Reporter: Harian Kontan | Editor: Tri Adi
Pasca-penetapan pasangan Joko Widodo-Maruf Amin (Jokowi-Ma'ruf) sebagai Presiden dan Wakil Presiden terpilih oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) beberapa waktu yang lalu, pemerintahan periode 20192024 ini mempunyai agenda pekerjaan rumah (PR) yang cukup besar, yakni peningkatan inklusi keuangan nasional.
Sebagaimana kita ketahui bersama, sebelumnya pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla (JK) menargetkan angka inklusi keuangan di 2019 sebesar 75%. Nyatanya, data terbaru Bank Dunia melalui Global Financial Inclusion Index (Findex) menyebutkan, orang dewasa yang telah memiliki rekening bank di Indonesia pada 2017 lalu hanya 48,9%. Untuk itu, diperlukan terobosan model inklusi keuangan digital yang komprehensif dan tepat sasaran, serta bisa menjangkau seluruh pelosok desa dan pesisir nusantara. Sehingga, target inklusi keuangan 75% di 2019 tercapai.
Penulis melihat dua hal besaran masalah penyebab angka inklusi keuangan nasional masih belum optimal, yaitu terkait letak geografis yang luas serta rendahnya literasi keuangan pada masyarakat Indonesia. Sebagaimana kita ketahui, bangsa Indonesia terdiri dari negara kepulauan yang sangat luas. Yang terdiri dari 17.504 pulau dari Sabang sampai Merauke, mencakup daratan dengan luas 1.910.931,32 km dan lautan terbentang seluas 3.544.743,9 km. Penduduk Indonesia tersebar di pelosok desa dan pesisir pantai yang kondisinya kurang tersentuh akses lembaga keuangan bank maupun non-bank.
Selain karena letak geografis, persoalan inklusi keuangan nasional juga disebabkan minimnya literasi masyarakat atas produk dan jasa keuangan. Ini terkait pemahaman yang dipengaruhi tingkat pendidikan serta keterkaitan dengan jenis pekerjaan yang ada. Untuk itu, diperlukan terobosan model inklusi keuangan digital yang mampu menyentuh dan menjangkau semua lapisan masyarakat Indonesia di seluruh pelosok negeri.
Mengapa inklusi keuangan nasional menjadi fokus perhatian pemerintah? Sebagaimana kita ketahui bersama, inklusi keuangan adalah ketersediaan akses pada berbagai lembaga, produk, dan layanan jasa keuangan sesuai kebutuhan dan kemampuan masyarakat dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat (Otoritas Jasa Keuangan/OJK, 2016). Lebih dari dua miliar penduduk dewasa di dunia belum memiliki akses terhadap layanan keuangan formal yang diketahui sebagai populasi unbanked (World Bank, 2018).
Sebagian besar dari populasi unbanked tersebut merupakan penduduk yang hidup dekat atau di bawah garis kemiskinan. Masyarakat yang tidak terlibat pada pelayanan sektor jasa keuangan mengalami keterbatasan dalam akumulasi pendapatannya untuk memenuhi kebutuhan hidup. Akibat permasalahan ini berpotensi memperlebar ketimpangan sosial dan kemiskinan di antara masyarakat.
Untuk itu, diperlukan penetrasi inklusi keuangan yang mampu memberi akses masyarakat untuk penggunaan jasa lembaga keuangan bank dan non-bank. Tidak hanya menyasar di kota-kota besar serta pada individu/kelompok tertentu saja, melainkan hingga menyebar ke seluruh pelosok pedesaan maupun pesisir pantai. Serta, mengenai sasaran semua lapisan ekonomi individu/kelompok (baik kaya maupun miskin) di penjuru nusantara. Dengan kata lain, masyarakat Indonesia tidak teralienasi dari produk dan jasa keuangan.
Fokus ke petani dan nelayan
Jika akses keuangan bisa dinikmati seluruh masyarakat di seluruh penjuru daerah, maka gerak ekonomi dapat dioptimalkan karena akan memunculkan pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Sehingga, pemerataan pembangunan akan terjadi, yang akhirnya pertumbuhan ekonomi nasional akan terdongkrak naik. Pemerataan pembangunan ekonomi menjadi pendorong bagi pembangunan ekonomi nasional yang berkelanjutan.
Hal inilah yang menjadi dasar mengapa inklusi keuangan nasional menjadi penting untuk bisa ditingkatkan keberadaannya. Semakin tinggi inklusi keuangan suatu masyarakat, maka semakin tinggi pula tingkat kesejahteraan dari masyarakat tersebut.
Untuk mendorong kemajuan inklusi keuangan, pemerintah telah menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 82 Tahun 2016 tentang Strategi Nasional Keuangan Inklusif (SNKI), yang menetapkan tujuh pilar sebagai area sasarannya. Yaitu, pendidikan keuangan, hak kepemilikan warga negara, fasilitas intermediasi dan saluran distribusi, jasa keuangan di sektor pemerintahan, perlindungan konsumen, peraturan, dan infrastruktur.
Memperhatikan pilar SNKI, kiranya peran perbankan cukup dominan. Hal ini sesuai dengan hasil Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) yang dilakukan OJK pada 2016 lalu, bahwa inklusi keuangan sebesar 67,82% didominasi peran perbankan yang mencapai 63,63%. Lalu, diikuti kontribusi oleh lembaga keuangan non-bank lainnya seperti asuransi (12.08%), lembaga pembiayaan (11,85%), pegadaian (10,49%), dana pensiun (4,66%), serta pasar modal (1,25%).
Untuk mencapai target inklusi keuangan, pemerintah harus melibatkan perbankan secara komprehensif sebagai orientasi utama SNKI. Karena, perbankan sudah mempunyai sarana dan prasarana yang memadai dalam menggarap pasar yang luas dan besar melalui program kerjanya, serta implementasi digital banking melalui Program Laku Pandai.
Secara teknis, yang perlu dilakukan perbankan agar optimal menggarap inklusi keuangan adalah fokus pada pelaku usaha unbanked, yakni petani dan nelayan. Mengapa yang dibidik adalah kaum petani dan nelayan? Selain jumlah petani dan nelayan yang cukup besar serta tersebar di berbagai pelosok desa juga kampung pesisir pantai wilayah Indonesia, juga karena minim akses layanan keuangan ke mereka (petani dan nelayan).
Data menunjukkan, bahwa jumlah petani nasional yang bekerja di sektor pertanian sebanyak 26.355.792 jiwa (BPS, 2013) dan jumlah nelayan di negara kita kurang lebih 1.300.000 orang (Dataku, 2012). Kondisi di atas adalah alasan mengapa para petani dan nelayan menjadi prioritas penting untuk meningkatkan angka inklusi keuangan nasional.
Terdapat dua hal penting yang harus diinisiasi perbankan agar petani dan nelayan mendapat akses layanan keuangan. Pertama, mendorong ekspansi Kredit Usaha Rakyat (KUR) secara masif pada petani dan nelayan di seluruh Indonesia. Kedua, mengoptimalkan Layanan Keuangan Tanpa Kantor atau biasa disebut Laku Pandai. Harapannya, KUR dan Laku Pandai bisa membuat target inklusi keuangan nasional 75% di tahun ini. Semoga.♦
Chandra Bagus Sulistyo
Pemimpin Bidang Pemasaran Bisnis BNI Kantor Cabang Blitar
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News