Reporter: Muhammad Afandi | Editor: Tri Adi
Skema baru yang melonggarkan Bulog dalam pengadaan cadangan beras pemerintah (CBP) bisa jadi solusi penyeerapan gabah petani. Namun pendekatan ini menjadikan Bulog seperti perusahaan swasta.
Bulog harus bersaing dengan perusahaan swasta, harus kompetitif dan sementara tetap harus mendapatkan barang. Ini menjadi perjudian yang sulit.
Ketika beras-beras yang dikuasai Bulog sudah berumur empat bulan atau kualitasnya turun, ada kewajiban untuk dikeluarkan. Bulog harus memastikan pasarnya untuk mengeluarkan stok. Untuk itu, Bulog harus punya outlet tempat penyalurannya.
Kemudian, saat musim panen raya, harga beras dan gabah rendah jatuh. Padahal saat bersamaan misalnya terdapat 1 juta beras yang wajib dikeluarkan Bulog akibat telah berumur 4 bulan atau kualitasnya sudah turun. Peluang Bulog menjual akan sulit.
Untuk Bulog, ini merupakan perjudian besar. Ketika menyerap beras dengan harga tinggi. Namun ketika menjual cuma bisa menjual dibawah harga tersebut.
Kebijakan ini juga tak sesuai dengan sejarah pendirian Bulog. Bulog tidak didesain untuk berkompetisi dengan swasta. Tapi dia didesain untuk bekerja sama dengan koperasi dan penggilingan. Ketika terjadi surplus produksi yang menyebabkan harga jatuh, Bulog turun ke pasar untuk menyerap surplus produksi agar petan terlindungi.
Ketika Bulog berubah menjadi perusahaan swasta, menjadi pertanyaan penting apakah Bulog bisa dan siap? Sebab, dari laporan keuangan Bulog, sumbangan dari usaha komersial belum signifikan hanya dalam porsi 25%.
Pemerintah lebih baik meninjau kebijakan yang sudah ada, efektif belum? Seperti ketetapan harga pembelian pemerintah (HPP) gabah Rp 3.700 per kg yang sudah berlangsung sejak tahun 2015. Di lapangan, HPP menjadikan Bulog tidak bisa serap gabah petani.•
Khudori
Pengamat Pangan
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News