| Editor: Tri Adi
Minyak kelapa sawit atau crude palm oil (CPO) telah tumbuh menjadi komoditas paling penting di Indonesia dalam 15 tahun terakhir. Produksi CPO tahun 2017 diperkirakan 35 juta ton, melesat lima kali lipat dibandingkan tahun 2000, yang hanya sebesar 7 juta ton. Luas kebun sekarang 12,3 juta hektar (ha), meningkat tiga kali lipat dibandingkat tahun 2000 yang seluas 4 juta ha.
Ekspor minyak kelapa sawit adalah penyumbang divisa terbesar dibandingkan komoditas lain, sekitar US$ 14,3 miliar pada tahun 2016. Pernah mencapai US$ 17,6 miliar tahun 2012 saat commodity boom. Indonesia adalah pengekspor minyak kelapa sawit terbesar di dunia, mengalahkan ekspor Malaysia sejak tahun 2009.
Tenaga kerja di perkebunan dan industri kelapa sawit sebesar 5,3 juta orang. Tenaga kerja tidak langsung di sektor yang terkait sektor perkebunan dan industri kelapa sawit sekitar 12 juta.
Komoditas kelapa sawit di masa mendatang masih mungkin berkembang, tapi menghadapi beberapa tantangan. Pertama, harus meningkatan produktivitas, terutama perkebunan rakyat. Ini agenda terpenting, mengingat peningkatan produksi melalui perluasan lahan akan semakin sulit di masa mendatang, karena lahan semakin terbatas.
Peningkatan produktivitas dengan mengganti pohon dengan bibit (replanting) yang baik, pemupukan cukup dan perawatan intensif adalah strategi yang harus dijalankan. Terlebih perkebunan rakyat, peningkatan produktivitas bukan hanya strategi mendorong produksi minyak kelapa sawit secara umum, juga cara meningkatkan pendapatan petani dan menurunkan angka kemiskinan.
Data Direktorat Perkebunan menunjukan, pada tahun 2016, produktivitas perkebunan rakyat hanya 2,3 ton per ha, sementara perkebunan besar swasta sebesar 3,1 ton per ha. Apalagi perkebunan rakyat hampir 40% dari total luas perkebunan sawit. Berdampak luas jika perkebunan rakyat meningkatkan produktivitasnya.
Kedua, perkebunan kelapa sawit perlu mengembangkan praktik pengelolaan kebun berkelanjutan. Pengelolaan berkelanjutan ini sangat terkait dengan produktivitas meningkat dan biaya produksi ditekan menjadi lebih efisien. Sehingga, pendapatan petani sawit meningkat. Selanjutnya, petani tak terdorong melakukan praktik berkebun yang merusak lingkungan. Seperti terus membuka lahan baru atau membakar lahan untuk menyiapkan areal penanaman bibit baru.
Ketiga, Pemerintah Indonesia perlu memperjuangkan perdagangan internasional fair. Saat ini CPO banyak mendapat hambatan perdagangan di Eropa. Padahal di saat bersamaan produk-produk lain juga mengalami masalah lingkungan, tidak mengalami hambatan perdagangan seperti, kedelai, jagung dan gula. Memblok akses pasar CPO oleh negara maju justru berpotensi merangsang praktik perkebunan yang tidak berkelanjutan. Pemblokan akses pasar bisa membuat harga lebih rendah dan mendorong petani mencari cara yang lebih murah dalam mengelola kebun dantidak memperhatikan lingkungan.
Saat ini, CPO di dunia yang tersertifikasi Roundtable Sustainable Palm Oil (RSPO) baru 11,6 juta ha atau 19% dari total lahan perkebunan CPO dunia. Sebanyak 51% adalah CPO dari Indonesia.
Jadi, Indonesia adalah negara terdepan dalam sertifikasi ini. Namun masih banyak lahan harus disertifikasi dan praktik perkebunan ramah lingkungan masih harus terus disosialisasikan ke petani maupun perusahaan perkebunan sawit.
Agenda penting di forum internasional adalah tidak ada hambatan atau pemblokiran perdagangan CPO di dunia, seperti ancaman oleh negara Eropa. Sistem perdagangan dunia seharusnya memberikan insentif bagi penerapan praktik pengelolaan kebun CPO berkelanjutan dengan mendorong perdagangan CPO yang bersertifikasi. Selain itu, negara-negara maju seharusnya menghargai CPO bersertifikasi dengan berani membayar (willingness to pay).
Jadi, petani atau perusahaan perkebunan akan memiliki insentif mempraktikkan usaha perkebunan berkelanjutan dan memperoleh sertifikasi. Kita berharap pemerintah memperjuangkan perdagangan yang fair ini. Sementara, petani dan perusahaan perkebunan terus memperbaiki praktik perkebunan ramah lingkungan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News