| Editor: Tri Adi
Listrik dalam kehidupan modern menjadi kebutuhan pokok manusia dan industri. Kebijakan layanan kelistrikan hingga kini adalah monopoli PLN sebagai kepanjangan tangan pemerintah. Sedangkan sektor swasta hanya sedikit berperan di level mikro.
Ironisnya sengkarut permasalahan klasik kelistrikan tidak pernah berkurang hingga saat ini. Masih banyak daerah yang belum teraliri listrik. Ini masih belum ditambah persoalan masih seringnya terjadi pemadaman alias mati lampu bahkan di daerah lumbung energi.
Hari-hari ini polemik kembali mencuat terkait wacana baru pemerintah yang akan menyederhanakan golongan listrik. Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) mengusulkan adanya penyederhanaan daya listrik dengan meniadakan golongan 1.300 Volt Ampere (VA), 2.200 VA, 3.500 VA, dan 4.400 VA untuk ditingkatkan menjadi 5.500 VA.
Nah, sebelum mengambil langkah tersebut, ada baiknya pemerintah penting menerapkan prinsip kehati-hatian sebelum merealisasikan wacana tersebut.
Penyederhanaan golongan listrik dijamin Kementerian ESDM dengan tanpa adanya kenaikan biaya. Biaya pergantian daya sepenuhnya akan ditanggung PLN. Hanya saja payung hukum wacana penyederhanaan masih belum pasti hingga kini.
Hitungan harga per kilowatt hour (kWh) akan mengacu pada perhitungan sebelumnya, yakni harga per kWh 1.300 VA senilai Rp 1.467 untuk golongan 5.500 VA. Publik tetap mencium gelagat strategi pemerintah yang akan menaikkan bertahap di kemudian hari, sehingga tidak terlalu dirasakan.
Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar (2017) menyatakan bahwa penyederhanaan golongan pelanggan listrik ini dilakukan sebagai upaya pemanfaatan listrik. Harapannya supaya pemanfaatan daya yang sudah ada lebih signifikan dalam hal pemakaiannya.
Proyeksi kebutuhan listrik pada tahun 2019 mencapai 59.863 MW. Di sisi lain, pemerintah mencanangkan proyek 35.000 MW. Jika proyek tersebut terealisasi, maka akan terpasang 88.585 MW. Kondisi nantinya akan ada sekitar 40% kapasitas listrik yang bakal menganggur.
Data PLN (2017) menyebutkan bahwa saat ini pelanggan listrik terbagi 34 golongan. Antara lain terdiri dari rumah tangga ada tujuh golongan, bisnis tujuh golongan, golongan sosial sebanyak tujuh golongan, golongan industri tujuh golongan, dan publik ada enam golongan.
Jumlah total pelanggan listrik sampai Agustus 2017 mencapai 66 juta pelanggan. Angka ini meningkat dari 50 juta pada tahun 2012. Beban usaha PLN naik sebesar Rp 8,2 triliun atau 3,32% menjadi Rp 254,4 triliun pada 2016 dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya sebesar Rp 246,3 triliun. Adapun laba bersih yang dibukukan sebesar Rp 10,5 triliun.
Subagyo (2013) menyebutkan paling tidak terdapat tiga permasalahan pokok pada kelistrikan Indonesia. Permasalahan tersebut antara lain biaya pokok produksi (BPP) dan tarif dasar listrik (TDL), serta permasalahan ketenagalistrikan. BPP harus mengikuti harga pasar (market price). TDL menjadi kewenangan serta keputusan presiden. Implikasinya adalah negara mesti merogoh sumber dana dari APBN untuk memberikan subsidi listrik.
Kementerian ESDM penting melakukan kajian mendalam sebagai dasar penerapan kebijakan penyederhanaan tarif tersebut. Keberpihakan terhadap masyarakat menengah ke bawah mesti diprioritaskan. Apresiasi layak diberikan terkait adanya rencana survei guna mendapatkan tanggapan masyarakat. Kuncinya adalah sampling masyarakat mesti dijamin melalui kaidah ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan nantinya. Diskusi ahli dan semua pihak juga penting dilaksanakan guna mendapatkan masukan kualitatif.
Layanan prima
Senyampang dengan persiapan penerapan, prioritas yang harus dilakukan adalah perbaikan layanan. Lepas jadi atau tidaknya kebijakan penyederhanaan, layanan yang baik menjadi hak masyarakat selaku konsumen. PLN mesti menjamin semua wilayah sudah teraliri listrik dengan kualitas yang baik dengan minimalisasi terjadinya pemadaman.
Ahmudi (2017) mengungkapkan pentingnya antisipasi dampak negatif jika kebijakan penyederhanaan diterapkan. Salah satunya adalah soal memacu tingkat konsumsi masyarakat hingga berdampak pada PLN sendiri.
Seiring makin konsumtifnya masyarakat dan meningkatkan permintaan listrik, maka PLN mesti siap menyediakan pasokan listrik besar. PLN mesti menjamin adanya keseimbangan supply dan demand.
Kampanye hemat energi juga penting tetap digalakkan. Prinsip ekoefisiensi pemakaian listrik akan berdampak positif bagi ekonomi, lingkungan, dan layanan kelistrikan itu sendiri. Asumsi awal bahwa penyederhanaan golongan listrik akan berdampak positif umumnya untuk rumah tangga yang memiliki usaha dan sektor industri. Dengan demikian rumah tangga murni mesti tetap terjamin tidak terbebani di kemudian hari.
Pemerintah juga penting meninjau kembali proyek 35.000 MW. Proyek ini menggunakan asumsi pertumbuhan ekonomi 7,1%. Faktanya adalah pertumbuhan tersebut belum terpenuhi. Alhasil laju konsumsi listrik belum mencapai proyeksi yang diinginkan.
Maka, komunikasi dan layanan prima menjadi kunci menutupi banyaknya kelemahan secara teknis. Jalinan komunikasi harus sudah semakin intim hingga ruang privat masyarakat. Segala bentuk media mesti dioptimalkan. PLN mesti menonjolkan diri sebagai korporasi yang cepat tanggap dan tepat memberi solusi. Misalnya jika akan mengadakan pemadaman bergilir, maka PLN bisa langsung memberi informasi kepada setiap masyarakat di wilayah tersebut. PLN juga mesti memiliki database konsumen yang baik seperti nomor HP, BBM, WhatsApp, email dan lainnya.
PLN juga mesti ikut mendorong, mendukung dan ikut menyisihkan anggarannya guna pengembangan energi alternatif untuk listrik. Energi ramah lingkungan mesti banyak diciptakan terutama di wilayah potensial dan yang sudah terjangkau instalasi listrik PLN. Sumber energi tersebut misalnya mikrohidro, angin, gelombang, bioetanol, panas matahari, panas bumi dan lainnya.
Wacana penyederhanaan ini semoga bukan menjadi strategi test to the water. Sebab taruhannya adalah kredibilitas pemerintah dan PLN. Sedangkan permasalahan klasik saja masih belum terurusi dengan baik.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News