Reporter: Dityasa H Forddanta | Editor: Tri Adi
Tren pelemahan rupiah yang tengah terjadi saat ini disebabkan oleh karakteristik pergerakan rupiah yang lebih disebabkan oleh sentimen masuknya dana asing (capital inflow), bukan cadangan devisa. Jadi, ketika ada arus dana keluar (capital outflow), rupiah melemah.
Kita tahu outflow saat ini terus terjadi, terutama di pasar obligasi. Di pasar saham sudah mulai mereda, tapi capital inflow juga belum terlalu besar.
Ini yang menjadi alasan rupiah terus melemah, meski cadangan devisa negara menguat. Selain itu, ada lag data cadangan devisa yang diperoleh untuk kemudian dianalisis.
Soal cadangan devisa juga menjadi jawaban atas seberapa besar kemampuan intervensi Bank Indonesia (BI) dalam menjaga nilai tukar rupiah. Kekuatan intervensi BI hanya sebatas menjaga volatilitas, bukan menetapkan rupiah harus berada di level berapa. Butuh cadangan devisa yang sangat kuat seperti China jika ingin memiliki kemampuan intervensi sekuat itu.
Bagaimana supaya kuat? Surplus neraca perdagangan harus naik, jadi bukan cuma mengandalkan capital inflow. Untuk mencapai kondisi itu, bukan hanya BI yang bekerja. Peran pemerintah, dalam hal ini Kementerian Perindustrian dan Kementerian Perdagangan, sangat dibutuhkan.
Namun, bukan berarti sistem yang dianut selama ini buruk. Sebenarnya, dengan sistem yang membiarkan rupiah mengambang tapi juga tetap terkontrol, justru memberikan gambaran yang lebih riil.
Saya optimistis, kurs rupiah kecil kemungkinannya melewati batas Rp 14.000. Selama ini, level Rp 14.000 memang menjadi batas psikologis. Jika level ini ditembus, capital outflow bisa lebih besar. Tapi, kecil kemungkinannya kurs rupiah menembus batas itu.
Dengan kondisi makro seperti saat ini, rata-rata pergerakan rupiah akan stabil di level Rp 13.650 hingga akhir tahun. Soalnya, kondisi makro ekonomi Indonesia masih cukup stabil. Nilai ekspor kita juga masih bisa tumbuh, seiring dengan harga komoditas yang lebih tinggi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News