Reporter: Tri Adi | Editor: Tri Adi
Revolusi industri 4.0 bukanlah sebuah tren dunia atau berakhir menjadi istilah kekinian semata. Implementasinya menciptakan peluang sekaligus tantangan bagi industri. Sebab, di balik produktivitas yang bakal melonjak, bakal diikuti dengan persoalan disrupsi teknologi yang besar. Tapi, tantangan tersebut harus bisa dihadapi supaya peningkatkan daya saing industri nasional yang jadi tujuan utama bisa terlaksana.
Tidak pernah terpikirkan sebelumnya bahwa teknologi seperti internet kini tak hanya mampu menghubungkan antarmanusia tetapi juga antarbenda (internet of things). Apalagi, jika yang terkoneksi adalah mesin manufaktur yang sudah terotomatisasi. Memungkinkan mampu memberikan masukan berapa produk yang akan diproduksi hingga kapan mesin tersebut rusak dan harus diperbaiki. Ini yang menjadi cikal bakal dari industri 4.0.
Menteri Perindustrian disebut telah meluncurkan peta jalan (roadmap) Making Indonesia 4.0. Peta jalan tersebut mencakup visi pembangunan industri yang bersifat jangka panjang dan target untuk mewujudkan Indonesia sebagai bagian dari 10 negara dengan perekonomian kuat pada 2030. Lima sektor industri prioritas nasional yakni makanan dan minuman, tekstil dan pakaian, otomotif, kimia, serta elektronika yang mampu memberikan 60% kontribusi terhadap PDB dan tenaga kerja, diharapkan mampu menerapkan teknologi masa depan tersebut dan bisa bersaing secara global dengan dukungan peta jalan tersebut.
Namun demikian, sudahkah industri nasional kita berada di persimpangan jalan menuju Industri 4.0? Kenyataannya, Indonesia masih mengejar negara lain khususnya di Asia dalam kesiapan menuju implementasi industri 4.0. Ini terlihat dari data laporan hasil penilaian kesiapan produksi masa depan oleh World Economic Forum (2018).
Secara umum, laporan itu didasari dua indikator besar: struktur produksi dan faktor-faktor pendorong produksi. Indikator struktur produksi menjelaskan mengenai nilai tambah produksi. Sementara faktor pendorong produksi berisi teknologi, sumberdaya manusia, investasi dan perdagangan, institusi, sumberdaya terbarukan, serta permintaan pasar.
Berdasarkan laporan tersebut, tercatat posisi Indonesia masih berada di bawah negara ASEAN dengan peringkat 38 dan 59 dalam aspek struktur produksi dan pendorong produksi. Posisi ini jauh di bawah Malaysia (20 dan 22) serta Thailand (12 dan 35). Indonesia unggul dalam hal struktur produksi namun lemah di indikator pendorong produksi dibanding negara seperti Vietnam.
Dapat disimpulkan, meskipun Indonesia memiliki pasar yang besar di dalam negeri, hal tersebut tidak cukup jika ingin menjadi negara yang mampu mengimplementasikan industri masa depan seperti industri 4.0. Perlu energi ekstra untuk mampu meningkatkan faktor yang bisa mendorong produksi.
Dari segi kesiapan teknologi dan inovasi, Indonesia masih menghadapi aksesibilitas jaringan LTE, pengeluaran penelitian dan pengembangan (litbang) terhadap PDB, serta jumlah paten yang masih sangat rendah. Sementara dari segi perdagangan dan investasi masih dibutuhkan frekuensi dan keterbukaan perdagangan yang tinggi. Terakhir adalah institusi yang mampu menghasilkan efisiensi regulasi.
Dukungan pemerintah
Selain laporan World Economic Forum (2018), pekerjaan rumah yang mendasar banyak menanti dan belum terselesaikan di tengah munculnya inisiasi ini. Setidaknya, ada empat hal mendasar yang perlu segera diselesaikan.
Pertama, belum terselesaikannya persoalan yang dialami tulang punggung industri 4.0 yaitu internet of things (IoT). Perlu menyelesaikan pengujian frekuensi perangkat operasional IoT. Langkah lainnya adalah upaya menyiapkan mitigasi jika kemungkinan terjadi interferensi antarfrekuensi, mengingat berdekatan dengan frekuensi seluler yang ada.
Kedua, belum adanya insentif modernisasi. Pemerintah perlu mengupayakan insentif baik fiskal dan non-fiskal agar industri mampu mengubah basis produksinya agar terkoneksi dan terintegrasi secara digital serta tidak hanya berhenti sebagai pilot project. Tanpa adanya insentif yang diberikan maka perubahan yang diharapkan akan terasa lama.
Ketiga, masih belum adanya implementasi pengembangan kawasan industri pintar. Kawasan industri pintar (smart industrial parkatau SIP) bisa menjadi percontohan bagi pengembangan industri 4.0 yang kemudian direplikasi di kawasan lainnya. Memang, tidak mudah membuat kawasan industri baru, mengingat kawasan industri yang ada juga terkendala berbagai macam masalah sehingga keberlangsungannya dipertanyakan.
Salah satu solusi yang bisa ditempuh adalah inisiasi bersama dengan pihak luar untuk membangun sekaligus mengelola. Ini seperti yang dilakukan Vietnam yang bekerjasama dengan Singapura membangun Vietnam-Singapore Industrial Park di beberapa daerah di Vietnam.
Keempat, belum siapnya tenaga kerja dengan kemampuan yang tepat. Terampil saja tidak cukup karena bisa jadi keterampilan tersebut sudah usang di masa depan. Hadirnya industri 4.0 membuka lapangan pekerjaan baru yang sangat spesifik namun tidak teknis. Kebutuhannya yang tidak kecil mampu dimanfaatkan oleh pasar tenaga kerja Indonesia yang cukup besar. Investasi utama perlu dilakukan oleh pemerintah di sektor pendidikan, agar lulusan yang ada secara kompetitif mampu memenuhi permintaan industri masa depan. Jika tidak, ruang ini akan diisi profesional kompeten dari luar Indonesia.
Jangan lupa juga bahwa jika keempat hal ini terselesaikan, masih terdapat hal krusial mendasar yang muncul dan menjadi tantangan ke depan. Hal ini tidak lain adalah keamanan data dan privasi. Ketika data menjadi modal (capital) serta komoditas yang bisa diperdagangkan, maka perlindungan atas data pribadi dan keamanan atas data industri perlu diperhatikan. Maka, solusi yang mendesak adalah bagaimana lembaga legislatif bekerjasama dengan pemerintah bisa terus memperjuangkan undang-undang keamanan serta perlindungan data yang saat ini masih belum kita miliki.
Tentu, peta jalan yang diluncurkan Kementerian Perindustrian merupakan salah satu rencana yang diharapkan mampu mendorong inisiasi industri 4.0. Tapi, hal tersebut tidak akan terlaksana tanpa adanya faktor pendukung dari berbagai pemangku kebijakan terkait. Industri 4.0 tidak hanya berbicara mengenai sektor manufaktur saja, juga berkaitan dengan sektor lainnya seperti jasa.
Ekosistem pendukung yang kompleks membutuhkan peranan dari berbagai kementerian terkait di bawah pengawasan langsung Presiden dan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. Itu jika gagasan dan ide mengenai Making Indonesia 4.0 akan menjadi agenda prioritas nasional. Tanpa hal tersebut, implementasinya tidak akan terlaksana.•
Andry Satrio Nugroho
Peneliti Indef
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News