kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45919,20   -16,32   -1.74%
  • EMAS1.345.000 0,75%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Potensi Ekonomi Charity di Tengah Pandemi


Sabtu, 24 Oktober 2020 / 13:23 WIB
Potensi Ekonomi Charity di Tengah Pandemi
ILUSTRASI.


Sumber: Harian KONTAN | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti

KONTAN.CO.ID - Membanggakan. Kedermawan bangsa diapresiasi dunia. Charities Aid Foundation (CAF) menahbiskan Indonesia sebagai negara dengan pertumbuhan kedermawanan tercepat dalam satu dekade terakhir. Dua tahun sebelumnya, Indonesia juga tampil sebagai jawara. Nomor wahid daftar Indeks Derma Dunia (World Giving Index).

Kedermawanan bukanlah jubah mewah bagi masyarakat Indonesia. Tidak pula menjadi persona yang langka. Akar derma telah lama menghujam. Jadi busana karakter harian bangsa Indonesia. Ada tiga parameter acuan penilaian kedermawanan dari CAF.

Pertama, sudi menolong orang asing yang tidak dikenal. Ramah dan sikap bersahabat kepada pendatang baru, memang merupakan karakter otentik bangsa Indonesia. Sikap ini cermin keterbukaan (inclusiveness). Satu ciri masyarakat maju. Negara terkemuka, seperti Amerika Serikat (AS), Selandia Baru, dan Kanada masuk dalam Indeks Derma Dunia. Bersama Indonesia, tentu saja.

Kedua, partisipasi donasi finansial. Menurut penelitian itu, 69% warga Indonesia turut menyumbangkan uang untuk kegiatan kemanusiaan. Dalam kategori ini, Indonesia satu grup dengan negara yang secara ekonomi berada di level lebih mapan. Antara lain Inggris, Australia, Selandia Baru, Kanada, dan Belanda.

Ketiga, parameter volunteering. Dalam aspek ini, 40% masyarakat Indonesia menyatakan pernah atau punya rencana ikut serta berperan sebagai relawan. Bagi bangsa kita, volunteering merupakan refleksi dari prinsip gotong royong. Kearifan lokal dan jati diri bangsa.

Rasa optimisme

Di masa pandemi Covid-19 dan krisis, aksi kedermawanan merupakan suplemen mengakselerasi proses pemulihan ekonomi. Pemerintah tak bisa dibiarkan bekerja sendirian. Impossible. Pasalnya, kapasitas fiskal dan sumber daya yang dimiliki terbatas.

Karena itu, kita amat beruntung. Semangat peduli rakyat Indonesia tak redup. Charity tumbuh semarak di tengah-tengah wabah ini. Berbagai inisiatif sosial ditawarkan. Masyarakat tidak selfish atau mementingkan ego pribadi. Meski juga terdampak pandemi.

Satgas Penanganan Covid-19 mencatat, jumlah donasi yang terkumpul dari publik mencapai Rp 40 miliar. Sokongan itu diperoleh kurang dari sebulan sejak pertama kali wabah masuk Indonesia. Bukan sekadar nominal, angka itu merefleksikan kekuatan kedermawanan masyarakat Indonesia.

Senyampang, sambutan masyarakat terhadap seruan kedermawanan direspons oleh badan-badan amal dengan sederet inovasi. Termasuk, merevolusi model charity. Dari langgam umum, menggalang donasi secara tradisional, menjadi donasi bisnis sosial berbasis transaksi nilai.

Grameen Bank merupakan pionir dan social enterprise paling fenomenal yang kita kenal. Lembaga keuangan ini dikembangkan dari konsep kredit mikro oleh Muhammad Yunus. Dari sebuah perkampungan di Bangladesh, Grameen Bank kini dikenal dunia sebagai bank untuk orang orang miskin. Dengan pendekatan tata kelola bisnis dan komitmen membuka akses layanan keuangan, Grameen Bank berani menggelontor pinjaman produktif (productive loan), tanpa agunan, cicilan lunak, dan pembayaran fleksibel bagi usaha mikro yang kekurangan modal.

Bisnis sosial ini memang menantang. Sebab, modalnya adalah kepercayaan. Namun Grameen Bank terbukti mampu menyejahterakan nasabahnya. Konsep Grameen Bank bahkan diadopsi di 130 negara. Atas inisiatif tersebut dan kiprahnya memberantas kemiskinan, Yunus dianugerahi Hadiah Nobel Perdamaian pada tahun 2006 lalu.

Model social entreprise lain yang juga naik daun adalah apa yang digagas oleh Thankyou. Perusahaan ini terjun langsung ke industri fast moving consumers goods (FMCG) melalui berbagai macam produk keperluan harian. Mulai dari personal care dan baby care seperti sabun, handsanitizer, handwash, serta tisu, hingga produk makanan sehat. Semua produk itu ramah lingkungan. Menegaskan komitmen mengusung misi sosial.

Perputaran uang di sektor FMCG memang sangat tinggi. Spending konsumen global untuk sektor FMCG mencapai Rp 927.914 triliun (US$ 63 triliun) setiap tahun. Bila 3% saja dari total belanja itu diarahkan untuk kegiatan amal, maka ada Rp 2.800 triliun potensi dana amal yang bisa dikelola untuk mengentaskan berbagai problem sosial secara global.

Potensi tersebut yang digarap oleh perusahaan sosial milik Thankyou Charitable Trust berbasis di Australia itu. Secara umum, Thankyou tidak memiliki pemegang saham. Sehingga. tidak ada tekanan mengejar laba untuk akumulasi kapital. Keuntungan yang diperoleh sepenuhnya didedikasikan untuk kebutuhan sosial. Produk-produk Thankyou dipasarkan secara komersial. Tetapi, revenue dan profit, selain untuk produksi, juga seluruhnya didonasikan kepada masyarakat yang membutuhkan dalam berbagai bentuk bantuan. Seperti air bersih, makanan, pemberdayaan ekonomi, dan akses kesehatan.

Selain menciptakan ekosistem charity berbasis transaksi nilai (value transaction), social enterprise ini juga memberikan ragam manfaat. Yakni, nilai guna langsung (instant utility) kepada donatur yang juga konsumen produk Thankyou, dan manfaat sosial (social benefit) kepada masyarakat yang menerima bantuan.

Thankyou bahkan menjajaki kerjasama dengan dua perusahaan raksasa FMCG, yakni P&G dan Unilever, guna memperluas spektrum solusi sosial kepada masyarakat dunia. Upaya itu diimplementasikan melalui kampanye global yang bertajuk No Small Plan, disertai tagar #thankyoutotheworld di platform digital untuk mendengungkan gerakan itu di media sosial. Hasilnya, kampanye tersebut telah menghasilkan 1,3 miliar impresi. Melibatkan masyarakat global dari 34 negara dan para influencer dari 5 benua.

Berjalan harmonis

Terobosan yang ditawarkan oleh Thankyou adalah contoh bagaimana bisnis, konsumerisme, dan amal dapat berjalan secara harmonis. Dari sudut pandang konsumen, gerakan ini sangat effortless. Tidak perlu upaya ekstra untuk berkontribusi sosial secara konkret. Donasi dilakukan tanpa merasa terbebani. Donasi otomatis tersalurkan ketika konsumen membeli produk yang memang dibutuhkan.

Di Indonesia, kiprah badan amal yang menggeluti konsep bisnis sosial sebagaimana Grameen Bank dan Thankyou, masih sangat terbatas. Artinya, terbuka peluang untuk mengembangkan inovasi charity. Apalagi, potensi amal di Indonesia diperkirakan mencapai 3,5% atas produk domestik bruto (PDB). Tapi, baru sekitar 1% yang tergarap. Itu dari aktivitas perekonomian secara agregat.

Lantas, sebesar apa potensi dari sektor FMCG? Mengutip Trading Economics, belanja konsumen Indonesia tahun ini diproyeksi mencapai Rp 1.500 triliun. Bila bisnis sosial seperti Thankyou dapat mengambil 3% saja dari total market share itu, maka ada Rp 45 triliun free money yang siap jadi suplemen pengentasan kemiskinan di tengah situasi pandemi Covid-19 yang sarat tantangan. Potensi super jumbo yang amat sayang jika dilewatkan begitu saja.

Penulis : Jusman Dalle

Direktur Eksektuif Tali Foundation

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×