Reporter: Syamsul Ashar | Editor: Tri Adi
Sekitar dua minggu lagi, kita akan memasuki tahun 2019, atau tahun politik. Karena tahun depan ada hajatan besar Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, juga pemilihan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah, DPR tingkat Kabupaten Provinsi dan Kabupaten.
Hiruk-pikuk hajatan politik membuat banyak pihak memprediksi kegiatan ekonomi akan terbengkalai. Pelaku bisnis menyatakan menunda kegiatan bisnis, terutama dalam rangka pengembangan usaha maupun ekspansi usaha. Kondisi ini membuat perkiraan tingkat konsumsi masyarakat hanya tumbuh tipis di kisaran 5,1%.
Wajar jika di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2019 membuat proyeksi pertumbuhan lapangan usaha khususnya industri pengolahan tahun depan hanya di kisaran 5,1% atau di bawah proyeksi pertumbuhan ekonomi 2019 yang sebesar 5,3%. Begitu juga bisnis real estate diprediksi cuma tumbuh di kisaran 4,3%, pertanian dan perikanan cuma 3,8%. Sementara perdagangan besar dan eceran; reparasi mobil dan sepeda motor cuma tumbuh 5,3%.
Ini artinya, hanya peran pemerintah yang bisa jadi tumpuan untuk menggerakkan pertumbuhan ekonomi. Perkiraan pemerintah peran belanja pemerintah bisa mendorong pertumbuhan hingga 5,4%.
Kita tahu, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2019 memiliki kapasitas yang terbatas untuk memutar roda ekonomi lebih kuat lagi. Pemerintah dan DPR sepakat merancang penerimaan negara 2019 sebesar Rp 2.165,1 triliun dan belanja negara mencapai Rp 2.461,1 triliun. Belanja negara terdiri dari belanja pemerintah pusat melalui kementerian dan lembaga pemerintah sebesar Rp 855,4 triliun dan non-kementerian dan lembaga Rp 778,9 triliun, serta transfer dana ke daerah dan desa Rp 826,8 triliun.
Namun, yang perlu kita cermati, tahun depan arah kebijakan anggaran yang diputuskan oleh pemerintah dan DPR tidak semata untuk mempercepat berputarnya roda pertumbuhan ekonomi. Politik anggaran lebih fokus untuk kegiatan sosial, meskipun bentuknya tidak bagi-bagi duit seperti masa lalu. Alokasi anggarannya mencapai Rp 200,8 triliun melonjak 24,30% dibandingkan outlook di APBN 2018 yakni sebesar Rp 161,54 triliun.
Porsi penggunaan belanja untuk bantuan sosial ini mencapai 12,3% dari tatal belanja. Atau nomor tiga setelah penggunaan anggaran untuk layanan umum dan fungsi pendorong pertumbuhan ekonomi.
Pada alokasi belanja bantuan sosial tercatat naik 27,17% dibanding tahun ini sebesar Rp 80,25 triliun, menjadi Rp 102,06 triliun. Bantuan sosial di antaranya berupa Program Keluarga Harapan (PKH) yang anggarannya meningkat dua kali lipat di APBN 2019 menjadi Rp 38 triliun dari tahun ini sebesar Rp 19 triliun. Belanja pegawai juga naik cukup besar, di kisaran 11,4%, dari tahun ini Rp 342,48 triliun, menjadi Rp 381,56 triliun.
Tahun depan guyuran dana ke daerah makin deras. Misalnya dana perimbangan, kalau tahun ini proyeksi realisasi sebesar Rp 706,6 triliun, maka alokasi anggaran 2019 jadi Rp 756,7 triliun.
Ada juga alokasi dana intensif daerah yang tahun ini alokasinya Rp 8,5 triliun naik menjadi
Rp 10 triliun pada 2019. Dana Desa dari Rp 60 triliun melonjak menjadi Rp 70 triliun. Sementara dana kelurahan disepakati Rp 3 triliun, yang diambil dari tambahan Dana Alokasi Umum.
Tampaknya pemerintah maupun partai pendukung mulai realistis, agar bisa mendapat dukungan masyarakat dalam pemilihan umum tahun depan, mau tidak mau harus membuat kebijakan populis. Kebijakan populis ini dilakukan dengan mengalokasikan anggaran untuk program-progam populis, apakah berbalut meningkatkan kemampuan sumber daya manusia, atau nama lain. •
Syamsul Ashar
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News