kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45915,35   16,58   1.84%
  • EMAS1.325.000 -0,08%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Pesangon dan Pensiun di UU Cipta Kerja


Rabu, 09 Desember 2020 / 05:27 WIB
Pesangon dan Pensiun di UU Cipta Kerja
ILUSTRASI.


Sumber: Harian KONTAN | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti

KONTAN.CO.ID - Presiden telah menandatangani Undang - Undang (UU) Cipta Kerja dan diundangkan menjadi UU No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Kini publik menanti peraturan pemerintah (PP) yang menjadi aturan turunannya. Salah satunya menyangkut soal pesangon pekerja.

Lalu, bagaimana kaitan pesangon di UU No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dengan program pensiun? Karena faktanya, saat ini sudah ada pengusaha atau pemberi kerja yang mengikutsertakan pekerja ke dalam program pensiun yang bersifat sukarela.

Melalui dana pensiun, baik Dana Pensiun Pemberi Kerja (DPPK) atau Dana Pensiun Lembaga Keuangan (DPLK). Bagaimana nasib iuran yang dibayar oleh pengusaha dalam program pensiun? Apakah dapat dikompensasikan (offset) sebagai kewajiban pesangon pengusaha kepada pekerja di UU Cipta Kerja?

Dalam konteks ini, penting disampaikan bahwa penyusunan Peraturan Pemerintah (PP) UU Cipta Kerja pun mengatur tentang besaran imbalan pesangon pekerja yang dikaitkan dengan penyelenggaraan program pensiun yang bersifat sukarela.

Artinya, PP yang sedang disusun harusnya tetap mengakomodasi tentang diperkenankannya menggunakan manfaat program pensiun yang diperoleh dari DPPK dan DPLK sebagai bagian dari pemenuhan uang pesangon (UP), uang penghargaan masa kerja (UPMK), dan uang penggantian hak (UPH) saat pekerja mencapai usia pensiun atau terkena pemutusan hubungan kerja (PHK).

Secara konkret, peraturan pemerintah setidaknya perlu mencantumkan kalimat Dalam hal pengusaha telah mengikutsertakan pekerja/buruh dalam program pensiun sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang dana pensiun, manfaat pensiun yang diperoleh dari program pensiun tersebut setelah dikurangi dengan akumulasi iuran yang dibayar oleh pekerja/buruh beserta hasil pengembangannya, bila ada, dapat diperhitungkan sebagai bagian dari pemenuhan kewajiban pengusaha terhadap pembayaran uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja untuk semua jenis pemutusan hubungan kerja.

Setidaknya ada tiga alasan pentingnya pesangon di UU Cipta Kerja dikaitkan dengan program pensiun sukarela yang telah ada, yaitu: Pertama, saat ini terdapat 231 lembaga penyelenggara program pensiun, baik Dana Pensiun Pemberi Kerja (DPPK) maupun Dana Pensiun Lembaga Keuangan (DPLK) yang mengelola aset lebih dari Rp 286 triliun dan melayani lebih dari 4,3 juta peserta.

Kedua, tanpa adanya pengaturan dan penegasan dalam Peraturan Pemerintah terkait pesangon maka pengusaha yang telah menyelenggarakan program pensiun berpotensi terbebani dengan pengeluaran ganda. Dikarenakan aset yang sudah terhimpun melalui program pensiun sukarela selama bertahun-tahun tidak dapat digunakan dan pengusaha masih harus membayar uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja.

Ketiga, apabila pesangon dalam UU Cipta Kerja tidak dikaitkan dengan program pensiun maka ada potensi pengusaha dihadapkan pada keadaan tidak dapat menggunakan dananya untuk kompensasi terhadap kewajiban pembayaran UP, UPMK, dan UPH.

Aturan pesangon untuk pekerja atau buruh sesungguhnya bukan hal yang baru. UU Cipta Kerja pun hanya merevisi UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan. Dalihnya, karena aturan dan besaran pesangon yang lama dianggap memberatkan pengusaha sehingga investor tidak mau investasi di Indonesia karena tingginya beban biaya perusahaan. Tentu, alasan yang dapat diterima walau tidak sepenuhnya benar.

Pendanaan pesangon

Harus dipahami, pesangon adalah kewajiban pengusaha yang telah mempekerjakan pekerja. Maka saat terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) atau pensiun, uang pesangon pekerja harus tersedia dan siap dibayarkan.

Terlepas dari besaran pesangon yang akan diatur dalam PP, pengusaha harus membayarkannya. Karena itu, kesadaran pengusaha untuk mulai mendanakan uang pesangon pekerja menjadi penting. Bila perlu, uang pesangon dapat didanakan secara terpisah dari sistem keuangan perusahaan, bukan hanya dibukukan.

Realitasnya, banyak pekerja tidak mendapatkan hak uang pesangon saat terjadi PHK. Uang pesangon pekerja tidak dibayarkan karena dananya tidak tersedia. Itulah titik krusial uang pesangon. Bukan di regulasi tapi di kepatuhan terhadap aturan.

Oleh karena itu, UU Cipta Kerja yang baru seharusnya pemerintah fokus pada upaya implementasi pendanaan dan pembayaran pesangon. Apakah setiap pengusaha atau perusahaan sudah benar-benar mendanakan uang pesangon? Karena bila tidak, pesangon akan tetap jadi momok bagi pekerja dan selalu jadi masalah yang tidak kunjung selesai.

Soal kepatuhan pengusaha dalam membayar pesangon pekerja yang di-PHK menjadi penting ditegakkan di UU Cipta Kerja. Data Kementerian Ketenagakerjaan pada 2019 menyebutkan hanya 27% pengusaha yang memenuhi pembayaran kompensasi sesuai dengan ketentuan UU 13/2003. Sisanya, 73% tidak melakukan pembayaran kompensasi PHK sesuai dengan UU Ketenagakerjaan.

Bahkan laporan World Bank yang mengutip data Survei Angkatan Kerja Nasional BPS 2018 menyatakan 66% pekerja sama sekali tidak mendapat pesangon sesuai aturan, 27% pekerja menerima pesangon kurang dari yang seharusnya diterima, dan 7% pekerja yang menerima pesangon sesuai dengan ketentuan.

Dengan kondisi tersebut, upaya yang harus dilakukan bukan hanya memperbaiki aturan atau regulasi. Namun sangat penting melakukan edukasi dan sosialisasi kepada pengusaha atau pemberi kerja untuk patuh dalam pembayaran pesangon pekerja sesuai ketentuan yang berlaku. UU Cipta Kerja seharusnya mampu menjadi solusi dari masalah pesangon sehingga memberikan kepastian pembayaran pesangon bagi pekerja di sektor apapun.

Sekali lagi, pesangon adalah kewajiban pengusaha. Cepat atau lambat, pesangon harus dibayarkan. Maka, UU Cipta Kerja memang pantas hadir untuk menata aturan ketenagakerjaan di bumi Indonesia menjadi lebih baik. Regulasi memang penting namun kepatuhan menjalankan aturan jauh lebih penting.

Dengan begitu, UU Cipta Kerja bakal mampu meningkatkan iklim usaha yang kondusif, menciptakan lapangan kerja baru, dan memacu pertumbuhan ekonomi nasional. Tanpa mengabaikan hak-hak pekerja yang semestinya.

Penulis : Syarifudin Yunus

Direktur Eksekutif Perkumpulan Dana Pensiun Lembaga Keuangan

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP)

[X]
×