kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45898,78   -24,72   -2.68%
  • EMAS1.319.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Puasa dan spirit multikulturalisme


Kamis, 09 Mei 2019 / 09:55 WIB
Puasa dan spirit multikulturalisme


Reporter: Harian Kontan | Editor: Tri Adi

Perspektif lain tentang tradisi keagamaan dalam puasa senyatanya memiliki benang merah dengan karsa merawat kebinekaan. Beberapa sekolah Kristen di Surabaya, punya tradisi mulia saat Ramadan tiba. Sebagai bentuk penghormatan terhadap temannya yang beragama Islam beberapa siswa Kristen turut menjalankan ibadah puasa meski tujuannya untuk program diet.

Mereka menjaga kultur pergaulan sepanjang puasa dengan tidak makan di depan siswa Muslim. Bahkan, mengharukan, atas inisiatif siswa Kristen sekolah mengadakan acara buka puasa bersama dengan penuh kekeluargaan. Sikap toleran yang diterapkan anak didik tersebut menjadi modal penting menjaga kerukunan.

Di Semarang, Jawa Tengah, kirab budaya dugder yang dicetuskan sejak tahun 1881 selain sebagai penanda awal puasa, terhampar panggung harmoni bersatunya pelbagai bendera etnik dan budaya di pawai kebersamaan. Di pelosok kampung remaja masjid berkeliling menghidupkan malam dengan menabuh kentongan untuk memberi tanda sahur tiba. Tak terkecuali tradisi menyumbang takjil ke masjid, tarawih berjamaah, tadarus dan buka puasa bersama membuka katup kebuntuan relasi sosial akibat fenomena konflik horizontal belakangan ini.

Dikotomi kasta sosial dan superioritas golongan tak berlaku lagi ketika umat Islam berbondong-bondong menuju masjid untuk tarawih, saling berjumpa, bersalaman dan bertukar salam. Masjid tidak kenal rintangan warna kulit. Masjid adalah wadah memadukan segala perbedaan, menghapus dikotomi superioritas dalam bingkai kebersamaan dan menegasikan kasta ekonomi maupun politik.

Di sinilah puasa Ramadan memiliki keutamaan prinsip membangun multikulturalisme, karena di dalamnya banyak mengajarkan kepada kita bahwa tidak ada yang istimewa di sisi Allah melainkan kualitas takwanya. Etnik Jawa, Tionghoa, Batak, Bugis, Minang, Madura sederajat dihadapan Allah. Dalam agama ada iman dan dalam entitas etnik ada martabat yang dijunjung tinggi.

Pemaknaan sosiologis Ramadan ini linear dengan khotbah wada' yang disampaikan Nabi Muhammad pada puncak misi kerasulannya. Bahwa orang-orang Arab tidak lebih utama dari orang non-Arab. Pun orang non-Arab tidak lebih unggul dari orang Arab.

Semua dilahirkan berasal dari Adam dan sama-sama tercipta dari tanah. Konsep persaudaraan tulen itu secara fundamental seharusnya mampu mempengaruhi dinamika relasi masyarakat yang bebas dari mengunggulkan ortodoksi dan baju primordialisme. Sehingga kekerasan, amuk dan prasangka benar-benar enyah dari sejarah perjalanan bangsa kita.

Kebijakan Islam

Dalam dunia kontemporer sering muncul semacam tangis kebutuhan akan aktualisasi kebajikan nilai-nilai Islam yang tasamuh (toleran), tawazun (seimbang), tawasut (moderat), dan tasyawur (dialog). Menjamurnya tindakan radikal yang memberangus kebinekaan dan kerap mengatasnamakan agama belakangan ini adalah tantangan nyata bagaimana ajaran Islam bisa diwujudkan dalam wajah yang lebih humanis, moderat dan inklusif. Maka dari itu, paradigma peneguhan iman dalam puasa selayaknya berorientasi pada semangat memperkuat isu multikulturalisme dan kemanusiaan demi terciptanya toleransi.

Arnold Toynbee dalam "Civilization on Trial" (1948) telah menahbiskan Islam sebagai agama yang menjunjung tinggi perbedaan (ras, etnik, agama, budaya, dan peradaban). Karena itu, dalam konteks beragama dan berbangsa penting dikemukakan tema besar persatuan sebagai prinsip dasar.

Menjaga persatuan di tengah perbedaan berarti memperkokoh fondasi kebangsaan agar tidak goyah. Merawat perbedaan dalam agama berarti mentaati hukum Tuhan sebagai pencipta perbedaan. Persatuan ibarat batangan lidi yang terberai kemudian dikumpulkan dan diikat pangkalnya. Sehingga tenaga kecil sebatang lidi menjelma jadi kekuatan besar.

Kehidupan berbangsa memerlukan ikatan batin yang kuat. Meski bangsa Indonesia terbentuk oleh kumpulan berdasarkan etnis, budaya dan agama berbeda, namun di balik diferensiasi itu tersimpan berkah kekuatan integrasi. Seluruh masyarakat bisa bersatu oleh kesamaan cita-cita menjadi negara merdeka, adil dan makmur berdasarkan Pancasila.

Umat Islam semakin menyadari kontribusi nilai multikulturalisme dalam kebajikan Islam bermakna penting bagi pilar kebangsaan karena pluralisme merupakan cikal bakal berdirinya Indonesia, prasyarat yang harus dipenuhi dan kenyataan sejarah yang tak boleh diingkari. Betapapun dalamnya menggali hakikat Indonesia, di lapisan dasar tersimpan benih yang kelak menumbuhkan identitas kultural bangsa bernama SARA.

Persoalannya persepsi pluralisme berbentuk SARA kini masih pejorative dan belum absen dari kultur politik kolonial yang segregatif. "Eer gevoel" adalah term populer dalam sejarah kolonial yang bermakna suku, agama dan kelompok yang satu lebih unggul dan mulia dari yang lain. Karena itu, pada aras kebangsaan pesan multikultural puasa harus diterjemahkan ke tata pergaulan dan sikap hidup toleran, sehingga pengakuan capaian prestasi moral memiliki legitimasi historis dan sosial yang kuat.

Peran pendidikan

Jika puasa memiliki keutamaan nilai multikulturalisme, suka atau tidak suka nilai-nilainya harus jadi ciri khas pendidikan di pesantren dan sekolah umumnya. Jalur pendidikan menjadi pilihan karena dua alasan: sekolah menjadi jenjang peralihan dari keluarga ke masyarakat dan sekolah memiliki tanggungjawab sosial-keilmuan memberikan dasar-dasar karakter kuat sebagai penopang lahirnya manusia inklusif, demokratis dan menjunjung tinggi perbedaan. Dengan demikian sekolah berperan ganda: mencerdaskan peserta didik lewat kegiatan alih pengetahuan dan melakukan transfer nilai (transfer value) sebagai pedoman dalam bergaul dan mendefinisikan diri dalam masyarakat.

Mengurus bangsa yang plural tidak sederhana seperti halnya berfikir hitam-putih. Sekolah harus melahirkan manusia kreatif dan menjadi pelopor pendidikan toleransi yang mempertemukan beragam etnik dan agama namun saling menghargai satu sama lain. Di sinilah guru berperan menjadi teladan keilmuan dan perilaku agar nafas kerukunan, toleransi dan kepatuhan yang bersumber dari ajaran agama diamalkan dengan baik.

Sekolah ditantang untuk mengembangkan praktik pendidikan berbasis multikultural. Anak didik diajak memahami dan mengelola secara piawai hakikat pluralisme. Salah satu penerapannya, misalnya tradisi saling mengunjungi teman berbeda agama yang merayakan lebaran. Sekolah dengan berbagai macam atribut keagamaannya perlu mempertimbangkan bersama nilai-nilai mana yang dapat ditanamkan kepada anak didik sehingga sejak dini mereka terbiasa mengembangkan hidup bersama.

Hanya demikian saripati puasa yang kental nuansa kebersamaannya mampu diejawantahkan dengan mempertemukan manusia-manusia dengan corak dan latar belakang agama berbeda.

Achmand Fauzi
Kolumnis dan Hakim Pratama Madya Pengadilan Agama Banjar

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP)

[X]
×