kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45920,31   -15,20   -1.62%
  • EMAS1.345.000 0,75%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Perkembangan Tes Virus Korona


Rabu, 04 November 2020 / 13:46 WIB
Perkembangan Tes Virus Korona
ILUSTRASI.


Sumber: Harian KONTAN | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti

KONTAN.CO.ID - Salah satu sendi utama penanggulangan Covid-19 adalah menemukan kasus melalui tes diagnostik. Seperti yang sudah dikenal luas, diagnosis pasti korona dikerjakan dengan pemeriksaan Polymerase Chain Reaction (PCR), suatu teknik pemeriksaan laboratorium yang sudah lama dikenal untuk mendeteksi berbagai penyakit.

Prinsip dasarnya adalah proses nucleic acid amplification tests (NAAT), jadi asam nukleat pada virus akan diproses khusus, diperbanyak jutaan kali sehingga dapat dideteksi di alat di laboratorium. Sebagian besar kasus di dunia bergantung dari tehnik ini, yang memang memerlukan proses cermat dan ruang khusus dengan spesifikasi tertentu.

Contoh lain teknik ini adalah tes cepat molekuler (TCM) dengan alat yang sekarang digunakan untuk diagnosis tuberkulosis resisten obat (alat ini sudah ada ratusan di Indonesia), tentu dengan mengganti cartridge-nya yang sesuai untuk Covid-19. Masalahnya, jumlah cartridge itu saat ini terbatas di dunia sehingga pemakaiannya memang belum luas sekali.

Ada juga tes dengan dasar NAAT lain yang masih sedang dalam penelitian. Misalnya Loop Mediated Isothermal Amplification (LAMP) yang konon dapat mendeteksi amplifikasi RNA virus dengan perubahan warna dalam waktu hanya 30 menit.

Untuk bahan pemeriksaan tes NAAT ini, Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyampaikan bahwa untuk semua suspek perlu diperiksa bahan dari saluran napas atas yang biasa didapat dengan pemeriksaan swab tenggorok yang sekarang sudah luas digunakan. Cara yang lebih rinci lagi dengan mendapat bahan dari saluran napas bawah dari dalam paru, baik melalui dahak yang dibatukkan secara benar maupun cara medis tertentu endotracheal aspirate dan atau bronchoalveolar lavage, utamanya pada pasien dengan ventilator.

Sudah juga dikenal luas bahwa WHO menyatakan bahwa tes antibodi SARS-CoV-2 (virus penyebab penyakit Covid-19) tidaklah direkomendasikan untuk mendiagnosis pasti apakah seseorang sedang sakit Covid-19 atau tidak. Tes antibodi ini dapat digunakan untuk uji serologi di masyarakat, antara lain untuk mendapat informasi tentang pola kekebalan penyakit pada populasi.

Penilaian pola kekebalan pada populasi suatu negara merupakan salah satu indikator untuk menilai herds immunity yang kita tahu dapat terjadi secara alamiah (namun akan memakan banyak korban) ataupun secara buatan dengan pemberian vaksin yang efektif dan aman. Tes antibodi ini sering secara mudah disebut sebagai rapid test, istilah ini tidak sepenuhnya benar karena ada bentuk tes cepat yang lain.

Sejak September 2020 WHO mengikutkan pemeriksaan baru untuk mendiagnosis Covid-19, suatu cara yang lebih mudah dan cepat dari PCR. Cara ini prinsip dasarnya adalah deteksi protein virus SARS-CoV-2 di swab hidung atau sekresi saluran napas lain dengan sistem lateral flow immunoassay. Hasil pemeriksaan didapat dalam 30 menit, karena itu disebut juga sebagai rapid diagnostic test (RDT).

Tehnik deteksi cepat antigen (Ag-RDT) ini memang kurang sensitif dibanding NAAT, tapi punya kelebihan karena relatif lebih mudah, murah dan cepat untuk mendeteksi kasus Covid-19 dalam keadaan yang infeksius.

Memang masih ada syarat khusus penggunaannya. WHO menyampaikan bahwa Ag-RDT untuk deteksi SARS-CoV-2 perlu memenuhi syarat sensitivitas 80% dan spesifisitas 97% bila dibandingkan dengan NAAT. Tes ini juga baik digunakan pada keadaan di mana NAAT tidak tersedia dan atau hasil tes secara cepat memang perlu didapatkan. Juga dianjurkan agar digunakan dalam rentang waktu sampai antara 5 hari sampai dengan 7 hari sesudah mulai timbul gejala.

Pemeriksaan lain

WHO menyampaikan lima situasi di mana pemeriksaan cepat antigen ini baik untuk dilakukan. Pertama adalah untuk merespon wabah di daerah terpencil dan atau daerah tertutup lain di mana pemeriksaan NAAT tidak akan segera tersedia.

Kedua adalah menangani laporan lonjakan khusus pada kelompok lingkungan tertentu, misalnya di kalangan sekolah, kapal pesiar, tempat kerja, asrama, rumah jompo, penjara dan lainnya. Ketigauntuk memonitor situasi epidemiologi kasus baru di masyarakat, khususnya pada petugas garda terdepan seperti para petugas kesehatan dan petugas lapangan yang lainnya.

Keempat adalah apabila ada penularan meluas di masyarakat dan tes ini dapat digunakan sebagai deteksi dini dan mereka yang positif lantas diisolasi. Kelima, dipakai saat memeriksa mereka yang tidak bergejala dalam kegiatan penelusuran kontak (contact tracing) dari seorang yang dinyatakan positif korona.

Dewasa ini memang produk tes deteksi cepat antigen (Ag-RDT) ini masih terbatas. Dalam waktu tidak lama lagi tentu akan ada berbagai produk tersebut di pasar bebas. Pemilihannya perlu dilakukan dengan seksama berdasar data ilmiah yang tepat. Juga, karena produk ini relatif baru maka perlu dilakukan pengawasan setelah banyak beredar di dunia (post marketing surveillance) untuk menjamin mutu yang tetap terjaga baik dan akurat

Para ahli juga terus melakukan berbagai penelitian untuk mendapat alternatif tes pemeriksaan yang baik. Kita sudah dengar bahwa sedang diteliti tentang kemungkinan diagnosis dengan hembusan napas. Ada juga yang meneliti tentang deteksi dari air liur, penggunaan nano biosensor teknologi, menggunakan sekuensing dengan tes next generation sequencing (NGS)-based Covid-19, dan lainnya.

Kita dapat ikuti berbagai penelitian ini antara lain di International Clinical Trial Registry Platform (ICTRP) sehingga kita bisa tahu apakah pernyataan di media bahwa ada alat baru ditemukan itu benar-benar memang sudah memenuhi kaidah ilmiah. Dengan perkembangan waktu mungkin akan makin banyak tes diagnosis yang ditemukan dan dipasarkan di dunia, khususnya karena nampaknya tantangan korona masih akan terus kita hadapi dalam waktu mendatang ini.

Penawaran dan keberadaan alat diagnosis korona tentu akan banyak menarik perhatian publik, dan bukan tidak mungkin punya aspek ekonomi pula. Berbagai alat diagnosis baru ini tentu harus lulus uji klinik sebelum dapat digunakan secara luas, sama halnya seperti vaksin korona yang kini banyak dibicarakan.

Di sisi lain, juga ada mekanisme Emergency Use of Authorization (EUA) untuk tes diagnosis. Mekanisme diterapkan manakala uji klinik belum sepenuhnya selesai namun hasil sementara yang ada sudah dirasa cukup memadai untuk diberikan izin edar oleh otoritas setempat.

Kemampuan mendiagnosis Covid-19 amatlah penting dalam spektrum pengendalian penyakit ini. Aspek diagnosis bukan hanya untuk menemukan seorang pasien, tapi juga untuk mengetahui pola epidemiologi dan bagaimana kecenderungannya, termasuk apakah dunia sudah ada dalam situasi yang membaik atau masih tetap harus berjuang amat keras memerangi korona.

Penulis : Tjandra Yoga Aditama

Guru Besar Paru Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×