kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45933,94   -29,79   -3.09%
  • EMAS1.321.000 0,46%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Platform mengubah lanskap bisnis


Jumat, 22 Desember 2017 / 16:33 WIB
Platform mengubah lanskap bisnis


| Editor: Tri Adi

Dalam dunia bisnis dan ekonomi, platform adalah tempat di mana terjadi interaksi langsung antara dua (atau lebih) aktor ekonomi yang saling memberi keuntungan satu sama lain melalui proses penciptaan nilai yang berkelanjutan (Gawer dan Cusumano, 2008). Interaksi tersebut difasilitasi oleh pemilik platform dengan memberikan sejumlah kontraprestasi tertentu yang disepakati oleh kedua belah pihak. Dalam konteks ini, platform sering disebut multi-sided platform, two-sided markets, atau two-sided networks (Rochet dan Tirole, 2001).

Bisnis berbasis platform berbeda dengan bisnis konvensional. Bisnis konvensional dapat dianalogikan seperti pipa yang mengalirkan air dari hulu ke hilir. Di hulu, produsen membuat produk dan jasa, menyalurkannya melalui jaringan distribusi, lalu menjualnya ke konsumen akhir di hilir. Sementara bisnis berbasis platform lebih seperti pasar atau panggung terbuka di mana semua partisipan saling berkumpul, berinteraksi, dan melakukan transaksi satu sama lain secara terbuka. Atas penyediaan fasilitas ini, pemilik platform dapat mengutip biaya atau ongkos sewa yang bisa dibebankan kepada pembeli, penjual, atau keduanya.

Model bisnis berbasis platform sesungguhnya bukanlah sesuatu yang baru. Jazirah Arab di masa lampau mempunyai pasar yang dikenal dengan bazaar. Bangsa Romawi Kuno mempunyai rumah lelang . Keduanya memiliki prinsip kerja yang serupa dengan platform masa kini. Bedanya, saat ini platform difasilitasi teknologi informasi terkini yang sangat tangguh. Akibatnya, platform di masa modern mampu menjangkau jejaring dalam ruang lingkup dan skala hampir tak terbatas.

Platform saat ini menjadi semakin relevan karena dengan lebih sedikit aset dan sumberdaya manusia yang dimiliki, bisnis berbasis platform dapat memiliki nilai yang jauh lebih tinggi daripada bisnis konvensional dalam waktu yang jauh lebih singkat. Sebagai contoh, Uber, yang berdiri 2009 lalu memiliki kapitalisasi US$ 62 miliar. Bandingkan dengan BMW yang berdiri lebih 100 tahun lalu dengan market capitalisation sebesar US$60 miliar. Bagaimana dengan Indonesia? Saat ini valuasi Go-Jek menyentuh US$ 3 miliar (sekitar Rp 40 triliun). Angka itu melampaui valuasi Garuda Indonesia yang hanya Rp 7,8 triliun dan Blue Bird Rp 8,7 triliun (Bloomberg, November 2017).

Oleh karena itu, tak berlebihan kiranya bila platform disebut sebagai pondasi dasar ekonomi digital. Apalagi, platform kini menjamah di berbagai banyak bidang kehidupan kita. Misalnya, e-commerce ada Bukalapak dan Tokopedia. Transportasi online ada Go-jek, Grab dan Uber. Di bidang pendanaan (peer-to-peer lending) ada Investree, Amartha, Modalku, Koinworks, Sementara untuk menggalang dana sosial (fundraising) ada KitaBisa. Di bidang pendidikan ada Ruang Guru. Contoh tersebut hanyalah segelintir dari sekian banyak platform yang tersedia di Indonesia.

Apabila kita amati lebih dalam menjamurnya bisnis berbasis platform, setidaknya dapat kita tarik sejumlah hal menarik. Pertama, ekosistem platform menjadi jauh lebih penting daripada produk dan akan menjadi semakin relevan di masa mendatang. Hal ini sangat kentara pada kasus Apple dan Microsoft di zaman 1980-1990an. Kendati Apple memiliki produk yang lebih unggul, Microsoft mendominasi pasar karena memiliki jejaring vendor dan mitra lebih kuat. Kali ini situasi berbalik di mana Apple menjadi pemilik platform yang unggul melalui Apple iTunes dan Apple Store.

Sementara itu, dari sisi konsumen, kepemilikan menjadi tidak lagi penting bila dibandingkan dengan akses. Misalnya, konsumen saat ini lebih memilih mempunyai akses transportasi kapan saja mereka mau tanpa harus memiliki kendaraan. Analoginya serupa dengan toko serba ada yang buka 24 jam cenderung akan lebih laris. Hal tersebut bukan dikarenakan banyaknya konsumen yang akan berbelanja pada pukul 1 hingga 5 pagi, melainkan karena konsumen yakin bahwa pilihan itu ada dan tersedia kapan pun mereka mau.

Strategi pro-pasar

Kedua, ketika berbicara tentang platform, kita tidak dapat mengabaikan arti penting dari efek jejaring. Efek jejaring menunjukkan bahwa suatu platform akan semakin tinggi nilai dan manfaatnya sejalan dengan semakin banyak konsumen yang menggunakannya. Go-Jek atau Airbnb menjulang valuasinya karena semakin banyak pengguna yang berpartisipasi dan memanfaatkan keberadaan platform tersebut. Tak heran bila platform yang ada saat ini terus berlomba berinovasi dan promosi demi menggaet lebih banyak pengguna lagi ke dalamnya.

Menariknya, efek jejaring tersebut sulit untuk ditingkatkan (scale up) di dalam internal organisasi. Pemilik platform harus melakukan scale up ke luar perusahaan untuk mencapai skala ekonomi yang menguntungkan. Implikasinya, tak cukup bagi pemilik platform untuk membangun produk dan jasa yang unggul. Lebih penting lagi adalah bagaimana membuat ekosistem yang luas dan menjaring kerjasama tak terbatas demi mendorong terciptanya network effect yang lebih besar. Tak heran bila dalam bidang tersebut biasanya hanya akan didominasi satu atau segelintir pemain besar. Selebihnya, mereka akan kandas di persaingan atau dicaplok platform yang lebih besar.

Ketiga, bisnis berbasis platform otomatis akan mengubah cara kita menjalankan bisnis (Van Alstyne et al., 2016). Misalnya, kegiatan pemasaran kini didorong untuk lebih fokus dalam komunikasi internal namun mampu menciptakan efek viral. Dalam sumberdaya manusia, penekanan peran dan tanggung jawab berubah dari karyawan tetap menjadi kontraktor. Pengetahuan tak lagi mengandalkan tim ahli internal melainkan kerumunan massa dan komunitas. Inovasi (R&D) didorong untuk lebih terbuka dan kolaboratif.

Manajemen operasi dan logistik juga dituntut untuk mendorong external servicing. Pada bidang keuangan, valuasi tak melulu menekankan pada neraca aset, tetapi juga menghitung dampak dari efek jejaring. Dari aspek strategi, perusahaan dituntut untuk menciptakan strategi pro-pasar yang lebih bernilai, bukan lagi kendali internal, diferensiasi, atau entry barrier. Maka, kata kunci yang muncul akan mengerucut pada terminologi seperti personalisasi (customised product and service), nilai pelanggan,  keterbukaan dan kolaborasi strategis.

Di masa mendatang, bukan tidak mungkin kita akan melihat semakin banyak bidang yang bergeser menjadi platform. Selain dalam bidang bisnis, kendaraan, industri keuangan, bangunan dan arsitektur, energi (smart grid), tata kota, pemerintahan, pendidikan, hingga jasa kesehatan akan berubah menjadi platform. Mereka yang mendominasi bukan yang memiliki modal besar, tapi mereka yang mampu memberi nilai bagi pelanggan, memungkinkan adanya kustomisasi personal, terbuka terhadap inovasi, serta kolaborasi dan kerjasama strategis.

Pertanyaannya kemudian adalah, apakah kita sudah siap menghadapi pergeseran tersebut? If we can adapt, changes becomes opportunities. If we can’t, changes become threats.                           

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Negosiasi & Mediasi Penagihan yang Efektif Guna Menangani Kredit / Piutang Macet Using Psychology-Based Sales Tactic to Increase Omzet

[X]
×