kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45923,49   -7,86   -0.84%
  • EMAS1.319.000 -0,08%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

PR di Balik Surplus Neraca Dagang


Rabu, 20 Januari 2021 / 07:23 WIB
PR di Balik Surplus Neraca Dagang
ILUSTRASI.


Sumber: Harian KONTAN | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti

KONTAN.CO.ID - Badan Pusat Statistik (BPS) pekan lalu melaporkan neraca dagang (trade balance) Indonesia sepanjang 2020 mencatatkan saldo surplus senilai US$ 21,74 miliar. Surplus neraca transaksi berjalan seolah menjadi berita gembira di tengah pagebluk Covid-19 yang belum menunjukkan tanda-tanda berkesudahan.

Tingkat kepercayaan dan optimisme diharapkan terpacu dari berita gembira yang dikirim BPS di awal tahun ini untuk mengarungi 2021 yang sangat menantang sekaligus menyajikan sejumlah peluang. Apalagi, besaran surplus neraca dagang itu menjadi yang tertinggi sejak satu dekade terakhir. 

Namun demikian, membandingkan surplus neraca dagang antara 2020 dengan 2011 sejatinya tidak terlalu apple to apple. Surplus perdagangan ketika itu yang mencapai US$ 26,06 miliar toh masih lebih tinggi dari surplus neraca dagang 2020. Artinya, kinerja neraca dagang sejatinya menurun.

Surplusnya neraca dagang pada 2011 juga lebih banyak didorong oleh commodity booms. Tinggi kenaikan harga komoditas ekspor andalan Indonesia mampu membuat nilai ekspor relatif melejit terhadap impor. Sebaliknya pada 2020, kondisi ekonomi global melemah terpapar dampak Covid-19.

Tesis di atas sangat masuk akal. Total nilai ekspor sepanjang 2020 mencapai US$ 163,31 miliar, menurun 2,61% secara tahunan (year-on-year/yoy). Tingginya surplus neraca perdagangan pada 2020 juga disebabkan oleh akumulasi impor yang terkontraksi jauh lebih dalam, yakni -17,34 persen, dengan nilai US$ 141,57 miliar.

Alhasil, surplus neraca dagang membersitkan tanda tanya besar ada apa dengan neraca dagang? Rasa penasaran semacam ini tidak terlalu berlebihan. Untuk kasus Indonesia, variabel ekspor dan impor memang agak unik. Ada keterkaitan yang sangat kuat antara keduanya sehingga membentuk hubungan resiprokal.

Hubungan resiprokal antara ekspor-impor secara kasat mata bisa disimak dari jenis komoditasnya. Berdasarkan klasifikasi barang, penurunan impor terjadi pada barang konsumsi, bahan baku, dan barang modal, yang masing-masing tercatat minus 10,93%, 18,32%, dan 16,37%.

Padahal, impor bahan baku dan barang modal adalah sumber utama penggerak aktivitas industri pengolahan. Konkretnya, surplus neraca perdagangan belum tentu menjadi sinyal positif menggeliatnya ekonomi domestik. Melemahnya impor justru merupakan indikasi bahwa ekonomi Indonesia belum bisa bergerak.

Dengan pemahaman resiprokal ini pula, defisit neraca perdagangan juga tidak selalu berkonotasi negatif. Bila terjadi defisit karena kenaikan impor mesin, peralatan, dan bahan baku, berarti ekonomi mulai menggeliat karena adanya investasi-investasi baru yang menciptakan lapangan pekerjaan.

Telaah lebih mendalam atas dasar negara mitra dagang kian menjelaskan pokok masalahnya. BPS mencatat, impor dari China ke Indonesia pada Desember 2020 meningkat sebesar US$ 550,1 juta. Berdasarkan pangsa pasarnya, China masih memegang porsi tertinggi, yaitu 34,28% dari total impor pada periode tersebut.

Sejalan dengan itu, pangsa ekspor nonmigas tertinggi juga masih ke China, dengan porsi sebesar 21,39% dari total ekspor. Barang utama adalah besi baja, bahan bakar mineral, lemak, dan minyak hewan nabati. Jelasnya, belum ada perubahan mendasar dalam struktur ekspor.

Sebaliknya, Indonesia mengalami defisit perdagangan dengan China sebesar US$ 1,12 miliar. Dua negara lainnya sebagai penyumbang defisit adalah Australia dengan nilai sebesar US$ 260,2 juta dan Brasil sebesar US$ 203,3 miliar. Dengan demikian, lagi-lagi, perubahan struktural impor Indonesia belum tampak.

Dilihat dari negara kontributor surplus, kondisinya masih sama. Sepanjang Desember 2020, Indonesia mengalami surplus perdagangan dengan Amerika Serikat US$ 1,23 miliar, menyusul di belakangnya India dan Filipina, masing-masing US$ 866,3 juta dan US$ 468,9 juta. Surplus dagang dengan Amerika Serikat dan India sudah menjadi tradisi lama.

Genjot pasar lokal

Dengan konfigurasi problematik di atas, pengembangan industri yang meningkatkan nilai ekspor (export-promotion industry) patut menjadi prioritas. Pertama, pemerintah perlu mendesain kembali reindustrialisasi dan mengarahkannya terutama pada subsektor industri yang mampu menciptakan nilai tambah tinggi.

Kedua, industri substitusi impor (import-substitution industry) juga tidak boleh ditinggalkan. Bahan baku dan peralatan sejauh mungkin bisa dipasok oleh produsen domestik. Inisiasi upaya ini lewat transfer teknologi memiliki efek pengganda bagi keterkaitan aktivitas ekonomi ke depan dan industri turunannya.

Ketiga, peningkatan daya saing juga memegang peran signifikan. Untuk saat sekarang ini, peningkatan daya saing lewat harga tidak relevan lagi. Faktor non harga agaknya lebih banyak berbicara. Oleh karena itu, diplomasi ekonomi kepada negara-negara kerabat bisa membuka perluasan pasar.

Perdagangan antarnegara sekawasan, ASEAN misalnya, membuka peluang transaksi ekspor-impor lebih besar. Perjanjian local currency settlement (LCS) bisa menjadi modal dasar bagi perkembangan ekonomi sekaligus stabilisasi nilai tukarnya. Dengan LCS, volume perdagangan bisa membesar tanpa terpengaruh oleh gejolak dolar AS.

Demikian pula, pengendalian impor lewat pembatasan tanpa ada alasan yang bisa dipertanggungjawabkan bisa terkena perkara di WTO. Jika demikian, penguatan pasar domestik menjadi jalan keluar yang paling aman dari risiko eksternal. Potensi perang dagang yang temporer redup di masa Covid-19 masih bisa muncul lagi pada adaptasi kebiasaan baru atau new normal.

Untuk itu, Gerakan Nasional Bangga Buatan Indonesia (Gernas BBI) menuntut sinergi dengan berbagai pemangku kepentingan dalam mendorong UMKM unggulan di masing-masing daerah untuk meningkatkan kualitas produk dan memperluas pangsa pasar baik di dalam dan luar negeri.

Lewat beberapa reformasi struktural di atas, Indonesia harus menjadi negara produktif, bukan negara konsumtif. Indonesia harus bisa mengekspor barang yang memiliki nilai tambah, bukan lagi ekspor bahan mentah. Dan Indonesia harus menjadi negara pengekspor, bukan negara yang senang mengimpor.

Kembali ke tema awal pembicaraan, surplus neraca dagang sepanjang 2020 sejatinya bukan sebuah pencapaian yang patut dibanggakan. Sumber penyakit di neraca dagang toh belum tuntas terobati. Alhasil, surplus neraca dagang adalah hal yang semu. Banyak pekerjaan rumah (PR) untuk menanggulangi penyakit kronis yang masih eksis.

Penulis : Haryo Kuncoro

Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Jakarta

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Terpopuler
Kontan Academy
EVolution Seminar Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP)

[X]
×