kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.249.000 2,21%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Polemik Kenaikan Tarif Royalti Batubara


Senin, 18 Januari 2021 / 14:32 WIB
Polemik Kenaikan Tarif Royalti Batubara
ILUSTRASI.


Sumber: Harian KONTAN | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti

KONTAN.CO.ID - Kontribusi ke negara bagi perusahaan pertambangan batubara baik itu pemegang Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B), Izin Usaha Pertambangan (IUP) berupa pajak dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Khusus PNBP, kontribusi terbesar adalah melalui pembayaran iuran produksi (royalti), yang hingga saat ini tarifnya berbeda bagi pemegang PKP2B dan IUP.

Tarif royalti pemegang PKP2B atau generasi 1, 2, dan 3 sebesar 13.5%. Sedangkan bagi pemegang IUP tarifnya bervariasi, 3%, 5%, dan 7% tergantung dari kualitas dari kalori batubara . Maka terdapat disparitas pengenaan tarif royalti antara IUP dan PKP2B.

Dalam mengatur penerimaan negara dari sektor pertambangan, pemerintah mendorong optimalisasi porsi penerimaan negara. Salah satu pokok pikiran dari Undang-undang Nomor 4/2009 tentang Mineral dan Batubara yang telah diubah oleh Undang-undang Nomor 3/2020 adalah usaha pertambangan harus memberi manfaat ekonomi dan sosial yang sebesar-besar bagi kesejahteraan rakyat Indonesia.

Prinsip tersebut termuat dalam Pasal 169 C UU No 4/2009. Aturan ini mendorong peningkatan penerimaan negara, khususnya kontribusi dari pemegang PKP2B yang ketentuan dalam kontraknya wajib disesuaikan dengan UU Nomor 4/2009.

Nah, dalam rancangan peraturan pemerintah (RPP) yang sedang disusun, akan diatur tarif royalti atau Dana Hasil Pertambangan Batubara (DHPB) untuk pemegang IUP Khusus Operasi Produksi (IUPK OP) eks-PKP2B. Menurut pemberitaan di media, tarif royalti bagi pemegang IUPK OP diusulkan sebesar 24% bagi batubara yang diekspor. Sedangkan batubara yang dijual ke domestik tarif royaltinya 14% dan terkena PPN sebesar 10%. Kabarnya rencana pemerintah menaikkan tarif royalti yang sangat tinggi itu untuk mengkompensasi dampak penetapan batubara sebagai barang kena pajak (BKP) di dalam UU Cipta Kerja.

Pada dasarnya, royalti atau DHPB adalah beban yang ditanggung perusahaan batubara yang diproduksi, bukan beban pembeli. Beban PPN sebesar 10% terhadap penjualan batubara domestik baru beralih menjadi beban pembeli yang dipungut oleh penjual atau produsen batubara. Karena itu pemerintah perlu mempertimbangkan secara matang jika memutuskan untuk memisahkan pengenaan tarif royalti antara penjualan domestik dan ekspor.

Hingga saat ini pasar domestik batubara, termasuk untuk keperluan hilirisasi masih jauh lebih kecil ketimbang ekspor. Sehingga untuk kepentingan penerimaan negara dan devisa, ekspor bisa terus dimaksimalkan tanpa mengorbankan semangat pengembangan hilirisasi batubara.

Pemegang IUPK OP perpanjangan PKP2B adalah perusahaan pertambangan yang beroperasi sejak lebih dari 20 tahun dan bahkan ada yang hampir 30 tahun. Karakteristik tambang dalam kondisi demikian adalah: Pertama, lokasi sebaran cadangan batubara mulai terbatas, sehingga makin sulit memilih lokasi penambangan yang ekonomis.

Kedua, letak cadangan batubara yang lebih dalam dan lebih jauh, sehingga biaya semakin besar untuk mengambil batubara. Ketiga letak lokasi pembuangan lapisan tanah penutup juga semakin jauh, sehingga perlu biaya yang makin besar untuk menyingkap lapisan batubara.

Secara alamiah, biaya produksi yang harus dikeluarkan pada kondisi tambang yang sudah menurun akan terus naik dari waktu ke waktu. Padahal, di sisi harga jual batubara, tidak berhubungan dengan biaya produksi, namun mengikuti pergerakan indeks harga global dan indeks harga yang ditetapkan pemerintah. Dengan kata lain, risiko berusaha yang ditanggung oleh pemegang IUPK OP PKP2B amat tinggi.

Maka, tingginya tarif royalti berarti mengakibatkan tingginya biaya produksi, sehingga cadangan batubara yang masih berada di lapisan bawah menjadi tidak ekonomis lagi. Dampak lain dari tingginya tarif royalti akan menyebabkan cadangan batubara ekonomis akan menurun.

Hal ini berdampak serius. Sebab jika cadangan ekonomis menurun maka umur tambang juga bisa lebih pendek. Efeknya, pasokan batubara untuk keperluan pembangkit listrik dalam negeri di masa datang juga bisa terancam keberlanjutannya. Proyek hilirisasi batubara yang investasinya mahal dan jangka panjang juga dikhawatirkan bisa terganggu oleh potensi kurangnya pasokan.

Tarif royalti progresif

Dalam menetapkan besaran tarif royalti untuk ekspor, perlu dipertimbangkan peningkatan penerimaan negara yang masih memungkinkan perusahan batubara untuk tetap bertahan (survive) di saat harga komoditas sedang anjlok. Jika tarif royalti untuk ekspor ditetapkan terlalu tinggi sedangkan pasar domestik tidak mampu menyerap maka perusahaan batubara akan kesulitan menutup biaya produksi dan royalti, sehingga cenderung untuk menurunkan atau menghentikan produksi. Kondisi tersebut juga rentan memicu permasalahan sosial di masyarakat di tengah upaya pemerintah berjuang mengatasi dampak dari pandemi Covid-19.

Pada dasarnya, pelaku usaha anggota APBI-ICMA mendukung upaya pemerintah dalam optimalisasi penerimaan negara khususnya dari pembayaran royalti bagi pemegang IUPK OP. Namun tentu akan lebih bijaksana kalau pemerintah dalam membuat kebijakan fiskal termasuk royalti ekspor ini melihat secara holistik dan komprehensif, bukan hanya penerimaan pajak atau PNBP semata.

Termasuk pertimbangan kontribusi lain seperti devisa ekspor, lapangan kerja, pengembangan wilayah di daerah dan ketahanan pasokan batubara di masa datang, dan juga melihatnya secara jangka panjang agar usaha tambang batubara bisa dapat survive dan terus berkontribusi bagi pembangunan secara berkelanjutan.

Untuk itu, perlu dipertimbangkan pengenaan tarif royalti batubara secara berjenjang atau progresif. Dalam sistem ini, tarif royalti diterapkan lebih tinggi baik untuk ekspor maupun domestik jika indeks Harga Batubara Acuan (HBA) mencapai level harga tertentu.

Usulan penerapan tarif royalti progresif tersebut mempertimbangkan faktor volatilitas harga komoditas yang mengikuti permintaan dan harga pasar dunia sehingga fleksibilitas kebijakan sangat diperlukan dalam penentuan DHPB. Adapun penetapan tarif tersebut bisa dibahas secara detail oleh pemerintah dengan pelaku usaha agar dapat dicapai suatu kebijakan yang dapat dilaksanakan oleh pelaku usaha dengan tetap mengedepankan semangat merealisasikan peningkatan penerimaan negara.

Yang pasti, pengenaan tarif royalti secara bijak akan membantu perbaikan iklim investasi yang sangat diharapkan saat ini. Keberlangsungan industri pertambangan batubara juga sangat penting dalam mendukung perekonomian dan ketahanan energi nasional. Pada saat kita mengalami resesi ekonomi tahun 2020 serta tatkala terjadi krisis keuangan global melanda tahun 2008, terbukti peran yang tidak kecil dari industri pertambangan batubara dalam menopang perekonomian nasional maupun ekonomi daerah.

Penulis : Hendra  Sinadia

Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia  (APBI-ICMA)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×