Reporter: Harian Kontan | Editor: Tri Adi
Pemilihan presiden (Pilpres) dan pemilihan legislatif (Pileg) serentak pada 17 April 2019 sudah usai. Kepastian politik bakal membangkitkan sektor properti yang merupakan salah satu indikator pertumbuhan sektor riil. Bagaimana bank meraih rezeki dari sektor properti?.
Bagaimana kinerja sektor properti? Statistik Ekonomi Keuangan Indonesia mencatat bahwa kredit properti tumbuh 16,57% dari Rp 795,56 triliun per Januari 2018 menjadi Rp 927,35 triliun per Januari 2019, yang meliputi kredit konstruksi, realestat, dan kredit pemilikan rumah (KPR) dan kredit pemilikan apartemen (KPA). Inilah perinciannya. Kredit konstruksi tumbuh tertinggi 24,69% dari Rp 245,48 triliun menjadi Rp 306,08 triliun (dengan kontribusi 33,01% dari total kredit properti).
KPR dan KPA tumbuh 13,53% dari Rp 411,54 triliun menjadi Rp 467,24 triliun. Meskipun pertumbuhan itu lebih rendah daripada kredit konstruksi, tetapi KPR dan KPA berkontribusi tertinggi 50,38%. Kredit real estat tumbuh 11,18% dari Rp 138,54 triliun menjadi Rp 154,03 triliun (kontribusi 16,61%). Inilah rapor sektor properti yang cukup menjanjikan.
Ingat, sektor properti merupakan salah satu indikator pertumbuhan ekonomi nasional suatu negara. Untuk itu, pemerintah terus menggeber agar sektor properti lebih berkembang dengan berbagai stimulus.
Pertama, pemotongan bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB) dari 5% menjadi 2,5%. Hal ini bertujuan untuk mendorong investor melakukan investasi properti plus investasi di dana investasi real estat (DIRE).
Kedua, melalui Peraturan Anggota Dewan Gubernur Bank Indonesia (BI) Nomor 20/22/PADG/2018, BI telah melakukan relaksasi loan to value (LTV) efektif 1 Agustus 2018. Relaksasi LTV diharapkan menjadi insentif bagi bank, pengembang dan (calon) nasabah.
Relaksasi LTV ini meliputi beberapa butir penting, yakni pembebasan LTV untuk pembelian rumah pertama semua tipe rumah dengan KPR. Rasio LTV untuk rumah kedua dan seterusnya 80%-90% kecuali rumah tipe 21 meter persegi (m) yang bebas LTV. Selain itu, KPR inden dengan maksimal lima fasilitas kredit.
Butir terakhir, penyesuaian aturan tahapan pencairan kredit menjadi maksimal pencairan kumulatif sampai 30% dari plafon setelah akad kredit ditandatangani, 50% dari plafon ketika pondasi selesai, 90% dari plafon ketika atap selesai dan 100% dari plafon ketika penandatanganan serah terima dan akta jual beli (AJB).
Ketiga, program perumahan bersubsidi untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) yang dibiayai melalui skema fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan (FLPP). Program ini menjadi pengungkit bergairahnya sektor properti. Mengapa demikian? karena KPR FLPP ini menawarkan suku bunga tetap (fixed rates) 5% dengan tenor sampai 20 tahun dengan uang muka 1% dengan jumlah kredit hingga Rp 350 juta.
Aneka jurus
Lantas, jurus apa saja yang patut dimainkan oleh bank umum untuk meraup rezeki dari sektor properti? Pertama, sektor properti makin menjadi rezeki yang legit. Majalah perbankan Infobank, April 2019 mencatat dari total 115 bank, terdapat 58 bank umum yang menyalurkan kredit properti hingga September 2018. Dari 58 bank umum ini, terdapat 10 besar bank umum yakni Bank Tabungan Negara (BTN), Bank Negara Indonesia (BNI), Bank Central Asia (BCA), Bank Mandiri, Bank CIMB Niaga, Paninbank, Bank Mayapada, Bank Maybank Indonesia, Bank OCBC NISP dan Permatabank. Bank Rakyat Indonesia (BRI) ada di urutan berapa? Di urutan 43. Kok bisa? Ini berarti BRI tidak rajin menggarap properti melainkan usaha mikro kecil dan menengah (UMKM).
Seiring dengan bisnis intinya, BTN menjadi pemimpin pasar (market leader) dalam kredit properti yang naik Rp 142,91 triliun per September 2017 menjadi Rp 196,50 triliun per September 2018 (naik 37,50%). BNI menyusul dari Rp 47,13 triliun menjadi Rp 79,06 triliun (67,75%) dan BCA dari Rp 60,18 triliun menjadi Rp 64,93 triliun (7,89%). Data ini menegaskan bahwa sebagian besar bank umum papan atas memburu rezeki dari kredit properti.
Kedua, bank umum wajib memegang prinsip kehati-hatian dalam menyalurkan kredit properti. Sekalipun Peraturan Anggota Dewan Gubernur BI Nomor 20/22/PADG/2018 tersebut membebaskan uang muka KPR, tetapi bank umum hendaknya tetap waspada, Mengapa?. Hal ini lantaran uang muka nol persen ini berarti bank umum tidak memiliki bantalan (buffer) sama sekali.
Ketiga, Anda sebagai (calon) nasabah justru disarankan untuk mengambil KPR dengan uang muka tinggi. Karena rumusnya semakin rendah uang muka, semakin tinggi angsuran.
Apalagi, kini pemerintah memperluas penerima KPR FLPP kepada Aparatur Sipil Negara (ASN) dan TNI Polri dengan mengubah pendapatan dari Rp 4 juta menjadi Rp 8 juta per bulan. Angka Rp 8 juta disesuaikan dengan gaji ASN golongan III.
Keempat, bank umum juga wajib meningkatkan kualitas kredit dengan memperbaiki rasio kredit bermasalah atau non performing loan (NPL). Statistik Perbankan Indonesia mencatat NPL bank umum membaik dari 2,88% per Februari 2018, menjadi 2,58% per Februari 2019 di bawah ambang batas 5%.
Jangan lupa bahwa NPL tinggi akan mendorong kenaikan cadangan kerugian penurunan nilai (CKPN) sehingga dapat menggerus laba perbankan. Bahkan NPL tinggi akan menggerogoti modal padahal modal justru harus digenjot terus menerus.
Kelima, bank umum dan (calon) nasabah pun wajib mempertimbangkan kredibilitas pengembang. Hal ini penting mengingat sering dijumpai pengembang nakal sehingga pembangunan rumah tidak pernah terwujud meskipun uang muka KPR sudah lunas. Celakanya, calon nasabah selalu menjadi korban. Mau lapor kepada siapa? Pengembangnya sudah kabur.
Bagaimana mengatasinya? Salah satu kiatnya asosiasi perumahan seperti Asosiasi Pengembang Perumahan dan Pemukiman Seluruh Indonesia (APERSI), Real Estate Indonesia (REI), Asosiasi Pengembang Perumahan Rakyat Indonesia, Asosiasi Penyiapan dan Penyediaan Papan Indonesia (APEPPI) sudah mestinya membuat peringkat pengembang dalam kurun waktu tertentu, misalnya setahun sekali.
Apa manfaatnya? Peringkat pengembang tersebut akan sangat bermanfaat bagi (calon) nasabah dalam memilih rumah atau apartemen. Dengan demikian, kasus pengembang nakal akan terkikis pelan-pelan.
Selain itu, sekiranya peringkat pengembang ini mendapat kepercayaan masyarakat sebagai pengguna akhir (end users) perumahan, maka otomatis kredibilitas asosiasi ini akan semakin tinggi. Kredibilitas pengembang pun ikut terkerek tinggi.
Tak berhenti di sana. bank umum pun dapat lebih mengembangkan kerja sama dengan para pengembang yang berada di peringkat atas. Kerja sama ini dapat menghasilkan suku bunga kredit yang lebih kompetitif untuk menarik calon nasabah.♦
Paul Sutaryono
Staf Ahli Pusat Studi BUMN
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News