kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.249.000 2,21%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Proteksi tak bergigi


Selasa, 14 Mei 2019 / 15:03 WIB
Proteksi tak bergigi


Reporter: Thomas Hadiwinata | Editor: Tri Adi

Kiprah terakhir Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump menaikkan tarif impor untuk barang buatan China justru menuai suara kontra di negerinya. Sangat sulit menemukan komentar yang mengapresiasi kebijakan yang diambil Trump pada Kamis kemarin.

Sudut pandang ketidaksetujuan terhadap kebijakan Trump belakangan ini juga nyaris sama. Pertama-tama, aksi unilateral yang diandalkan pemerintahan Trump tidak efektif untuk mendapat kesepakatan dagang yang lebih menguntungkan dengan China.

Setelah tiga kali menaikkan tarif impor atas barang made in China, AS cuma mendapat aksi balasan serupa. Produk andalan AS untuk menembus Negeri Tembok Raksasa, seperti kedelai, terkena aksi balasan berupa kenaikan tarif.

Membuntuti aksi terakhir Trump dalam menaikkan tarif masuk atas barang buatan China, para ekonom di AS pun kian lantang menyerukan pemerintahan negerinya untuk kembali ke jalur multilateral.

Alih-alih maju sendiri ke meja perundingan, AS bisa mengajak negara lain untuk menekan China. Aksi bersama ini bisa dilakukan, misalnya, melalui jalur WTO, seperti yang lazim dilakukan di masa lalu.

Kendati belum tentu menuai hasil dalam waktu dekat, format multilateral tidak akan menimbulkan efek bumerang, yang selalu membuntuti kebijakan kenaikan tarif masuk.

Saat ini, pembeli barang buatan China di AS lah yang sebetulnya menanggung hukuman atas kebijakan pemerintahan Trump. Mereka harus menanggung harga barang buatan China yang lebih mahal.

Logika yang kerap disorongkan oleh mereka yang setuju dengan aksi proteksi berupa kenaikan tarif impor adalah menghilangkan keunggulan harga yang dimiliki produk buatan impor. Setelah tarif naik, harga barang impor paling tidak akan sama dengan produk lain, yang kerap diidentikkan dengan produk buatan dalam negeri.

Namun logika itu ternyata cuma berlaku di atas kertas. Bisa jadi karena keunggulan barang impor itu tidak semata-mata harga. Atau bahkan, barang impor itu tidak lagi memiliki pesaing di pasar AS.

Logika kubu pro proteksi itu juga kerap menghilangkan kenyataan bahwa banyak barang yang terkena kenaikan tarif itu justru barang yang dibutuhkan oleh industri dalam negeri sebagai bahan baku.

Semoga saja pemerintahan baru di negeri ini yang juga mengalami defisit perdagangan dengan China, bisa memetik pelajaran dari eksperimen proteksi ala Trump.♦

Thomas Hadiwinata

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×