Reporter: Harian Kontan | Editor: Tri Adi
Beberapa hari belakangan ini ramai pro dan kontra terkait revisi Undang-Undang (UU) Nomor 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK). KPK bersama para pegiat anti korupsi memandang bahwa revisi UU KPK adalah bentuk pelemahan pada komisi antirasuah tersebut. Apalagi substansi pada revisi UU KPK yang rencananya akan segera disahkan tersebut dipandang membuat KPK tidak independen lagi. Kini banyak pihak menyerukan tanda pagar (tagar) save KPK di media sosial, bahkan dalam unjuk rasa save KPK kembali digaungkan.
Sebenarnya jika dilihat secara jernih, gerakan save KPK ini bukan yang pertama. Gerakan save KPK sudah dimulai sejak peristiwa 'cicak-buaya'. Gerakan save KPK sebenarnya merupakan bentuk reaksi masyarakat atas upaya yang dianggap melemahkan KPK.
Pasalnya, dalam pandangan masyarakat luas, melemahkan KPK artinya sama saja dengan melemahkan pemberantasan korupsi. Gerakan save KPK sebenarnya dapat dipandang sebagai bentuk kemarahan masyarakat atas upaya melemahkan KPK dan masih kritisnya persoalan korupsi di Indonesia.
Jika pertanyaannya adalah mengapa save KPK maka jawabannya adalah karena setidaknya hingga saat ini indeks kepercayaan masyarakat terhadap KPK masih terbilang tinggi. Hal ini justru berbanding terbalik dengan indeks kepercayaan masyarakat terhadap penegak hukum lain.
Alhasil, KPK dipandang sebagai satu-satunya media masyarakat memerangi korupsi. Hal ini sejalan dengan sejarah terbentuknya KPK, yakni kala itu (tahun 2002) penegak hukum lain dipandang tidak dapat menghadirkan penegakan hukum yang optimal dan justru terlibat dalam perbuatan koruptif.
Kini, revisi UU KPK dipandang sebagai bentuk melemahkan dan menghilangkan independensi KPK sehingga banyak masyarakat menolak revisi UU KPK tersebut. Sebenarnya, kini tagar atau gerakan yang seharusnya digaungkan adalah save revisi UU KPK.
Memang harus diakui bahwa dalam praktiknya KPK masih perlu diperkuat, sehingga revisi UU KPK seharusnya menjadi momentum penguatan KPK. Namun, faktanya revisi UU KPK justru berpotensi melemahkan KPK dan pemberantasan korupsi di tanah air. Maka, tak heran bila masyarakat menolak revisi UU KPK ini.
Sebelum sampai pada pemikiran save KPK, maka sebelumnya harus didahului pemikiran 'save revisi UU KPK'. Artinya ini merujuk pada perlunya merevisi UU KPK dengan substansi yang memberi penguatan pada KPK.
Dalam hal ini masyarakat harus melihat dengan jernih bahwa sebenarnya revisi UU KPK diperlukan, hanya saja saat ini persoalannya adalah substansi dalam revisi UU KPK berpotensi melemahkan KPK dalam pemberantasan korupsi, termasuk dengan mencabut independensi.
Sebagaimana diuraikan oleh Simon Hoo (1996), salah satu pendiri ICAC (badan anti korupsi di Hong Kong) bahwa independensi merupakan hal yang mutlak dimiliki badan anti korupsi untuk bekerja secara maksimal.
Pemahaman lain dari 'save revisi UU KPK' adalah seluruh elemen masyarakat harus bersatu untuk menghindarkan revisi UU KPK yang berisi substansi yang keliru, sehingga yang perlu ditolak adalah substansi yang salah, bukan proses revisi UU KPK tersebut. Jadi, pemahaman yang benar adalah save KPK dari revisi UU KPK yang keliru, masyarakat dan seluruh elemen harus memahami rangkaian tersebut secara utuh.
Memang secara substansi, revisi UU KPK yang hendak disahkan lebih condong pada melemahkan ketimbang penguatan KPK. Hal ini terlihat dari substansinya yang memberi pembatasan dan pengurangan kewenangan KPK, serta mencabut independensi KPK. Pengurangan kewenangan tampak dalam poin terkait KPK tidak berwenang lagi mengelola laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN) serta KPK tidak dapat mengangkat penyelidik dan penyidik internal.
Sementara, pembatasan pada kewenangan KPK tampak dengan diusulkannya organisasi dewan pengawas yang salah satu kewenangannya memberi izin penyadapan. Terkait independensi dengan KPK disebut sebagai eksekutif dalam revisi UU KPK tersebut, maka independensi KPK menjadi hilang.
Lotulung (1991), menjelaskan pemaknaan independen pada organisasi negara adalah bukan bagian dari eksekutif, legislatif dan yudikatif. Dalam hal ini sulit diterima akal sehat bila substansi revisi UU KPK yang ada saat ini dikatakan memberi penguatan terhadap KPK.
Perppu dan uji materi
Kini masyarakat berharap dukungan dari Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk menolak revisi rancangan revisi UU tersebut, meskipun sebenarnya hal tersebut dapat dikatakan sia-sia. Mengacu pada Pasal 20 ayat (5) UUD 1945 bahwa sekalipun RUU tidak disetujui oleh presiden, maka dalam jangka waktu 30 hari sejak diajukan kepada presiden RUU tersebut otomatis berlaku sebagai UU, sehingga pada tahap ini dukungan presiden secara teknis tidak dapat mengubah keadaan.
Seandainya revisi UU KPK dengan substansi yang melemahkan tersebut diundangkan, maka pada tahap ini dukungan presiden dapat dituangkan melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu). Pasalnya, perppu dapat mencabut UU dan dikeluarkan atas dasar hak subjektif presiden melihat kegentingan yang memaksa. Konsekuensinya jika presiden menerbitkan perppu untuk mencabut revisi UU KPK tersebut, maka presiden harus berhadapan dengan DPR.
Tampaknya presiden tidak akan menerbitkan perppu nantinya untuk mencabut revisi UU KPK mengingat beleid tersebut disetujui semua fraksi di DPR, termasuk koalisi pendukung pemerintah, sehingga sepertinya presiden tidak akan mengambil pilihan tersebut dengan kalkulasi biaya dan risiko politik yang besar ke depan. Alternatif yang paling mungkin dilakukan bila revisi UU KPK dengan substansi saat ini disahkan, maka harus dilakukan uji materiil (judicial review) ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Uji materiil ke MK menjadi satu-satunya alternatif yang dimungkinkan sebagai bentuk upaya hukum atas keberatan jika revisi UU KPK tersebut disahkan dan tidak direvisi oleh presiden lewat perppu Artinya, kini 'save revisi UU KPK' baru memasuki babak awal, yang tampaknya dengan persetujuan seluruh fraksi di DPR secara bulat maka pengesahan revisi UU KPK tersebut hanya tinggal persoalan waktu saja.
Saat ini UU Nomor 12 tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan tengah proses revisi. Bila sebelumnya tidak mengenal Program Legislasi Nasional (prolegnas) lanjutan, maka nantinya akan dikenal prolegnas lanjutan sehingga revisi UU KPK ini bisa dilanjutkan ke masa kerja DPR berikutnya.
Publik akan berharap dan menanti sikap Presiden Jokowi untuk berani menganulir revisi UU KPK ini dengan segala konsekuensinya. Pasalnya, antikorupsi termasuk dalam program Nawacita di bidang hukum. Bila tidak, langkah uji materiil ke MK akan jadi muara akhir gerakan save KPK.♦
Rio Christiawan
Dosen Hukum Universitas Prasetiya Mulya
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News