| Editor: Tri Adi
Sejak akhir tahun 2017, ketika harga batubara terus menanjak, PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) menjadi salah satu perusahaan yang paling terkena efek negatif. Sebanyak 57%-60% pembangkit listrik yang dimiliki PLN menggunakan batubara sebagai sumber energi.
Dalam kontrak penjualan tenaga listrik antara PT PLN dan pembangkit listrik, pengadaan batubara sebagai bahan baku utama listrik merupakan tanggung jawab PLN. Akibatnya kenaikan harga batubara berarti meningkatkan biaya pokok produksi pembangkit listrik. Selama tahun 2017, beban PLN untuk batubara meningkat menjadi Rp 14 triliun lantaran rata-rata harga batubara pada saat itu meningkat menjadi US$ 80/ ton sementara di RKAP (Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan) PLN hanya US$ 63 per ton .
Terbitnya Keputusan Menteri (Kepmen) ESDM Nomor 1395 K/30/MEM/2018 pada 9 Maret 2018 tentang Harga Batubara Untuk Penyediaan Tenaga Listrik Untuk Kepentingan Umum merupakan angin segar bagi PT PLN. Berdasarkan Kepmen tersebut maka pemerintah menetapkan batas atas bagi harga batubara yang dijual kepada PT PLN untuk pasokan listrik nasional.
Terbitnya Keputusan Menteri (Kepmen) ESDM Nomor 1395 K/30/MEM/2018 pada 9 Maret 2018 tentang Harga Batubara Untuk Penyediaan Tenaga Listrik Untuk Kepentingan Umum merupakan angin segar bagi PT PLN. Berdasarkan Kepmen tersebut maka pemerintah menetapkan batas atas bagi harga batubara yang dijual kepada PT PLN untuk pasokan listrik nasional.
Harga batubara dibatasi menjadi maksimal sebesar US$ 70 per ton untuk kalori 6.322 GAR atau mengikuti Harga Batubara Acuan (HBA) jika HBA berada di bawah US$ 70 per ton. Sementara untuk nilai kalori lainnya akan dikonversi sesuai dengan peraturan yang berlaku. Kebijakan pemerintah ini merupakan lanjutan dari kebijakan pemerintah sebelumnya pada bulan Januari 2018 yang menetapkan 25% sebagai persentase minimal batubara yang dijual untuk keperluan dalam negeri (DMO) berdasarkan Kepmen ESDM No. 23K/30/MEM/2018.
Kebijakan pemerintah tersebut menunjukkan respon cepat dalam mengantisipasi harga batubara yang tinggi yang dapat merugikan PLN. Hal ini juga menunjukkan kesungguhan pemerintah dalam rangka mencapai elektrifikasi 100% bagi seluruh rakyat Indonesia. Selain itu komitmen pemerintah untuk tidak mengerek tarif dasar listrik hingga akhir tahun 2019 tetap dipertahankan. Keputusan ini disambut baik PT PLN, namun tentu saja ada juga dampak negatif yang terjadi.
Kebijakan tentang harga khusus batubara menimbulkan dampak yang kurang baik bagi iklim investasi dan bisnis di sektor pertambangan batubara. Dengan adanya batas atas harga jual di dalam negeri maka potensi terjadinya peningkatan keuntungan bagi pengusaha pertambangan batubara menjadi terbatas atau berkurang. Reaksi kurang positif dari dunia bisnis dapat terlihat dari menurunnya harga saham emiten batubara di Bursa Efek Indonesia setelah kebijakan harga khusus batubara tersebut dikeluarkan.
Sebenarnya bukan hanya pendapatan pengusaha yang berkurang, penerimaan negara juga. Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan Askolani memperkirakan bahwa dari sektor PNBP akan terjadi penurunan pendapatan Rp 4-5 triliun, sementara dari sektor pajak akan menurun sekitar Rp 2–3 triliun (KONTAN, 19 Maret 2018).
Dalam rangka memperkecil dampak negatif tersebut, pemerintah mengambil langkah antisipasi. Untuk pengusaha pertambangan batubara, pemerintah memberikan kompensasi dengan membolehkan pengusaha meningkatkan produksinya hingga 10% di atas ketentuan. Mengenai penurunan penerimaan negara, masih dapat terkompensasi dengan adanya peningkatan pendapatan sekitar Rp 14 triliun akibat tingginya harga batubara.
Ketahanan energi
Untuk jangka pendek, kebijakan ini merupakan solusi yang tercepat dan mungkin yang terbaik yang bisa dilakukan. Namun untuk jangka panjang, kebijakan ini sebaiknya tidak menjadi solusi permanen. Ditinjau dari sisi ketahanan energi, krisis PT PLN ini menjadi peringatan dini bahwa ketahanan energi Indonesia ternyata masih rapuh.
Fluktuasi harga batubara di tingkat internasional ternyata berpengaruh signifikan bagi program kelistrikan nasional dan pada akhirnya akan mempengaruhi program dan perekonomian nasional. Padahal cadangan batubara ada di bumi Indonesia. PT PLN dan pemerintah perlu lebih giat lagi dalam mencari alternatif sumber daya energi untuk kelistrikan nasional. Yang diharapkan, sumber daya tersebut tersedia melimpah, biayanya ekonomis dan tidak tergantung akan fluktuasi harga di tingkat internasional.
Salah satu alternatif yang dapat dimanfaatkan adalah pemanfaatan batubara bawah tanah melalui teknologi underground coal gasification (UCG). Teknologi ini merupakan teknologi unconventional untuk mengekstrak batubara menjadi gas yang dilakukan secara in-situ langsung di lapisan batubara bawah tanah, dan tidak memerlukan penggalian batuan penutup dan lapisan batubara terlebih dahulu.
Tidak banyak yang menyadari bahwa sumber daya batubara Indonesia tidak hanya ada di dekat permukaan saja. Data dari Badan Geologi (2013) menunjukkan bahwa ada sekitar 40 miliar ton batubara yang berada di bawah tanah (kedalaman lebih dari 150 meter) yang dapat menjadi sumber energi untuk listrik. Advanced Resources International, INC.,Virginia, USA (2003) juga memperkirakan bahwa potensi gas yang dapat dihasilkan dari teknologi UCG sekitar 13,5 kali lipat dari potensi gas alam saat ini.
Teknologi UCG bukanlah teknologi baru di dunia. UCG telah dimanfaatkan secara komersial di Uzbekistan sejak tahun 1945 sampai sekarang. Penelitian dan ujicoba UCG juga sudah dilakukan di berbagai negara seperti Selandia Baru, China, Amerika Serikat, Australia, Kanada, Afrika Selatan dan India.
Upaya penerapan teknologi UCG di Indonesia merupakan langkah optimalisasi sumber daya batubara yang hingga saat ini belum termanfaatkan. Hasil proses gasifikasi dengan UCG selain dapat dimanfaatkan sebagai pembangkit listrik, juga dapat dikonversi menjadi synthetic natural gas (SNG), BBM sintetis atau bahan kimia (ammonia, methanol dan lainnya). Selain itu, penggunaan hasil samping UCG berupa CO2 sebagai enhance oil recovery (EOR) juga mampu meningkatkan produksi minyak nasional.
Dengan segala kelebihan tersebut, penerapan UCG juga memiliki tantangan tersendiri terutama dalam biaya investasi, keekonomian dan potensi risiko lingkungan. Oleh karena itu peran pemerintah sebagai pembuat kebijakan sangat penting. Jika kebijakan pemerintah nanti dapat mengatasi potensi permasalahan tersebut maka ke depannya pemerintah (baca: masyarakat), PT PLN dan kalangan pengusaha pertambangan batubara dapat menikmati keuntungan optimal ketika harga batubara tinggi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News