombang deindustrialisasi di dunia saat ini tentunya diiringi dengan revolusi digital dan autonomisasi. Untuk kasus Indonesia, pasca krisis terlihat di saat kontribusi tenaga kerja di sektor pertanian, perdagangan justru yang memiliki kontribusi tenaga kerja paling besar (23,3%), disusul jasa kemasyarakatan (16,9%), sementara industri hanya (13,7%).

Ketika terjadi deindustrialisasi, maka kemampuan sektor ini untuk menyerap tenaga kerja semakin berkurang. Pascakrisis, rata-rata tambahan sektor industri tiap tahun sebesar 71.190 penduduk, sementara sektor perdagangan mencapai 144.497 penduduk per tahun dan jasa kemasyarakatan 122.890 penduduk.

Kedua, minimnya manfaat efek pengganda yang dirasakan masyarakat dalam jangka panjang. Dibandingkan jasa, sektor manufaktur memiliki efek pengganda yang jauh lebih besar. Mulai dari tergeraknya sektor industri di dalamnya yang mampu memenuhi kebutuhan domestik dan luar negeri melalui ekspor. Lantas terserapnya tenaga kerja melalui penciptaan lapangan pekerjaan pendukung industri hingga meningkatnya penerimaan negara dan daerah.

Untuk itu, Indonesia perlu keluar dari zona nyaman yang terlalu mengandalkan industri berbahan baku kekayaan alam dan beralih ke industri dengan nilai tambah besar dan dibutuhkan dunia saat ini. Sebagai contoh, Malaysia setelah krisis berani melakukan diversifikasi industri dari produksi berbahan baku mentah menjadi industri berbasis teknologi seperti semikonduktor dan peralatan elektronik lainnya. Apa yang dilakukan Malaysia pada saat itu direplikasi Vietnam dengan mengembangkan kebijakan substitusi impor dengan tujuan ekspor, sebagian besar dari industri pabrikasi semikonduktor dan perangkat elektronik. Saat ini Vietnam mampu menguasai rantai produksi semikonduktor global.

Wacana mengenai reindustrialisasi perlu terus digemakan, khususnya setelah 20 tahun krisis 1997/1998 yang mana kinerja industri Indonesia belum mencatatkan prestasi seperti saat masa orde baru. Reindustrialisasi bisa berangkat dari membangun visi industri Indonesia ke depan. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019, pada tahun 2019 industri manufaktur ditargetkan untuk berkontribusi terhadap perekonomian hingga 21,6%. Artinya pemerintah sudah menargetkan reindustrialisasi sejak awal.

Namun lagi-lagi Indonesia masih menyasar pada rencana pengembangan industri yang kurang strategis. Pengembangan industri padat karya di tengah makin mahalnya harga buruh dan otomatisasi industri bukanlah suatu jawaban.

Ke depan, Indonesia perlu mengembangkan manufaktur berbasis teknologi dan riset yang sangat dibutuhkan di dunia saat ini. Jika tidak mampu mengembangkan dari awal, liberalisasi industri melalui substitusi impor berbasis ekspor layaknya Vietnam patut dicoba. Semua ini dilakukan demi mengejar pertumbuhan manufaktur yang lebih kencang dari masa orde baru.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP)

[X]
×