Reporter: Venny Suryanto | Editor: Tri Adi
Rasio penerimaan pajak atau tax ratio Indonesia sejauh ini memang masih belum optimal. Padahal keberadaan basis pajak tersebut amat penting untuk mengoptimalkan pendapatan negara dari pajak.
Tax rasio Indonesia masih berada di level 11,5% pada tahun lalu. Angka tersebut jelas masih jauh dari standar tax ratio bagi negara sekelas Indonesia yang ditetapkan Dana Moneter Internasional atau IMF, yakni sebesar 15% dari produk domestik bruto.
Menurut saya, memang masih ada sejumlah faktor yang membuat tax ratio Indonesia masih berkutat di kisaran angka tersebut. Itu tidak terlepas dari faktor situasi ekonomi secara umum semata, tapi juga dari dua faktor penyebab utama.
Pertama, policy gap atau kesenjangan kebijakan. Kesenjangan kebijakan sendiri merupakan kesenjangan sektor perpajakan sebagai akibat dari keberadaan suatu kebijakan.
Misalnya, adanya banyak pengecualian di pajak pertambahan nilai (PPN), kebijakan tarif nilai untuk beberapa penghasilan, insentif pajak, hingga adanya ketentuan yang melemahkan penghindaran pajak.
Kedua, administrative gap atau kesenjangan administrasi di bidang perpajakan. Faktor ini berangkat dari adanya kelemahan di sistem administrasi.
Misalnya, pemeriksaan pajak yang tidak tepat sasaran. Lantas ketidakmampuan aparat pajak untuk mendeteksi shadow economy, juga sisi aspek kelembagaan otoritas pajak.
Dengan melihat dua faktor tersebut, ada cara efektif untuk mendongkrak tax ratio Indonesia. Pertama dengan merevisi undang-undang perpajakan demi mengurangi gap tersebut. Kedua, revisi UU perlu diimbangi dengan perbaikan di organisasi perpajakan, sumber daya manusianya, penerapan teknologi informasi hingga proses bisnis.
Elemen tersebut seharusnya sudah menjadi agenda reformasi pajak. Jadi tinggal dilaksanakan secara konsisten dan secepatnya oleh Ditjen Pajak.♦
Darussalam
Pengamat Pajak
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News