kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.249.000 2,21%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Puasa di era konsumerisme


Sabtu, 25 Mei 2019 / 10:10 WIB
Puasa di era konsumerisme


Reporter: Harian Kontan | Editor: Tri Adi

Tak bisa dipungkiri bahwa kecepatan arus modernitas telah melahirkan masyarakat konsumtif. Masyarakat modern saat ini tidak lagi mempertimbangkan fungsi atau kegunaan, ketika mengkonsumsi suatu produk, melainkan cenderung mengedepankan prestise atau gengsi yang melekat pada produk itu.

Dewasa ini, perilaku konsumtif yang sarat dengan pencarian prestise dan citra tidak hanya mempengaruhi cara seseorang mengkonsumsi barang dan jasa seperti membeli makan, minuman, berlibur dan sebagainya, tetapi juga sudah mempengaruhi cara/gaya seseorang melakukan spiritualitas keagamaan (beribadah), dalam hal ini melakukan ibadah puasa.

Perlu ditegaskan di sini, bahwa perilaku konsumtif adalah perilaku yang ditujukan untuk mengonsumsi secara berlebihan terhadap barang dan jasa yang kurang atau bahkan tidak diperlukan. Perilaku ini lebih banyak dipengaruhi oleh nafsu untuk memuaskan kesenangan dan lebih mementingkan logika keinginan ketimbang logika kebutuhan.

Lebih jauh dapat dikatakan bahwa perilaku konsumtif lebih mengutamakan sensasi ketimbang subtansi, kedangkalan ketimbang kedalaman, kulit ketimbang isi. Inilah nafsu rendah yang sengaja dipompa oleh ekonomi kapitalisme dalam bentuknya budaya populer yang tampaknya bertujuan mengerdilkan kualitas ibadah puasa kita.

Di dalam masyarakat Islam modern sekarang ini, kita melihat masuknya budaya populer, budaya komoditas, gaya hidup konsumerisme dan permainan citra, yang pada tingkat kedalaman tertentu telah menyeret berbagai realitas ritual keagamaan ke dalam ruang-ruang pengaruhnya.

Kita juga menyaksikan masyarakat konsumtif menganggap jalan spiritualitas sebagai gaya hidup (durasi, intensitas, kuantitas), penggunaan waktu, ruang, uang, dan barang di dalam kehidupan keagamaan. Maka, lahirlah apa yang disebut post-spiritualitas atau hiper spiritualitas.

Hal ini bisa kita lihat misalnya layanan paket berbuka puasa yang menawarkan paket yang serba wah atau serba istimewa dengan berbagai fasilitas yang menyertainya. Misalnya pemilihan hotel mewah, restoran mewah, makanan khusus (enak), dan kemewahan atau kukhususan serupa lainnya.

Di dalamnya, orang tidak sekadar melakukan ibadah saja (berbuka puasa), melainkan mengejar gaya hidup, citra, dan gengsi. Inilah perilaku sebagian kaum muslim dalam menjalankan ibadah puasa di era konsumerisme dewasa ini.

Sebenarnya, tanpa itu semua (pemilihan hotel berbintang, restoran mewah, makanan mewah dan seterusnya), seseorang sudah bisa berbuka puasa secara sederhana. Namun keinginan untuk tampil serba wah dan istimewa inilah yang terkadang mengabaikan subtansi ibadah. Pada saat itulah ritual keagamaan kehilangan makna hakikinya.

Perilaku-perilaku spiritualitas seperti ini seringkali mereduksi ritual ibadah puasa menjadi fenomena permukaan, penampakan, dan tanda-tanda yang menjauhkan seseorang dari makna yang mendalam dan nilai-nilai luhur spiritualnya. Akibatnya, tujuan utama beribadah (penyujian jiwa) menjadi terganggu, terkontaminasi, bahkan tak tercapai.

Segala aktivitas ritual keagamaan, termasuk ibadah puasa, pada hakikatnya adalah ruang penyucian jiwa, yaitu pembersihan dan peleburan jiwa dari berbagai kotoran, berupa perbuatan tidak baik dan kemaksiatan yang pada umumnya ini dilakukan lewat pengekangan hasrat rendah dan pengendalian nafsu kebinatangan.

Ketika seseorang melakukan spiritualitas yang secara hakiki tidak lagi berkaitan dengan model yang telah dicontohkan Nabi atau dalil-dalil agama yang telah digariskan, maka dia sedang tidak melakukan spiritualitas, melainkan hiper-spriritualitas.

Hiper spiritualitas merupakan spiritualitas yang telah melampaui hakikat spiritual itu sendiri. Akibatnya, yang terjadi adalah budaya materi dan gaya hidup yang menyertainya yang justru bertentangan dengan hakikat spiritual itu sendiri sebagai ruang penyucian jiwa dan sebagai ruang pengekangan hasrat rendah.

Keikhlasan beribadah

Pada hakikatnya, segala bentuk ibadah, termasuk ibadah puasa, membutuhkan keikhlasan yang tinggi. Seseorang yang ingin ibadahnya dilihat, disaksikan dan dipuji oleh orang lain sejatinya ia telah melakukan kehampaan ibadah tanpa mendapatkan pahala dan keridhaan Allah SWT.

Oleh karena itu, kita sebagai umat Islam seharusnya tidak membiarkan nilai-nilai ibadah puasa yang hendak kita capai, ternodai hanya karena citra, materi, hasrat, dan gaya hidup. Kita seharusnya mengedepankan tujuan utama spiritualitas ibadah puasa itu sendiri, yaitu penyucian jiwa dan pendekatan diri kepada Allah SWT.

Memang, kita tidak bisa memungkiri bahwa dunia materi, hasrat, konsumsi, dan citra tidak bisa dilenyapkan dari kehidupan manusia. Hasrat tidak bisa dibunuh, materi tidak bisa dihilangkan karena ini semua merupakan anugerah Tuhan.

Jalan spiritualitas yang kita lakukan bukan untuk membunuh hasrat, menentang materi, menghentikan konsumsi atau melenyapkan gemerlap citra, melainkan mengendalikan atau meminimalisasi efek, dampak atau akses-akses yang dapat merusak proses penyucian jiwa dari berbagai pengaruh dualistik, kontradiksi, ketidakpastian, kekaburan dan ekstiminitas.

Sejarah mengajarkan kita bahwa segala suatu yang bertumbuh ke arah titik ekstrem pada akhirnya hanya akan menyebabkan penghancuran diri kita sendiri. Jalan spiritualitas adalah jalan untuk mencegah kehancuran yang diakibatkan oleh mesin hasrat yang melampaui spiriitualitas itu sendiri.

Jalan spiritualitas ibadah puasa yang kita lakukan sekarang ini diharapkan mampu menjadi mesin pengendali terhadap mesin hasrat kapitalisme dan konsumerisme yang kini harus diakui, semakin dipuja, disanjung, dan digandrungi sebagian masyarakat muslim kita.

Di sini sekali lagi dibutuhkan ketulusan dalam menjalankan ibadah. Kita perlu menata niat yang ikhlas dalam menjalankan segala bentuk ibadah, termasuk ibadah puasa. Pelepasan dari segala sesuatu yang bisa menggagalkan proses penyucian jiwa perlu kita lakukan.

Sudah saatnya, kita meminimalisasi, atau bahkan menghentikan segala bentuk jalan spiritualitas yang diembel-embeli mencari identitas, gengsi, citra dan gaya hidup yang hanya akan merusak hakikat spiritualitas itu sendiri. Sudah waktunya kita mengutamakan tujuan ibadah itu sendiri, yaitu penyucian jiwa. Keikhlasan hati dalam menjalankan ibadah sangat diperlukan untuk mencapai tujuan spiritualilitas secara sempurna.

Kita musti ingat bahwa dunia dengan segala bentuk gemerlapnya hanya akan membawa kita menjadi rusak kalau kita tidak mampu mengendalikannya. Menapaki jalan spiritualitas dengan rasa ikhlas, tulus, dan sederhana akan mengantarkan kita pada kemuliaan dan kebaikan hidup, baik di dunia maupun di akhirat.

Semoga.

Ahmad Ubaidillah
Dosen Ekonomi Syariah pada Fakultas Agama Islam
Universitas Islam Lamongan

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Mastering Financial Analysis Training for First-Time Sales Supervisor/Manager 1-day Program

[X]
×