kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45920,31   -15,20   -1.62%
  • EMAS1.347.000 0,15%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Prospek Perdagangan Global Indonesia


Kamis, 20 Februari 2020 / 12:36 WIB
Prospek Perdagangan Global Indonesia
ILUSTRASI.


Sumber: Harian KONTAN | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti

KONTAN.CO.ID - Tahun 2011 adalah yang terakhir kalinya ekspor Indonesia mencapai lebih dari US$ 200 miliar. Setelah harga komoditas jatuh secara drastis dan ekonomi global melambat, efek positif dari globalisasi yang dirasakan Indonesia tiba-tiba memudar.

Baru-baru ini, neraca perdagangan yang negatif menjadi isu yang sangat menjengkelkan. Ini mengganggu seluruh komite ekonomi nasional dan memaksa pemerintah menyusun tindakan untuk mengurangi defisit.

Hal yang menjengkelkan lainnya adalah mendengar para pembuat kebijakan dan akademisi yang mengulang ide-ide yang sama yang telah dipaparkan di luar negeri. Seolah-olah Indonesia menderita penyakit yang sama.

Masuk akal jika mengetahui bahwa hampir seluruh negara terkena dampak dari perang dagang Amerika Serikat dan China. Dan sebuah kebenaran pula jika harga komoditas menyebabkan penurunan tajam dalam perdagangan global sejak 2012. Lantas investasi global melambat. Fakta lainnya, sejumlah negara sebagai mesin pertumbuhan, di Eropa, Jepang dan lainnya, kini melambat. Belum lagi kebijakan proteksionisme Amerika Serikat dan keluarnya Inggris dari Uni Eropa.

Beberapa isu tersebut patut mendapat perhatian lebih jika melihat Indonesia. Negara ini terpukul lebih keras daripada negara lain saat harga dan permintaan komoditas jatuh. Padahal di 2011, Indonesia merupakan negara dengan performa ekspor tinggi dan kini statusnya dipertanyakan.

Yang menarik, negara tetangga di ASEAN dapat pulih lebih cepat setelah terdampak perlambatan ekonomi. Ekspor Vietnam terduplikasi dalam tujuh tahun terakhir. Sebaliknya ekspor Indonesia di 2012 jatuh 20% dari 2011. Volume ekspor Thailand juga cuma berubah kecil dan Filipina malah meningkat ekspornya.

Sembilan dari 15 produk ekspor teratas Indonesia jatuh di bawah level 2014. Lima belas produk top ekspor tersebut menyumbang 35% dari total ekspor pada tahun 2018 dan jumlah tersebut signifikan terhadap total penurunan ekspor. Jika kita memperlebar daftar menjadi 50 barang ekspor utama, produk itu menyumbang hampir 58% dari total ekspor. Namun ada 35 barang mengalami perlambatan ekspor serius pada 2018.

Jadi dapat dikatakan masalah neraca perdagangan adalah persoalan daftar produk utama ekspor yang ada masalah. Sebagian besar mengalami tekanan dan melambatnya nilai ekspor.

Sudah menjadi rahasia umum, jika suatu negara mengandalkan sumber daya alam, tanda bahagia muncul saat harga komoditas melambung dan depresi saat harga turun dan permintaan ikut-ikutan melorot.

Masalahnya, dari 50 barang ekspor utama, 39 barang adalah komoditas sumber daya alam. Seperti minyak kelapa sawit mentah atau crude palm oil (CPO), batu bara, bahan kimia organik, kertas, kayu, karet, logam, mineral, dan produk hasil pertanian.

Persoalan lainnya adalah terlalu banyak telur yang ditaruh di keranjang yang sama. Konsentrasi ekspor yang tinggi pada beberapa pasar cenderung berisiko. Jepang adalah mitra terbaik Indonesia selama bertahun-tahun. Saat perekonomian Jepang melambat, mitra utama ekspor Indonesia mulai beralih ke China Korea, Malaysia, Singapura, Thailand, Amerika Serikat, dan Arab Saud. Tapi negara itu juga telah menurunkan impor dari Indonesia. Setidaknya, kemunculan Cina membuat ekspor Indonesia tetap bertahan.

Di antara mitra ekspor utama lainnya, hanya Australia, Vietnam, dan UEA yang berkontribusi terhadap pertumbuhan. Yang lain justru memperlambat permintaan barang Indonesia. Kabar baiknya beberapa pasar muncul sebagai bintang baru. Meski volume ekspor masih kecil, yakni Ukraina, Swiss, Finlandia, Angola, Iran, Gabon, Mesir, Yordania, Oman, Norwegia, Kongo, Pakistan, dan Belarus.

Ekspor melambat

Masalah lain terkait harga komoditas seperti CPO, tembaga, nikel dan batubara. Ketika harga sedang rendah, kita semua mengetahui betapa sulitnya mempertahankan keseimbangan perdagangan yang positif ketika negara bergantung pada komoditas.

Turunnya investasi global juga menyertai kisah perlambatan ekspor Indonesia. Aliran masuk FDI di sektor primer dan sekunder mengalami fluktuasi di tengah kejatuhan dan kenaikan ekspektasi harga komoditas. Tapi untuk menarik investasi masuk di saat pasar pesimis cukup sulit. Meski banyak janji yang bakal diterapkan. Sayang pada saat resesi, pasar tidak pernah lupa bahwa beberapa janji di masa lalu telah dilanggar, tidak peduli apakah alasan itu masuk akal atau tidak.

Kebijakan sektor pertambangan untuk meningkatkan nilai tambah tampaknya sudah sangat baik, tetapi terjadi di waktu yang kurang pas. Setelah diberlakukannya larangan ekspor 65 mineral mentah pada 2014, ekspor mineral langsung menurun signifikan. Meskipun penurunan itu tidak sepenuhnya terkait dengan hambatan perdagangan, hanyanwaktunya mungkin tidak tepat.

Sementara selama dua tahun terakhir para pembuat kebijakan di Indonesia telah mencari tahu cara mendapat manfaat dari perang dagang. Tapi Indonesia kesulitan untuk mengganti barang dari Cina. Salah satu sebab karena barang China yang tidak boleh masuk ke Amerika memiliki teknologi lebih tinggi dari barang ekspor Indonesia. Dari daftar 200 barang China yang dilarang di Amerika (putaran awal), Indonesia memiliki keunggulan hanya pada beberapa produk saja.

Menarik investasi untuk menggantikan China juga bukan hal mudah. Indonesia belum mampu mengembangkan rantai pasok kuat pada suku cadang dan komponen. Selain itu upah di Indonesia tidak dipandang kompetitif, dan lingkungan bisnis perlu ditingkatkan.

Upaya untuk meningkatkan daya saing sudah ada tetapi hasil dari upaya tidak datang secepat yang dibutuhkan. Kurangnya rantai pasokan lokal juga mempengaruhi daya saing Indonesia. Sebagian besar impor adalah barang modal dan barang setengah jadi yang masih dibutuhkan untuk sektor lokal. Sembilan industri utama di Indonesia juga bergantung pada bahan baku impor. Untuk saat ini, Vietnam mendapat manfaat lebih dari hal tersebut.

Aspek terakhir yang perlu dipertimbangkan adalah rencana pembangunan infrastruktur Indonesia sebagian besar membutuhkan barang impor. Menunda proyek tersebut berarti bisa menekan neraca perdagangan pada 2020.

Sekarang tentu bukan saatnya untuk berpikir negatif dan kurang optimistis. Semua upaya harus disambut dan didukung secara positif. Kebijakan tersebut membantu menurunkan beban bahan bakar asing sebagai upaya meningkatkan nilai tambah domestik dan melakukan substitusi input asing.

Menyelesaikan aspek jangka pendek memang penting, tetapi di sisi lain dituntut pula pandangan yang lebih jauh tentang pengembangan kekuatan industri dalam jangka panjang. Dibutuhkan peningkatan produktivitas, peningkatan teknologi, keterampilan ulang tenaga kerja, pengembangan rantai pasok, peningkatan logistik, dan visi yang lebih global (ambisi untuk memperluas pasar ke luar negeri).

Penulis : Miguel Angel Esquivias Padilla

Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Airlangga

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP) Negosiasi & Mediasi Penagihan yang Efektif Guna Menangani Kredit / Piutang Macet

[X]
×