kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45916,44   -19,08   -2.04%
  • EMAS1.345.000 0,75%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Pertamina dan preseden buruk aksi BUMN


Kamis, 20 Juni 2019 / 14:22 WIB
Pertamina dan preseden buruk aksi BUMN


Reporter: Harian Kontan | Editor: Tri Adi

Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menjatuhkan vonis 8 tahun penjara terhadap Karen Agustiawan. Majelis hakim Pengadilan Tipikor menilai mantan Direktur Utama PT Pertamina (Persero) terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi dalam investasi Blok Basker Manta Gummy (BMG) di Australia. Selain dihukum penjara, Karen diwajibkan membayar denda Rp 1 miliar dan subsider 4 bulan kurungan.

Walaupun, Putusan a quo tidak sepenuhnya dengan suara bulat, karena ada dissenting opinion dari salah seorang hakim yang menganggap Karen tidak bersalah dan harus dibebaskan dari semua dakwaan, baik dakwaan primer Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 18 huruf b UU Tipikor jo Pasal 55 ayat (1) angka 1 KUHP maupun dakwaan subsider Pasal 3 jo Pasal 18 huruf b UU Pemberantasan Tipikor jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Dissenting opinion tidak akan mengubah apapun, termasuk membebaskan Karen. Terlepas perdebatan karena ada beda pendapat, putusan harus tetap dihormati, sebagaimana asas hukum res judicata pro veritate habetur (putusan hakim harus dianggap benar).

Mengingat dan menghormati upaya hukum banding yang sedang ditempuh oleh Karen, tulisan ini akan dibatasi dan hanya membahas persoalan tentang perdebatan panjang terkait status BUMN dan bentuk pertanggungjawaban hukum (liability) direksi BUMN.

Salah satu perdebatan panjang mengenai legal standing BUMN, apakah wakil dari pemerintah atau badan hukum? Ada beberapa pendekatan untuk menjawab pertanyaan ini.

Pertama, secara teoretis, menurut teori twee petten seperti dikemukakan Ulpianus, bahwa pada kenyataan sehari-hari dalam melakukan pergaulan hukum (rechtsverkeer) pemerintah tampil dengan berkepala dua (twee petten). Pemerintah disamping melaksanakan aktivitas dalam hukum publik, juga sering terlibat dalam lapangan keperdataan. Sebagai wakil dari jabatan (ambt) yang tunduk pada hukum publik dan wakil dari badan hukum (rechtspersoon) yang tunduk pada hukum privat.

Keterlibatan pemerintah dilapangan hukum privat dapat diwakilkan oleh BUMN/BUMD, yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha yang tujuannya mengejar keuntungan. Sehingga secara hukum berlaku ketentuan badan hukum dan perbuatannya berdasarkan perjanjian tunduk pada hukum perjanjian.

Kedua, secara normatif. Dalam ajaran hukum administrasi negara ada 4 syarat badan hukum perdata dikategorikan sebagai administrasi negara. Yakni (a) dibentuk oleh organisasi publik, (b) memiliki kewenangan yang bersumber dari UU dibidang publik (c) menjalankan fungsi pemerintahan dan/atau urusan pemerintahan (d) sewaktu-waktu bisa menjatuhkan sanksi administrasi.

Konfigurasi BUMN di UU No. 19/2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN) secara tegas menyatakan BUMN tidak memenuhi persyaratan sebagai administrasi negara. BUMN tidak dibentuk oleh organisasi publik melainkan amanat Pasal 33 UUD 1945. BUMN tidak memiliki kewenangan dibidang publik dan tidak menjalankan urusan pemerintahan. BUMN juga tidak memiliki kewenangan untuk menjatuhkan sanksi administrasi.

Karakteristik legal standing BUMN sebagai Badan Hukum secara implisit juga dijelaskan dalam Pasal 1 angka 2 jo. Pasal 2 ayat (1) UU BUMN tentang tujuan BUMN untuk mengejar keuntungan (profit oriented). Berbeda dengan Pemerintah sebagai public service yang tujuannya meningkatkan kesejahteraan umum.

Dipertegas lagi oleh Pasal 11 UU BUMN menyatakan BUMN berbentuk perseroan berlaku UU No 40/2007 tentang Perseroan Terbatas. Sebagaimana diketahui bahwa perseroan merupakan subjek hukum badan hukum.

Doktrin hukum dari Arifin Soeriaatmadja juga menyebutkan BUMN merupakan badan hukum perdata yang tidak mempunyai kewenangan publik. Dalam batas penalaran yang wajar, BUMN dalam menjalankan operasionalnya tidak memiliki kewenangan seperti merumuskan kebijakan, pengaturan, pengurusan, pengelolaan dan pengawasan sebagaimana administrasi negara.

Pertanggungjawaban direksi

Sebagaimana pandangan Paul Scholten tentang "sistem hukum terbuka", sangat penting melihat perbuatan hukum seseorang dalam meminta pertanggungjawaban hukum, apakah sebagai perorangan atau badan hukum.

Pasal 4 ayat (1) Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No 13/2016 menyebutkan pertanggungjawaban pidana korporasi harus sesuai dengan ketentuan undang-undang yang mengatur tentang korporasi. Pasal 11 UU BUMN secara tegas menyatakan BUMN tunduk pada UU PT. Ketika secara substansial UU BUMN menyatakan landasan terhadap BUMN berlaku UU PT, maka segala perbuatan hukum BUMN tunduk kepada UU PT.

Sekiranya tindakan direksi BUMN yang terindikasi delik korupsi dan merugikan keuangan negara, haruslah dibuktikan terlebih dahulu dengan menggunakan mekanisme UU PT. Tidaklah benar, memintakan pertanggungjawaban pidana direksi BUMN secara langsung tanpa Putusan Peradilan Perdata, karena secara prinsipil bertentangan dengan tata beracara dalam sistim hukum civil law.

Dalam doktrin hukum perusahaan, berlaku asas piercing corporate vield. Asas inilah yang menentukan apakah seseorang direksi melanggar peraturan perundang-undangan atau tidak. Batu uji tindakan direksi BUMN terindikasi delik korupsi dan merugikan keuangan negara adalah antara perbuatan dan niat tidak relevan dengan klausul tujuan dan kegiatan persero (ultra vires) disertai audit laporan keuangan BUMN menunjukkan kerugian negara yang sifatnya konkret (actual loss).

Sepanjang keputusan bisnis direksi BUMN masih tetap dalam koridor fiduciary duty semata-mata untuk kepentingan perusahaan dan pemegang saham perseroan berdasarkan UU dan anggaran dasar, maka dinyatakan sebagai intra vires yang mengikat perseroan apabila dilakukan dengan itikad baik (good faith) dan dilindungi oleh business judgement rule.

Business judgement rule adalah alasan pemaaf atas keputusan direksi BUMN sepanjang dilakukan demi kepentingan perusahaan. Dengan begitu, direksi tidak bisa dimintakan pertanggungjawaban atas kerugian perseroan apabila kerugian tersebut murni resiko bisnis.

Tapi, dengan syarat: kerugian bukan karena kesalahan atau kelalaiannya; telah melakukan pengurusan dengan iktikad baik dan kehati-hatian; tidak memiliki konflik kepentingan, dan telah mengambil kebijakan untuk mencegah timbulnya kerugian sebagaimana dimaksud Pasal 97 ayat (5) UU PT.♦

Agung Hermansyah
Konsultan Hukum Servanda Law Office

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×