Reporter: Bagus Marsudi | Editor: Tri Adi
Usai musim mudik Lebaran, biasanya pemerintah daerah di kawasan perkotaan sibuk dengan operasi yustisi. Operasi ini mendata ulang warga pendatang yang ingin mencari kerja di kota besar dan sekitarnya, seperti Jakarta dan Surabaya. Biasanya, operasi ini sekaligus menjadi alat sortir bagi para pendatang untuk dinilai kelayakan hidup di urban. Misalnya, apakah mereka punya modal ketrampilan yang cukup untuk mencari kerja di kota besar.
Namun, berbeda dari biasanya, tahun ini, beberapa pemerintah daerah tidak menggelar operasi yustisi. Contohnya DKI Jakarta dan Pemkot Bekasi. Alasannya, selain tidak disiapkan anggaran untuk operasi ini, prinsip yang dipegang adalah tidak melarang pendatang untuk mencari kehidupan yang layak, tetapi tidak juga mengundang datang. Gubernur Anies Baswedan, misalnya, menegaskan prinsip kesetaraan bagi pendatang dan warga ibukota.
Tidak ada yang salah dengan alasan itu. Di era KTP elektronik seperti sekarang, seharusnya tidak ada sekat yang membedakan warga satu kota dengan kota lain. Soalnya, data tiap penduduk bisa diakses di tiap kota berkat nomor induk kependudukan (NIK). Kalau pun ada perubahan data seperti tempat tinggal, cukup lapor dan memperbarui data terkini di kelurahan.
Hanya saja, kebijakan itu bukan tanpa ada risiko. Tanpa ada pendataan bagi para pendatang ke kota, problem kependudukan bakal semakin sulit teratasi. Bebannya mungkin bukan di pemkot atau pemprov. Yang paling terasa justru di tingkat bawah, yakni rukun tetangga (RT) atau rukun warga (RW). Soalnya, mereka yang langsung bertanggung jawab atas warga di lingkungannya. Warganya bertambah, tapi secara administrasi tidak ada penambahan data. Meski ada kewajiban melapor ke RT/RW, tapi tidak ada keharusan melapor ke kelurahan atau kecamatan.
Selain itu, prinsip kesetaraan pada praktiknya belum sepenuhnya bisa diterapkan. Suka atau tak suka, pembedaan bagi warga dan pedatang itu nyata. Para pendatang pasti tidak akan mendapatkan fasilitas kesehatan atau pendidikan gratis yang ditanggung pemprov/pemkot, seperti Kartu Jakarta Sehat atau Kartu Jakarta Pintar. Soalnya, syaratnya harus punya KTP Jakarta. Selain itu, hak untuk mendapatkan pendidikan di sekolah negeri juga terbatas dengan sisten zonasi. Soalnya, prioritas tetap bagi anak dengan NIK terdaftar di Jakarta.
Jadi, prinsip kesetaraan bagi pendatang itu fakta atau fiksi?♦
Bagus Marsudi
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News