kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.908.000   1.000   0,05%
  • USD/IDR 16.212   -17,00   -0,10%
  • IDX 6.865   -12,86   -0,19%
  • KOMPAS100 999   -3,55   -0,35%
  • LQ45 764   -2,07   -0,27%
  • ISSI 226   -1,00   -0,44%
  • IDX30 393   -1,12   -0,29%
  • IDXHIDIV20 455   -0,68   -0,15%
  • IDX80 112   -0,32   -0,28%
  • IDXV30 114   0,03   0,02%
  • IDXQ30 127   -0,74   -0,58%

PPN transaksi digital lintas negara


Jumat, 29 Juni 2018 / 19:02 WIB
PPN transaksi digital lintas negara


Reporter: Tri Adi | Editor: Tri Adi

Perkembangan transaksi ekonomi digital yang begitu pesat beberapa tahun terakhir, baik yang bersifat domestik maupun lintas negara, membawa dampak yang sangat signifikan di berbagai sektor tidak terkecuali pada sektor perpajakan. Untuk menghindari terjadinya distorsi dalam perekonomian, perlakuan pajak untuk transaksi ekonomi digital domestik tidaklah perlu dibedakan dengan transaksi tradisional.

Sementara ketika transaksi ekonomi digital melewati batas negara maka memang perlu adanya pembaharuan dalam prinsip pengenaan pajak, baik untuk pajak yang bersifat langsung (Pajak Penghasilan) maupun pajak tidak langsung (PPN). Artikel singkat ini akan lebih khusus membahas aspek PPN pada transaksi digital lintas negara.

Pengenaan PPN untuk transaksi lintas negara tetap mengikuti prinsip tempat tujuan (destination principle) yang pada intinya mengatur bahwa PPN dikenakan di tempat dimana barang/jasa dikonsumsi. Destination principle inilah yang menjadi landasan filosofis pengenaan tarif 0% untuk transaksi ekspor dan pengenaan tarif 10% untuk transaksi impor.

Dari sisi pemungutannya, maka untuk transaksi impor yang melibatkan barang berwujud tentunya tidak menghadapi kendala berarti karena barang berwujud ini pasti melalui pemeriksaan bea dan cukai dan pemungutannya dilakukan bersamaan dengan pengeluaran barang tersebut. Permasalahan kemudian timbul apabila barang yang terlibat adalah berupa barang tidak berwujud atau berupa penyerahan jasa karena penyerahannya tidak melewati batas fisik negara tapi bisa melalui internet dan saluran komunikasi lainnya.

Berdasarkan ketentuan dalam pasal 3A ayat (3) UU PPN, Indonesia telah mengadopsi mekanisme reverse charge dalam pengenaan PPN atas pemanfaatan barang tidak berwujud/jasa dari luar daerah pabean. Berbeda dengan mekanisme umum PPN dimana yang melakukan pemungutan adalah penjual, maka dalam mekanisme reverse charge ini pembelilah yang berkewajiban untuk melakukan pemungutan, penyetoran dan pelaporan PPN terutangnya. Mekanisme reverse charge di Indonesia tidak hanya diberlakukan kepada mereka yang sudah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) namun juga diberlakukan kepada orang pribadi/badan yang bukan PKP.

Mekanisme reverse charge memang sangat efektif apabila yang memanfaatkan barang tidak berwujud/jasa sudah berstatus PKP (umumnya transaksi ini bersifat business to business/ B2B). Hal ini karena terdapat insentif bagi PKP pembeli untuk mengkreditkan PPN yang disetornya sebagai pajak masukan. Namun demikian mekanisme reverse charge tidak efektif apabila yang memanfaatkan barang tidak berwujud/jasa tidak berstatus PKP (umumnya transaksi ini bersifat business to consumer/B2C). Hal ini dikarenakan orang pribadi (yang umumnya tidak berstatus sebagai PKP) tidak memiliki insentif untuk mengungkapkan pengeluarannya dalam rangka memungut PPN.

Sebagai contoh, ketika seseorang membayar sejumlah tertentu untuk dapat menikmati film terbaru dari sebuah aplikasi penyedia film yang berbasis di Amerika Serikat, mungkin sangat sedikit dari kita yang menyadari bahwa sebenarnya ada kewajiban untuk melakukan penyetoran PPN sebesar 10% dari jumlah yang dibayarkan tersebut. Atau berapa banyak dari kita yang mungkin sadar akan keharusan untuk menyetor PPN ketika memasang sebuah iklan pada media sosial tertentu. Mereka yang bukan PKP dan umumnya perseorangan inilah yang menjadi celah kebocoran dalam pengenaan PPN atas transaksi digital goods lintas negara.

OECD dalam International VAT/GST Guidelines 2017 memberikan solusi untuk permasalahan ini. Yaitu keharusan meregistrasi oleh supplier luar negeri dalam rangka memungut PPN atas transaksi penjualan digital goods di dalam negeri. Registrasi oleh pemasok luar negeri ini tentunya harus dipisahkan dan seharusnya lebih sederhana dibandingkan dengan registrasi perusahaan lokal. Karena registrasi ini hanya dalam rangka memungut PPN dari penjualan yang dilakukannya di suatu negara tanpa memiliki hak untuk, misalnya, memperhitungkan kredit pajaknya.

Registrasi supplier asing

Berdasarkan laporan OECD (Tax Challenges Arising From Digitalisation-Interim Report 2018), sebanyak 50 negara (termasuk mayoritas negara OECD) telah mengadopsi rekomendasi mengenai perlakuan PPN untuk transaksi B2C. Dalam laporan yang sama juga disebutkan bahwa Indonesia, bersama beberapa negara Asia Tenggara lain, sedang mempertimbangkan untuk mengadopsi rekomendasi tersebut.

Namun demikian, penulis berpendapat tantangan utama dalam implementasi registrasi supplier luar negeri adalah menyediakan insentif bagi mereka untuk secara sukarela melakukan pendaftaran atau merumuskan disinsentif bagi mereka yang tidak mau melakukan registrasi. Dalam rekomendasinya, OECD lebih menyarankan pendekatan dengan memberikan insentif berupa kemudahan untuk melakukan registrasi dan kesederhanaan dalam pelaporan yang berbeda dengan supplier lokal.

Dalam implementasinya, beberapa negara juga melengkapi registrasi ini dengan disinsentif. Taiwan dan Afrika Selatan misalnya memilih mengenakan sanksi berupa denda bagi supplier luar negeri yang tidak melaksanakan kewajibannya meskipun hal ini juga berpotensi menimbulkan kesulitan dalam penegakannya karena melibatkan entitas luar negeri.

Sisi lain, PKP di Jepang hanya dapat mengkreditkan pajak masukan dari pembelian yang tergolong B2C digital service apabila supplier luar negeri itu sudah terdaftar dan mencantumkan nomor pendaftarannya di invoice yang diterbitkan. Di satu sisi ketentuan ini akan mendorong PKP Jepang untuk bertransaksi kepada supplier luar negeri yang sudah terdaftar dan di sisi lain mendorong supplier luar negeri untuk melakukan registrasi di Jepang.

Pendekatan lain yang dapat dilakukan untuk mendorong registrasi supplier luar negeri adalah pendekatan naming and shaming. Meskipun dalam konteks yang berbeda pendekatan ini cukup sukses ketika memaksa Starbuck membayar pajak di Inggris sebagai respon dari desakan pemerintah dan ancaman pemboikotan dari publik Inggris. Bahkan Majelis Tinggi Kerajaan Inggris menempatkan pendekatan itu sebagai salah satu cara menegakkan kepatuhan perpajakan dengan memberikan pengaruh kepada citra atau reputasi perusahaan. Supaya publik bisa mendorong atau memaksa perusahaan mematuhi ketentuan perpajakan.

Tujuan utama dari semua usaha ini adalah persamaan perlakuan. Barang/jasa yang dikonsumsi di dalam negeri seharusnya sama-sama dikenakan PPN tanpa melihat apakah penyedia barang/jasa berada di dalam maupun di luar negeri. Kegagalan untuk mengenakan PPN atas barang/jasa yang disediakan supplier luar negeri akan berakibat ketidakadilan bagi supplier dalam negeri karena diperlakukan berbeda secara perpajakan. Hal ini tentunya akan melemahkan daya saing pengusaha lokal dan berakibat distorsi dalam perekonomian. •

Wayan Agus Eka
Alumni Program Master Degree in Public Finance, National Graduate Institute Policy Studies (GRIPS), Japan

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Owe-some! Mitigasi Risiko SP2DK dan Pemeriksaan Pajak

[X]
×