Reporter: Tri Adi | Editor: Tri Adi
Tidak terasa akhirnya kita telah meninggalkan tahun 2018 Seperti kita rasakan, tahun lalu menjadi tahun yang penuh dinamika dalam pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Kondisi hari ini begitu riuh rendah dengan aroma kompetisi di bidang politik yang begitu kental. Begitu juga dengan industri perbankan syariah, saat memasuki tahun 2019, tampaknya masih menyisakan beberapa problem utama sampai dengan tahun lalu.
Sejatinya ada dua persoalan utama yang dihadapi bank syariah di Indonesia. Pertama, kualitas aset yang rendah dan kedua, permodalan terbatas.
Kualitas aset yang rendah dibuktikan dengan tingginya pembiayaan bermasalah. Tidak hanya Bank Muamalat, Bank BJB Syariah, Bank Panin Dubai Syariah, Bank Syariah Bukopin, Bank BRI Syariah juga harus berkeringat untuk menyelesaikan problem kualitas aset yang rendah ini.
Mengapa pembiayaan bermasalah terlalu tinggi dan melewati standar? Karena pembiayaan yang diberikan bank syariah adalah pembiayaan riil, yang tengah berada di siklus perekonomian yang menurun, dengan ekspansi pembiayaan yang melambat. Kondisi ini menyebabkan penurunan kualitas aset dan meningkatnya pembiayaan bermasalah.
Selain faktor eksternal seperti belum stabilnya kondisi ekonomi dan faktor regulasi, bank syariah juga harus konsentrasi memperbaiki kualitas internal bank. Faktor internal bank diantaranya karakter dan kapasitas sumber daya insani bank serta kapasitas dan karakter nasabah. Faktor kapasitas sumber daya insani begitu berpengaruh terhadap tingginya pembiayaan bermasalah ini.
Problem kedua yang dihadapi perbankan syariah di Indonesia baik bank umum syariah (BUS) dan unit usaha syariah (UUS) adalah permodalan yang masih terbatas. Sebagaimana dimaklumi, dari 34 pemain di industri perbankan syariah 13 adalah bank umum syariah dan sebanyak 21 berbentuk unit usaha syariah.
Bagaimana sebaran modal BUS dan UUS ini. Dari 13 bank umum syariah hanya Bank Syariah Mandiri (BSM) yang masuk bank dengan kategori modal sampai Rp 30 triliun. Sedangkan tujuh bank seperti BTPN Syariah, BNI Syariah, BCA Syariah, Aceh Syariah, Mega Syariah, BRI Syariah, Muamalat masuk kategori modal Rp 1 triliun sampai dengan Rp 5 triliun.
Sementara, Maybank, Victoria, Bukopin Syariah, BJB Syariah dan Panin Dubai memiliki modal dibawah Rp 1 triliun. Ini merupakan fakta gambaran dari besaran modal bank umum syariah di Indonesia saat ini.
Lalu bagaimana dengan permodalan unit usaha syariah. Saat ini terdapat 21 unit usaha syariah (UUS). Dari 21 unit usaha syariah itu sebagian besar dimiliki pemerintah daerah (BPD). Rata-rata 15 BPD yang ada saat ini memiliki modal dibawah Rp 1 triliun.
Sedangkan bank swasta nasional memiliki modal lebih baik. Dengan demikian dapat kita lihat betapa terbatasnya permodalan industri perbankan syariah kita.
Memahami latar belakang diatas, maka pada tahun ini, perbankan syariah harus memperhatikan tantangan pengelolaan likuiditas. Kondisi tersebut tidak terlepas dari keadaan global yang menjadi perhatian banyak pihak.
Misalnya apakah bank sentral Amerika Serikat The Federal Reserve (The Fed) bakal mengerek kembali suku bunga The Fed Fund Rate mereka, atau tidak. Jika naik, biasanya akan memicu keketatan likuiditas di pasar keuangan global.
Masalahnya, likuiditas pada kondisi hari ini sangat penting untuk bank syariah dalam menjalankan aktivitas bisnisnya. Apakah itu untuk mengatasi kebutuhan mendesak, memenuhi permintaan nasabah terhadap pembiayaan, dan memberikan fleksibilitas dalam meraih kesempatan investasi yang menarik dan menguntungkan.
Likuiditas yang tersedia harus cukup, tidak boleh terlalu kecil. Sebab likuiditas yang pas-pasan, bisa mengganggu kebutuhan operasional sehari-hari. Tetapi likuiditas juga tidak boleh terlalu besar, karena akan menurunkan efisiensi dan berdampak pada rendahnya tingkat profitabilitas.
Agenda bank syariah
Oleh karena itu, bank syariah harus berfokus mengantisipasi datangnya risiko likuiditas. Yakni risiko akibat ketidakmampuan bank syariah untuk memenuhi kewajiban yang jatuh tempo dari sumber pendanaan arus kas dan/atau aset likuid berkualitas tinggi yang dapat diagunkan. Pengelolaan risiko tersebut tanpa mengganggu aktivitas dan kondisi keuangan bank.
Agar mampu mengelola manajemen risiko likuiditas, seluruh bank syariah harus mampu mengelola secara ketat komposisi dan konsentrasi dari aset dan kewajiban serta kerentanan bank syariah pada kebutuhan pendanaan. Selain itu, bank syariah harus memiliki kemampuan dalam memperoleh sumber-sumber pendanaan pada kondisi normal maupun krisis.
Berpijak dari uraian di atas, maka bank syariah perlu melaksanakan beberapa strategi untuk menghadapi hal tersebut. Seperti dengan memperbaiki finance to deposit ratio (FDR). Strategi lainnya adalah tidak hanya mengandalkan dana pihak ketiga (DPK) tapi juga menerbitkan sukuk ataupun menambah modal dari induk.
Seluruh bank syariah harus fokus pada faktor utama yang memengaruhi likuiditas bank syariah, agar memperbaiki FDR ini. Yaitu faktor eksternal dan faktor internal. Faktor eksternal adalah karakteristik penabung, kondisi ekonomi dan moneter serta persaingan antar lembaga keuangan. Adapun faktor internal yakni manajemen risiko likuiditas, pengelolaan likuiditas, perencanaan likuiditas serta strategi pengelolaan likuiditas.
Nah, sebagai antisipasi dan mengatasi persoalan likuiditas yang bisa menggangu jalannya roda bisnis perbankan syariah, maka perbankan syariah harus memperhatikan beberapa hal. Pertama, menggiatkan sosialisasi bank islam dengan menjelaskan aspek ekonomi dan sistem nilai keislaman kepada masyarakat.
Melalui langkah ini ada tambahan nasabah bank syariah yang ujungnya adalah peningkatkan dana baru yang bisa sebagai instrumen untuk meningkatkan ekspansi bisnis. Deposan diharapkan juga tidak terpengaruh dengan return yang tinggi yang ditawarkan bank konvensional.
Kedua, memperkuat koordinasi, komunikasi dan pengertian dengan deposan atau investor dan partner bisnis. Sekaligus mengidentifikasi berapa banyak deposan rasional yang dimiliki bank dengan mengamati berapa banyak penarikan dan pemindahan dana ke bank konvensional ketika return nya lebih tinggi. Ketiga, mendisain portofolio bank termasuk instrumen likuid.
Akhirnya, risiko likuiditas adalah elemen kunci untuk pengembangan bank syariah. Untuk itu bank syariah harus mencari beragam sumber dana untuk membiayai aktivitas pembiayaan dan investasinya.
Bank syariah juga harus bisa menyediakan beragam sumber dana untuk membayar permintaan pemilik rekening, menyediakan dana committed untuk transaksi musyarakah dan menyediakan arus kas untuk pembayaran biaya lainnya. Dengan cara ini bank syariah bisa lebih baik di 2019.•
Bambang Rianto Rustam
Doktor Ilmu Ekonomi Universitas Trisakti
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News