kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.520.000   12.000   0,80%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Problem CPO Indonesia dan Uni Eropa


Sabtu, 15 Juni 2019 / 09:30 WIB
Problem CPO Indonesia dan Uni Eropa


Reporter: Harian Kontan | Editor: Tri Adi

Tanggal 13 Mei 2019 lalu adalah masa jatuh tempo untuk menyatakan keberatan kepada Parlemen Eropa dan Dewan Uni Eropa (UE), atas aturan pelaksana (delegated act) yang diterbitkan oleh Komisi Eropa untuk Arahan Energi Terbarukan (Renewable Energy Directive/ RED II). Dokumen yang disebutkan terakhir ini berisi ketentuan baru, dan mengikat bagi UE mengenai energi terbarukan untuk tahun 2030 sekurang-kurangnya 32%.

Pada tahun 2017, energi terbarukan mewakili 17,5% dari energi yang dikonsumsi di UE di jalur menuju target 2020 sebesar 20%. Indonesia dan Malaysia bermasalah dengan target tersebut.

Minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) sebagai produk unggulan dari negara serumpun ini tidak direkomendasikan sebagai bahan bakar nabati di wilayah UE. Alasannya, menurut data ilmiah (Komisi Eropa bahkan menggunakan istilah (the best available scientific data), CPO berisiko tinggi terhadap alih fungsi lahan.

Pekan pertama pada Maret 2019, Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad menandatangani surat keberatan bersama untuk UE atas rencana blok tersebut. Bagi Indonesia dan Malaysia, RED II bukan untuk mempromosikan keberlanjutan di sektor minyak nabati, tetapi untuk menghapus dan memberlakukan larangan tentang impor CPO ke sektor bahan bakar nabati.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian RI Darmin Nasution, dalam rapat koordinasi soal UEs Delegation Act di kantornya, Senin (18/3/2019), bahkan menyatakan siap untuk menguji tindakan ini ke Organisasi Perdagangan Dunia atau World Trade Organization (WTO).

Data rujukan dalam laporan final yang diketengahkan Komisi Eropa kepada Parlemen di Brussels pada 13 Maret 2019 menampilkan kaitan signifikan antara sawit dan tingkat deforestasi. Selama 2008-2015, 45% dari ekspansi perkebunan sawit terjadi di daerah dengan cadangan karbon tinggi, dan hal ini tidak sebanding dengan bahan baku lainnya.

Namun, Komisi Eropa membuat restriksi bahwa mereka tidak sedang mengunci pintu masuk terhadap CPO, produk minyak sawit yang disertifikasi dengan risiko perubahan pengunaan lahan tidak langsung (ILUC) rendah, dapat terus mendapatkan manfaat dari insentif.

Pengecualian termasuk misalnya penanaman di tanah yang tidak digunakan. Pengecualian lain adalah petani kecil, mengingat peran pentingnya petani kecil di Indonesia dan Malaysia.

Komisi Eropa masih membuka ruang dialog dan diskusi soal isu ini, apalagi mengingat ancaman Indonesia dan Malaysia bakal menghambat jalan Kemitraan Strategis antara ASEAN-UE bila suara kedua negara diabaikan oleh Komisi Eropa.

Dalam ruang-ruang dialektis itulah Indonesia dan Malaysia mesti memiliki data yang lebih komprehensif untuk menandingi justifikasi deforestasi tertinggi atas produksi CPO. Terlebih jika nanti negosiasi buntu dan perkara sampai ke meja Badan Penyelesaian Sengketa WTO, data-data dan dokumen hukum menjadi kekuatan argumen para pihak.

Paling tidak, Indonesia harus menjawab beberapa hal berikut: Pertama, apakah benar perkebunan sawit yang dikembangkan di Indonesia langsung dari daerah dengan cadangan karbon tinggi?

Kedua, sejauh apa pemerintah Indonesia membentuk dan melaksanakan peraturan yang kuat tentang pengembangan perkebunan sawit berkelanjutan?

Ketiga, perdebatan sengit mungkin terkait komparasi CPO dengan minyak nabati lain, yakni soal yang paling efisien untuk memenuhi kebutuhan dunia?

Membenahi tata kelola

Tahun lalu Presiden Joko Widodo menerbitkan Instruksi Presiden (Inpres) No. 8 Tahun 2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit. Durasi yang diberikan selama tiga tahun. Sayangnya, berjalan akhir semester pertama di 2019 ini tidak banyak perkembangan dari pelaksanaan Inpres ini.

Tidak adanya petunjuk teknis membuat beberapa ketentuan yang hendak mengevaluasi izin dan memperbaiki tata kelola sawit Indonesia tersebut menjadi ambigu.

Sebagai contoh, Inpres memerintahkan Menko Bidang Perekonomian untuk mengkoordinasikan agenda ini namun di sisi lain juga ditugaskan untuk membentuk Tim Kerja dalam rangka pelaksanaan koordinasi pelaksanaan Inpres. Di situ titik kewenangan pengkoordinasian menjadi ambigu, apakah di Tim Kerja atau oleh Menko Perekonomian sendiri? Jikalau kedua-duanya, sebatas apakah kewenangan mereka?

Selanjutnya, karena tidak disertai dengan arahan teknis yang jelas, tugas-tugas penting, seperti koordinasi data juga tidak terlaksana. Dengan kondisi ini bagaimana Indonesia bisa memperkuat klaim telah mengelola industri sawit secara berkelanjutan, sedang instrumen untuk memperbaiki tata kelola itu sendiri tidak digunakan.

Transparansi adalah kunci. Bagaimana publik bisa mengukur pelaksanaan moratorium izin baru perkebunan sawit bila data izin itu sendiri tidak transparan. Sebagai contoh, menurut data Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) (2017), dua kali moratorium lewat Inpres No. 10 Tahun 2011 dan Inpres No. 6 Tahun 2013 tentang Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut, pemerintah toh juga mengeluarkan izin mencapai 11.362.981 hektare (ha). Yang terdiri dari; pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan 1.677.217,52 ha; Kebun kayu melalui skema perizinan izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan tanaman (IUPHHK-HT) 1.725.467 ha; izin pinjam pakai kawasan hutan 193.896 ha; dan pelepasan kawasan hutan untuk pemenuhan permintaan wilayah administrasi daerah dalam bentuk area peruntukan lain (APL) 7,7 juta ha di 20 provinsi.

Baru-baru ini, Kedeputian Bidang Koordinasi Pangan dan Pertanian, Kementerian Koordinator bidang Perekonomian mengeluarkan perintah yang bertolak-belakang, bahkan bertentangan dengan agenda pemerintah dalam percepatan penyelesaian konflik agraria.

Misalnya Surat Edaran No. TAN.03.01/265/D.II.M.EKON/05/2019 yang menghendaki pengecualian data atau informasi hak guna usaha (HGU) perusahaan sawit dari jenis informasi yang dapat diakses oleh publik.

Langkah yang ditempuh akibat tak sinkronnya agenda pemerintah ini jelas tidak berdasar hukum. Mahkamah Agung (MA) telah menerbitkan putusan No. 057/XII/KIP-PS-M-A/2015 jo putusan MA No. 121 K/TUN/2017 yang memerintahkan pemerintah melalui Menteri ATR/BPN untuk membuka data Hak Guna Usaha milik perusahaan perkebunan sawit yang masih berlaku.♦

Alex Kaka
Spesialis Hukum dan Kebijakan Komunitas Konservasi Indonesia

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×