Reporter: Tri Adi | Editor: Tri Adi
Pemilihan kepala daerah telah rampung, tapi meninggalkan banyak catatan. Salah satunya berasal dari timeline yang dipasang untuk maraton pemilu kita kali ini. Sejak pemilihan umum untuk memilih anggota DPR dan DPRD serta Presiden pada 2014 silam, praktis tidak pernah ada masa tenang yang dinikmati bangsa kita untuk dapat bekerja, apalagi bekerjasama. Sehabis pemilihan umum 2014, pemilihan kepala daerah terus menerus tanpa henti.
Dimulai pada tahun 2015, kita mengalami pemilihan kepala daerah serentak yang pada masa itu saja terdapat sembilan pemilihan kepala daerah tingkat I dan 260 pemilihan kepala daerah tingkat II. Pada tahun 2017, jumlah ini berubah menjadi tujuh pemilihan kepala daerah tingkat I, dan 94 pemilihan kepala daerah tingkat II. Pada tahun 2018 ini, jumlah daerah yang melakukan pemilihan kepala daerah tingkat I meningkat menjadi 17 provinsi, dan pemilihan kepala daerah tingkat II ada di 154 kabupaten dan kotamadya.
Jumlah pemilihan kepala daerah yang masif setiap tahun ini tentu saja mengakibatkan gesekan politis menjadi tidak terhindarkan. Hal ini ditunjukkan dengan fenomena yang terjadi pada pemilihan kepala daerah serentak pada tahun 2017 dengan Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai crme de la crme, puncak dari segala kekisruhan politik. Saat itu, identitas menjadi alat politik ditunjukkan secara vulgar. Bahkan pada tahun 2018, penggunaan politik identitas serta politik uang semakin menemukan bentuknya.
Seluruh kekisruhan politik ini tentu hanyalah prelude dari pemilihan umum yang lebih besar di tahun 2019 mendatang, pemilihan presiden. Apalagi, banyak yang menyokong incumbent, tapi tidak sedikit pula yang menginginkan perubahan. Bahkan, bagi yang menginginkan perubahan sudah menunjukkan aksinya baik di media sosial maupun sampai aksi turun ke jalan.
Bahkan baru-baru ini, di depan sebuah gerai martabak yang dimiliki oleh anak sang incumbent, aksi demonstrasi terjadi. Seolah, kita sudah tidak bisa lagi membedakan mana yang pantas untuk dipolitisasi dan mana yang tidak. Aksi di depan gerai martabak itu menunjukkan betapa langka dan mahalnya sebuah politik yang bermartabat.
Tapi tanpa disadari, tahun 2019 sesungguhnya bukanlah akhir dari semua kekisruhan yang kita alami saat ini, namun hanyalah periode awal dari tahun-tahun panjang menuju sebuah masa yang tidak menentu. Kalaupun pemilihan presiden tahun 2019 usai, tidak ada jaminan bahwa tensi politik akan turun mengingat siklus serupa masih akan terjadi hingga pemilihan yang benar-benar serentak terjadi pada tahun 2027 nanti.
Artinya, masa-masa tenang dari kontestasi politik baru bisa dinikmati bangsa ini pasca 2027 dimana pilkada terjadi benar-benar secara serentak. Maka, menanti tahun 2017 itu, kita perlu tahan menghadapi transisi yang pastinya akan penuh gejolak ini. Kontestasi sebenarnya adalah di tahun 2027 kelak dan bangsa yang sudah lelah dan skeptis menjalani 12 tahun ketidakpastian, akan lengah dan rentan abai untuk memilih yang terbaik kelak.
Dalam 12 tahun ini, akan banyak terjadi perubahan besar dan para politisi veteran akan bertumbangan, baik karena ajal menjelang atau karena gagal melihat aspirasi masyarakat. Dalam 12 tahun ini pula, akan muncul politisi baru, yang entah lebih baik, sama bobroknya, atau bahkan lebih bobrok daripada para pendahulu mereka. Generasi yang satu datang dan generasi yang lain pergi. Namun, apakah bangsa kita akan tetap menjaring angin?
Butuh kepastian hukum
Dalam masa-masa ini, maka bukan hukum baru yang dibutuhkan oleh bangsa kita. Bukan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, bukan pula Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, atau hukum-hukum baru yang terkesan canggih dan penuh dengan terminologi asing dan jelimet. Di masa yang penuh turbulensi seperti sekarang, justru kita membutuhkan kepastian hukum.
Politisi berganti, partai berganti, selera pasar berganti, namun hukum yang kerap berganti-ganti membuat pergantian sebelumnya itu menjadi tidak tertahankan. Apalagi, kita sebenarnya lebih membutuhkan melihat, mengalami, dan merasakan betapa hukum itu hadir dan benar-benar melindungi kita. Maka, relevanlah apa yang dikemukakan oleh B.M. Taverne, di tangan penegak hukum yang baik, hukum yang buruk akan dapat memberikan keadilan. Bukan masalah seberapa sempurna hukum yang ada namun seberapa konsisten penegakannya sehingga keadilan itu tercipta.
Kepastian dalam penerapan hukum tergolong sebagai fungsi tidak langsung dari hukum yang dilihat secara subjektif sebagai adanya rasa feeling of legal security dan secara objektif sebagai predictability of decision (Jerzy Wroblewsky, 1973). Adanya aturan baru justru bisa menggerus kedua hal ini.
Dan, tanpa adanya stabilitas dalam hukum, masyarakat akan kesulitan mengatur dengan efektif kegiatannya (Eskridge & Frickey, 1994). Dalam masa transisi, hal tersebut justru akan membawa chaos yang lebih besar.
Apalagi, stabilitas, kepastian hukum dan hukum yang jelas serta bisa diprediksikan merupakan bagian dari fundamental dari apa yang dimaksud dengan rule of law (Schwarzschild, 2007). Hukum yang kerap berubah-ubah, apalagi di masa yang tidak menentu seperti sekarang akan membuat masyarakat kehilangan pegangan. Bagaikan kapal yang diombang-ambing tanpa sauh yang kuat.
Maka, ada baiknya di masa-masa ini, presiden dan anggota DPR lebih fokus pada kepastian hukum daripada membuat regulasi baru yang justru menambah ketidakpastian di masa-masa transisi ini. Khususnya bagi DPR, masa-masa transisi ini justru membutuhkan perhatian lebih pada fungsi anggaran dan pengawasan ketimbang legislasi.
Kita membutuhkan politik yang bernas untuk dapat hidup sebagai bangsa yang besar. Maka, jika kita bisa bertahan melalui 12 tahun transisi panjang ini, akan selalu ada harapan bahwa tahun-tahun mendatang adalah tahun yang baik. Namun, agar tidak putus asa dan tidak hilang pengharapan, semua kekuatan dan fokus bangsa ini harus dijaga bersama mulai saat ini.
Hanya politik yang bermartabat yang dapat menghasilkan penegakan hukum yang optimal. Tanpa keberpihakan politik dalam penegakan hukum, maka semua hukum yang baik tidak akan ada artinya. Intinya ada pada kemampuan elite bangsa ini untuk tidak terlalu menganggap remeh atas penderitaan besar bangsa kita di masa depan hanya karena terlalu berkanjang atau berkeras hati pada orientasi pada kemenangan jangka pendek.•
Michael Herdi Hadylaya
Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Litigasi, Jakarta
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News